REVIEW - A BIG BOLD BEAUTIFUL JOURNEY
A Big Bold Beautiful Journey mempunyai dua protagonis yang sulit menemukan jodoh, kemudian mempertanyakan kecocokan satu sama lain pasca pertemuan mereka. Bagi saya dinamika antara film dan penciptanya pun serupa. Tidak semua karya cocok atau berjodoh dengan sineasnya, sehingga bakal melahirkan kekacauan bila dipaksa menyatu. Begitulah hubungan Kogonada dan karya terbarunya ini.
Bukan cuma perkara "lebih komersil", A Big Bold Beautiful Journey punya naskah berbasis dialog (buatan Seth Reiss) berhiaskan situasi fantastis kaya warna, yang memerlukan percikan-percikan hangat untuk dapat menyalurkan rasa. Bayangkan karya Damien Chazelle dikawinkan dengan Richard Linklater. Di tangan Kogonada, rangkaian obrolannya tampil dingin, kalem, pula sesekali diiringi musik jazz menenangkan gubahan Joe Hisaishi.
Di karya-karya sang sutradara sebelumnya, dari romantisme arsitektur puitis di Columbus (2017), sampai fiksi ilmiah kontemplatif dalam After Yang (2021), kesunyian mendukung proses observasi narasinya. A Big Bold Beautiful Journey memaksa dua individu yang sejatinya menawan, terlibat dalam serangkaian pembicaraan membosankan tak bernyawa.
David (Colin Farrell) dan Sarah (Margot Robbie) berkenalan di suatu acara pernikahan yang digelar di "La Strada", selepas sama-sama berkendara menaiki mobil sewaan dengan GPS canggih berbentuk laser merah ala HAL 9000 dari 2001: A Space Odyssey (1968). Masih banyak tribute lain yang Kogonada berikan. Poster film ini pun mengingatkan pada gaya khas komedi romantis klasik macam When Harry Met Sally... (1989) dan Sleepless in Seattle (1993).
Sayang, penceritaan filmnya tidak sekaya referensi yang kerap ia lempar. Berdasarkan arahan GPS, David dan Sarah yang terus dipertemukan oleh ketidaksengajaan, memutuskan mengarungi "perjalanan yang besar, berani, dan indah" bersama. David dan Sarah akan tiba di beberapa destinasi, menemukan pintu-pintu aneh yang mampu membawa mereka mundur ke peristiwa-peristiwa dari masa lalu keduanya.
David dan Sarah membuka pintu menuju masa lalu, guna mengatasi luka serta trauma masing-masing, supaya nantinya dapat membuka pintu yang mengarah menuju masa depan. Sebuah ide indah nan romantis, andai saja naskahnya tidak terdengar seperti kopian kelas dua dari tulisan-tulisan Richard Linklater, yang berusaha puitis namun tanpa jiwa. Bahkan dua protagonisnya mengakui bahwa kata-kata dari mulut mereka ibarat omong kosong.
Dibantu sinematografi arahan Benjamin Loeb, Kogonada konsisten memamerkan pemandangan sureal indah, membuat tiap pintu nampak seperti gerbang pembuka fantasi surgawi. Keindahan itu seketika lenyap begitu karakternya mulai berbicara. Bukan persoalan akting, sebab Colin Farrell dan Margot Robbie membuat saya ingin menonton kombinasi keduanya dalam film lain yang lebih sederhana, di mana mereka sekadar berbincang secara kasual sembari melintasi sudut-sudut kota hingga malam tiba.
Saya dibuat memedulikan percintaan David dan Sarah, namun tidak dengan masa lalu mereka. Naskahnya terlampau dangkal untuk dapat memenuhi ambisinya, sementara pengarahan si sutradara terlalu dingin di saat filmnya memerlukan kehangatan.
Biasanya, David dan Sarah menemukan pintu yang meski dimasuki, namun di kesempatan lain, mobil yang tengah ditumpangi mendadak berhenti, lalu mereka terlempar ke sebuah ruang hampa tempat pintu berikutnya berada. Tiada aturan. Tapi bukankah surealisme identik dengan kebebasan ekspresi? Tentu, selama ia mempunyai tujuan pasti. Keliaran milik A Big Bold Beautiful Journey lebih seperti simplifikasi supaya si pembuat bisa bertindak semaunya. Atau saya saja yang tidak berjodoh dengan film ini?
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar