REVIEW - KONTINENTAL '25
Seorang tunawisma menjalankan rutinitas harian, dari memungut sampah, meminta sedikit koin pada pengunjung cafe, lalu menikmati alkohol di tengah bentangan kota Cluj. Begitulah cara Kontinental '25 mengawali penceritaan. Sekuen di atas punya kesan candid sebagaimana gaya neorealis yang menginspirasinya (terutama Europe '51 karya Roberto Rossellini). Serupa pergerakan sinema itu pula, film buatan Radu Jude ini bertujuan menangkap dinamika individu dan realita sosial tak ideal yang mesti dilewatinya.
Si tunawisma bernama Ion (Gabriel Spahiu). Dia tinggal di sebuah ruang tungku tak terpakai, yang akan segera diruntuhkan guna dibangun hotel bernama Kontinental. Orsolya (Eszter Tompa) dikirim untuk menjalankan penggusuran. Sungguh malang, di tengah proses tersebut, Orsolya justru menemukan Ion mati bunuh diri akibat dikuasai keputusasaan. Pertanyaannya, malang bagi siapa?
Orsolya yang tak mampu lepas dari rasa bersalah pun berupaya mencari ketenangan dengan bercerita ke orang-orang terdekat. Kontinental '25 mengisi 109 menit alurnya dengan memperlihatkan si protagonis terus mengulang cerita yang sama, yakni mengenai kematian tragis Ion, serta kegundahan hatinya. Sebatas itu? Ya, karena justru di situlah salah satu poin utama narasinya: memberi ruang bagi perihal yang kerap dipandang sebelah mata.
Manusia seperti sulit memvalidasi emosi negatif sesamanya. Luapan unek-unek pun kerap diberi respon sekenanya tanpa ada jejak simpati. Orsolya bercerita pada suami, sahabat, ibu, pendeta, hingga mantan muridnya. Si suami mengerdilkan luka Orsolya kala menertawakan komentar jahat warganet yang menyalahkan sang istri atas kematian Ion, sedangkan ceramah tak ramah si pendeta justru membuat agama terdengar kejam dan tak mengenal keadilan.
Radu Jude mengambil keseluruhan gambarnya memakai iPhone, meniadakan gerak bak memasang kamera candid, yang sesekali mengalami perubahan fokus. Semua atas nama realisme, yang memposisikan penonton bukan hanya sebagai penikmat, melainkan pengamat yang seolah hadir langsung di lokasi sembari diam-diam mengintip rutinitas karakternya.
Naskah hasil tulisan Radu Jude begitu cerdik menyusun obrolan, yang pelan-pelan mengungkap setumpuk informasi yang memberi gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat milik latarnya. Ion rupanya bukan tunawisma biasa melainkan mantan atlet nasional pemenang medali yang tak diperhatikan negara, adanya konflik Rumania-Hungaria, hingga ketidakbecusan aparat bekerja. Alhasil, Kontinental '25 berkembang tak lagi tentang kegundahan satu individu belaka.
Seiring waktu, saya dibuat menyadari kalau establishing shot berisi pemandangan kota Cluj yang terkesan acak bukanlah sebatas jembatan antar adegan, tapi cara Jude menyoroti tendensi pemerintah yang cuma memedulikan pembangunan, pembangunan, dan pembangunan, tanpa mau membuka mata pada kesenjangan sosial.
Jude juga jeli melempar ironi menggelitik. Tengok saat Orsolya benar-benar dikuasai rasa bersalah hingga membuatnya meratap dalam tangis, namun di belakangnya kita melihat sebuah patung animatronik dinosaurus bergerak sembari mengaum.
Obrolan Orsolya dengan si sahabat, Dorina (Oana Mardare), pun kaya akan ironi. Dorina bercerita mengenai penderitaan orang-orang di Roma, mengajak sahabatnya untuk mengulurkan sedikit bantuan, namun sejurus kemudian mengeluhkan bau seorang tunawisma yang tinggal di samping rumahnya. Orsolya pun balas berkisah tentang rutinitasnya memberi sumbangan ke berbagai badan penyalur donasi.
Satu hal yang berkali-kali Orsolya sampaikan adalah bahwa ia sudah berinisiatif memundurkan penggusuran agar memberi waktu bagi Ion untuk bekemas. Apakah itu cukup? Kenapa ia tidak berusaha lebih keras membantu Ion mencari tempat tinggal baru? Apabila penggusuran terhadap tunawisma begitu mengganggunya, mengapa ia enggan beralih profesi? Kontinental '25 juga mengungkap wajah kepedulian bersifat peformatif yang seolah jadi tren masyarakat masa kini.
(JWC 2025)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar