Tampilkan postingan dengan label Harvan Agustriansyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Harvan Agustriansyah. Tampilkan semua postingan
JAFF 2019 - EMPU
Rasyidharry
Di festival berskala internasional bergengsi sekalipun, film
jelek tetap bisa ditemukan. Itu wajar. Tapi biasanya alasannya lolos seleksi
bisa dipahami. Entah didorong kecocokan tema, kesegaran gaya (biasanya berupa
eksperimentasi estetika), atau sebatas karea ada sosok yang dihormati pelaku
industri terlibat di dalamnya. Cukup jarang ada kasus di mana muncul
pertanyaan, “Bagaimana bisa film ini diterima?”. Empu, yang punya judul internasional Sugar on the Weaver’s Chair merupakan salah satu kasus langka
tersebut.
Film yang judulnya berarti “sosok terhormat”—yang menjelaskan
mengapa ada kata itu di dalam “perempuan”—ini mengangkat tema empowerment soal kisah tiga wanita,
Sutringah (Annisa Hertami) si istri penyadap gula asal Banyumas, Yati (Arianggi
Tiara) yang meski punya disabilitas tetap semangat mengelola bisnis lurik
keluarga di Klaten, dan Maria (Putry Moruk) seorang janda yang memimpin usaha
berdikari para janda lain di Kefa. Naskahnya ditulis oleh sutradara Harvan
Agustriansyah (Hi5teria, Lima) bersama Luvie Melati (Tuyul Part 1, Hantu Jeruk Purut Reborn),
alias memadukan kepala laki-laki dengan perempuan.
Berdasarkan penuturan Harvan dalam sesi tanya-jawab,
kombinasi ini dipilih guna menyajikan perspektif berimbang. Keputusan bijak,
namun kentara ada dua perspektif berbeda yang saling bertubrukan. Di samping
kalimat-kalimat bernada gugatan atas ketidakadilan gender, sempat terdengar
pula empowerment semu, misal pada
paruh konklusi, saat salah satu karakter berkata bahwa ia memilih “menerima
takdir”.
Awalnya semua berjalan lancar, baik dari pergerakan narasi
maupun presentasi pesan. Sudah terjebak banyak hutang, kondisi Sutringah
diperparah kala suaminya terjatuh saat menyadap gula, lumpuh, dan tak mampu
mencari nafkah. Dia ingin bekerja, tapi sang suami melarang sambil berseru, “Aku
udah jadi babu orang, aku nggak mau kamu juga jadi babu orang lain!”. Sekilas
terdengar penuh perhatian, sebelum ia lanjut berkata, “Kamu tetep aduk gula
aja!”. Sang suami melarang Sutringah menjadi babu orang luar, hanya agar wanita
itu bisa menjadi babunya sendiri. Tipikal pola pikir patriarki yang berhasil
filmnya gambarkan dengan relevansi tinggi.
Yati mendapati kalau wisatawan asing kurang tertarik pada
lurik produksinya karena pilihan warna yang kurang cerah. Begitu dia menyatakan
ide untuk membuat lurik berwarna cerah, sang ayah seketika membantah, beralasan
bahwa warna itu sudah turun-temurun dan tak semestinya diubah. “Sudah cukup.
Kurang apa lagi? Kamu harusnya bersyukur”, demikian sebut sang ayah saat Yati
menyampaikan ambisinya menambah pemasukan pabrik. Sikap “nerimo” ini yang ingin Yati gugat.
Sedangkan Maria yang memimpin komunitas janda pebisnis tenun terancam
kehilangan bangunan tempat mereka menenun akibat masalah dengan korporasi.
Tercetus ide untuk menyalurkan ilmu menenun lewat media kegiatan belajar
mengajar di sekolah, namun keinginan itu terbetur kurikulum. Kali ini giliran
ketidakpadulian terhadap budaya lokal yang filmnya sentil.
Ketiga kisah di atas menarik, relevan, pun variatif walau
memiliki satu benang merah yakni pemberdayaan perempuan. Sayangna kelemahan
beberapa departemen cukup mengganggu. Entah buruknya hasil konversi DCP atau masalah
pasca-produksi lain, gerak gambarnya kerap putus-putus. Sementara naskahnya,
terkesan dangkal cenderung menggurui ketika semua pesan disampaikan secara
verbal. Tidak ada kesubtilan. Seolah apa saja yang ada di benak karakternya,
selalu mereka luapkan lewat kata-kata.
Cara bertutur itu sedikit
terselamatkan berkat penampilan Annisa Hertami, salah satu aktris paling
berbakat tapi underrated negeri ini.
Berlawanan dengan filmnya, akting Annisa tak terjebak kegamblangan. Baik dalam
diam atau tuturan katanya, ada beberapa layer
yang menjadikan sosok Sutringah terasa lebih kompleks ketimbang dua
perempuan lain.
Menjelang babak ketiga, Empu mungkin bukan film memikat, namun
dapat dinikmati. Sampai tiba waktunya konklusi dihadirkan, dan alasan mengapa
film ini cuma berdurasi 60 menit langsung terlihat. Cerita mendadak usai. Tanpa
gesekan akhir selaku klimaks, semua masalah rumit tadi ditutup secara instan
dengan cara mengubah sikap para tokoh begitu saja. Rasanya seperti menyaksikan
iklan layanan masyarakat atau video motivasi mengaru biru yang kerap muncul di
media sosial atau YouTube. Sebuah ending yang
menghancurkan segalanya, membuat rangkaian proses selama satu jam tadi menjadi
tidak penting.
November 24, 2019
Annisa Hertami
,
Arianggi Tiara
,
Drama
,
Harvan Agustriansyah
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Luvie Melati
,
Putry Moruk
,
REVIEW
LIMA (2018)
Rasyidharry
Mengamati beragam konflik serta perpecahan bangsa ini
beberapa waktu belakangan, urgensi mengingatkan dan mendalami makna Pancasila
sebagai dasar negara jelas meninggi. Bentuk medianya bebas, asal terjadi pengkajian
lebih jauh, lebih dari sekedar berteriak lantang “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!”,
tapi enggan memanusiakan sesama yang dianggap berbeda. Apa pun kepentingan yang
menguntit di balik pembuatannya, kehadiran film seperti Lima tetaplah penting, di mana para tokoh menghadapi situasi yang
berkaitan erat dengan tiap-tiap sila Pancasila. Sebagaimana rakyat yang
semestinya mencintai ibu pertiwi, perbuatan karakter film ini tak bisa lepas
dari sosok ibu mereka.
Lima sutradara digaet untuk menangani cerita dalam masing-masing
sila. Shalahuddin Siregar (Negeri di
Bawah Kabut) menangani segmen pembuka sekaligus yang terbaik. Fara (Prisia
Nasution), Aryo (Yoga Pratama), dan Adi (Baskara Mahendra) baru saja kehilangan
sang ibunda, Maryam (Tri Yudiman). Secara tersirat bisa ditangkap bahwa Maryam
terlahir beragama Islam, pindah ke Kristen setelah menikah, kemudian kembali
lagi memeluk Islam pasca suaminya tiada. Dari ketiga anaknya, cuma Fara yang beragama
Islam, sedangkan dua puteranya Kristen. Urusan agama ini memantik persoalan.
Mulai soal Aryo yang dilarang turun ke liang lahat sampai permintaan Maryam
agar gigi palsunya tidak dilepas saat dimakamkan (Islam melarangnya).
“Mungkin emang caranya udah kayak gitu”, begitu ucap Fara
kala Adi menanyakan perihal gigi palsu. Fara cuma tahu, atau tepatnya peduli,
soal “boleh/tidak boleh”, tapi tidak dengan alasannya, esensi dari aturan itu. Sejatinya
ini pangkal konflik seputar agama di Indonesia. Berkoar-koar tentang “TOLAK
PEMIMPIN KAFIR!” atau “BOLEH MENIKAH EMPAT KALI!”, tapi begitu diminta
menjabarkan atau dikonfrontasi, jawaban yang keluar seringkali sebatas “itu
aturannya”, atau lebih parah lagi, “cebong mana ngerti!”. Di tangan Shalahuddin,
rentetan proses penguburan terasa penuh duka, namun ada pula ketentraman di
situ. Puncaknya saat dua bentuk kepercayaan disatukan jelang akhir segmen.
Saya pernah menyaksikan adegan serupa digarap lebih baik,
entah secara lebh subtil macam di Toba
Dreams (2015), atau lebih indah seperti nampak dalam film pendek Senyawa (2015) karya Wregas Bhanuteja. Biar
demikian, itu tetap momen menggugah nan mengharukan selaku penegas bahwa segmen
mengenai sila “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah yang terbaik juga paling
provokatif (salah satu alasan pemberian rating 17+). Sila kedua garapan Tika
Pramesti (Sanubari Jakarta) berpotensi
tak kalah provokatif, bahkan bisa lebih menghentak, sayangnya, ketimbang
penegasan, konklusinya justru memancing kesan gejolak batin yang tidak tuntas
dalam diri karakternya.
