REVIEW - SUNSHINE

Tidak ada komentar

Kerap terjadi kesalahpahaman, bahwa pro-choice semata soal merenggut nyawa, yang pada akhirnya mendatangkan stagnasi dalam diskursus, terutama saat cap "dosa" sudah dibawa-bawa. Padahal serupa namanya, gerakan tersebut menitikberatkan pada hak perempuan untuk memilih (apa pun pilihannya). Apalagi, seperti yang dipaparkan oleh Sunshine, di banyak negara konservatif, pilihan yang dapat perempuan ambil amatlah terbatas. 

Sunshine (Maris Racal) adalah atlet gimnastik berusia 19 tahun, yang berambisi mewakili Filipina di ajang Olimpiade. Bakatnya luar biasa. Sampai suatu ketika Sunshine mendapati dirinya hamil. Jangankan berpartisipasi di Olimpiade, keberlangsungan karir Sunshine terancam, sebagaimana kakaknya, Geleen (Jennica Garcia), yang pensiun dini untuk menjadi ibu tunggal. Sunshine pun mulai mempertimbangkan opsi aborsi. 

Naskah buatan sang sutradara, Antoinette Jadaone, memang lebih menaruh fokus pada kehamilan Sunshine. Elemen olahraga tidak banyak nampak di permukaan namun keberadaannya selalu terasa, mengingat gimnastik jadi pertimbangan utama dalam segala keputusan protagonis. Pun tiap tiba waktunya gimnastik mengisi sorotan utama, Jadaone menanganinya secara menawan. Menyaksikan Sunshine menari-nari mengayunkan pita dengan indah, jelas lah betapa bakat si remaja terlampau sayang untuk dibuang. 

Di satu titik, Sunshine bertemu Mary Grace (Rhed Bustamante), bocah 13 tahun yang hamil akibat diperkosa oleh sang paman. Pilihan apa yang dipunyai para perempuan muda ini? Aborsi masih berstatus ilegal di Filipina. Tiada program penyedia solusi dalam bentuk apa pun dari pemerintah.  

Sekadar berbagi keluh kesah saja mereka tak mampu, sebab masyarakat yang terlalu gampang menghakimi lewat perspektif nirempati berkedok agama atau moralitas cenderung hanya tertarik melempar cacian atau memberi cap "pendosa". Tidak hanya warga sipil, di sini kita juga bakal bertemu figur dokter yang gemar menghakimi. Salah satu momen paling memuaskan hadir ketika Geleen melontarkan sindiran menohok kepada sang dokter. 

Cara Sunshine menangani perihal kehamilan remaja sejatinya tidak baru, dengan metode bercerita yang juga cenderung konvensional, tapi teknik pengadeganan Jadaone memberi warna spesial. Biarpun materinya amat memfasilitasi, sang sineas enggan menyematkan gaya melodrama ke karyanya. Bukan air mata yang coba dihasilkan dari penonton, melainkan pemahaman terkait isunya. 

Itulah mengapa filmnya masih memberi ruang bagi tawa untuk hadir, termasuk yang bersumber dari sebuah pilihan berisiko naskahnya, kala menciptakan karakter gadis cilik misterius (Annika Co) yang kerap tiba-tiba muncul di samping Sunshine sembari melontarkan kata-kata kasar nan menggelitik guna mengkritisi niatnya menjalani aborsi. 

Tidak sulit menebak identitas si gadis cilik, yang bila eksistensinya gagal ditangani secara bijak, berpotensi membuat presentasi ceritanya tampil banal dan murahan. Untungnya risiko besar itu terbayar lunas di fase konklusi yang secara mengharukan, menegaskan kalau Sunshine bukan tentang justifikasi amoralitas, melainkan ajakan untuk memahami sebuah pilihan. 

"Apa pun keputusanmu, aku akan selalu ada di sampingmu dan mencintaimu", ucap Geleen sambil berbaring di sebelah Sunshine. Saat itulah si tokoh utama menemukan kemantapan hati. Saat tidak lagi merasa mesti seorang diri melawan dunia. Tatkala matahari seolah enggan bersinar lagi, nyatanya semesta masih berbaik hati membubuhkan warna-warni pelangi di balik awan baginya. 

(JAFF 2025)

Tidak ada komentar :

Comment Page: