REVIEW - MEMOIR OF A SNAIL

1 komentar

"Art comes from joy and pain, but mostly from pain." Begitu kata-kata dari pelukis ternama asal Norwegia, Edvard Munch. Memoir of a Snail ibarat pembuktian dari kutipan tersebut. Mengambil inspirasi dari kisah hidup sang sutradara, Adam Elliot, animasi stop-motion ini tak ubahnya proses katarsis. Ekspresi artistik yang secara bersamaan tampak "jelek" sekaligus cantik, pula terasa menyedihkan sekaligus menghangatkan.

Dunia maupun karakternya tak sejalan dengan keindahan konvensional. Tanpa warna cerah, juga tidak mengenal makhluk-makhluk rupawan yang bak diturunkan dari surga. Semua seperti manifestasi kepiluan pembuatnya, yang diwakili oleh Grace Pudel (Sarah Snook), gadis yang tumbuh di Melbourne era 70-an bersama saudara kembarnya, Gilbert (Kodi Smit-McPhee), dan Percy (Dominique Pinon), ayah mereka yang mengidap paraplegia. 

Selama sekitar 95 menit, alurnya bertindak selaku memoar soal Grace, yang dalam tahun-tahun hidupnya seperti bersahabat dengan tragedi. Semua hal yang berpotensi menghancurkan diri individu pernah ia alami, dari kematian orang-orang terdekat, perundungan, kegagalan menjalin hubungan, manipulasi, hingga gangguan kesehatan mental. 

Kondisi tersebut membuat Grace tumbuh menjadi manusia yang tertutup. Melankoli menancapkan kukunya di hati Grace, yang turut diwakili oleh iringan musik garapan Elena Kats-Chernin, juga isian suara Sarah Snook. Alhasil, sebagaimana para siput (dan benda bermotif siput) yang dikoleksi dan ia anggap sebagai satu-satunya sahabat, Grace memilih bersembunyi dalam cangkang ciptaannya sendiri. Ada kalanya penderitaan tanpa ujung ini terkesan repetitif, tapi gaya bertutur unik dari Adam Elliot menjauhkannya dari kemonotonan. 

"We left her womb, she entered her tomb", ucap Grace mendeskripsikan kematian sang ibu kala melahirkannya dan Gilbert. Memoir of a Snail dihiasi komedi hitam "sakit" yang tak pernah gagal membuat geli, berkat kejelian naskahnya (juga dibuat oleh Elliot) memadukan tragedi dan komedi secara natural, seolah memberi pernyataan bahwa cara terbaik untuk beranjak dari kemalangan adalah menertawakannya.

Konklusinya terkesan agak menyederhanakan permasalahan, terasa pula berasal dari film yang berbeda akibat hadirnya rentetan kebahagian secara tiba-tiba (termasuk twist mengenai seorang hakim). Bukan pilihan naratif yang cerdik, tapi keputusan Elliot bisa dipahami. Dia ingin memberi si protagonis (yang terinspirasi dari dirinya sendiri) sebuah pelukan hangat yang pantas ia dapatkan. Hanya saja, pelukan itu datang terlalu dekat dengan ending sehingga memunculkan kesan dadakan.

Tapi dampak emosinya jelas terasa. Sebuah kehangatan dari proses menyadari, bahwa seliar apa pun turbulensi yang dihadapi, juga sesakit apa pun luka yang diakibatkannya, kelak siklus kehidupan yang terus berputar layaknya spiral di cangkang seekor siput bakal mendatangkan kebahagiaan. 

(JWC 2025)

1 komentar :

Comment Page:
Abhiem mengatakan...

Bukannya dulu pernah posting review film ini ya mas? Atau, aku belum ngeh aja kalo ternyata emang belum pernah posting review nya?