Sila “Persatuan Indonesia” digarap Lola Amaria (Minggu Pagi di Victoria Park, Labuan Hati)
yang turut menjadi produser, dan di segmen seputar dilema Fara memilih
muridnya untuk dikirim sebagai atlet renang ke Asian Games ini, nuansa “iklan layanan
masyarakat” paling kentara (the whole
movie is, but this one is too much). Fara, pelatih renang sekaligus mantan atlet Sea Games, diminta memilih perenang “pribumi” tatkala ada atlet (keturunan Cina) yang lebih
berbakat. Bukan cuma terlampau menitikberatkan pada hasil ketimbang menggali
proses pemikiran, segmen ini turut mencuri kesempatan guna memajang kesan positif bagi PRSI (Persatuan
Renang Seluruh Indonesia), yang kemudian hadir bak malaikat penolong
menyelesaikan segala masalah.
Sila keempat yang ditangani Harvan Agustriansyah (Hi5teria) punya masalah berbeda. Fokus
diberikan pada Aryo, yang setelah dihantam ujian akibat ketiadaan musyawarah,
mesti memimpin musyawarah mengenai warisan sang ibu bersama kedua saudaranya.
Poin bahwa ini merupakan segmen milik Aryo takkan saya tangkap apabila bukan
karena sinopsis resmi filmnya. Pun kemunculan Fajar (Rangga Djoned) si notaris
canggung menghadirkan distraksi. Ya, Lima
butuh relaksasi melalui komedi, tapi kekonyolan Fajar membuatnya bagai
karakter dari film berbeda. Setidaknya cerita keempat ini mampu membawa lagi
motivasi karakternya ke semula, yakni karena ibu (pertiwi).
Tantangan terbesar Lima
adalah bagaimana naskahnya, yang ditulis oleh Titien Wattimena (Dlan 1990, Salawaku) dan Sinar Ayu
Massie (3 Hari untuk Selamanya, Sebelum
Pagi Terulang Kembali), menyatukan esensi kelima sila lalu menempatkannya
di konteks keluarga. Beberapa titik kurang menyatu mulus tapi
masih memunculkan hubungan dalam terciptanya keluarga kokoh sebagai
metafora Indonesia. Segmen terakhir buatan Adriyanto Dewo (Tabula Rasa) sayangnya jadi poin saat konsep solid itu lenyap. Giliran
Bi Ijah (Dewi Pakis) si asisten rumah tangga jadi fokus. Kelemahan krusial
segmen ini adalah inkonsistensi, di mana para protagonis urung terlibat aktif
menyelesaikan masalah. Mereka cuma penonton. Menghadirkan tokoh baru selaku “penolong”,
seolah para penulis cuma “gatal” ingin menyelipkan isu tanpa memperhatikan
keperluan narasi. Lain cerita kalau sejak awal, konsepnya memang sekedar
menempatkan keluarga ini sebagai jembatan.
Akankah Lima
membangkitkan jiwa Pancasila rakyat? Saya ragu. Tapi apakah Lima patut disimak? Ya, film yang bicara
tentang pentingnya Pancasila jelas patut disimak, setidaknya demi mengingatkan
kita bahwa semua situasi ideal yang ditampilkan bukan cuma pesan menggurui,
namun tujuan yang coba dicapai Pancasila selaku dasar negara. Kala tiba masa
ketika intisari Pancasila meresapi sanubari tiap rakyatnya, saya percaya negeri
ini beserta manusia-manusia di dalamnya akan mampu menghapuskan awan segelap
apa pun. Lima sayangnya bukan cuma
mencerminkan dasar negara lewat cerita, tapi kualitas akhirnya juga mengikuti
kondisi Indonesia yang digelayuti beragam masalah serta kekurangan.
Juni 02, 2018
Adriyanto Dewo
,
Baskara Mahendra
,
Cukup
,
Drama
,
Harvan Agustriansyah
,
Indonesian Film
,
Lola Amaria
,
Prisia Nasution
,
REVIEW
,
Shalahuddin Siregar
,
Sinar Ayu Massie
,
Tika Pramesti
,
Titien Wattimena
,
Yoga Pratama
Langganan:
Postingan
(
Atom
)