Tampilkan postingan dengan label Joseph Bishara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Joseph Bishara. Tampilkan semua postingan
INSIDIOUS: THE LAST KEY (2018)
Rasyidharry
Begitu film usai, saya merasakan atmosfer berbeda dibanding tiga installment Insidious sebelumnya. Tidak ada desahan maupun tawa penanda rasa lega para penonton. Kelegaan setelah dipaksa menahan nafas menghadapi terkaman teror membabi buta. Lampu bioskop menyala, ada yang membuka handphone, mengobrol, atau segera meninggalkan ruangan. Terdengar seorang penonton berkata, "biasa aja ya?". Pernyataan itu menjelaskan perbedaan atmosfer di atas. Insidious: The Last Key memang bukan wahana roller coaster serupa pendahulunya. Mencapai seri keempat, usaha menempuh jalur baru sebenarnya wajar.
Namun wajar bukan berarti tepat. Apa yang terasa di momen penutup sejatinya mirip dengan suasana saat judul film terpampang. Dingin, datar, tanpa biola menyayat buatan Joseph Bishara yang selalu mencirikan Insidious. The Last Key ingin mencoba sesuatu yang beda dengan cara melucuti salah satu aspek ikonik franchise-nya. Untungnya, hanya salah satu. Sutradara Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan) bagai telah lulus "James Wan's School of Jump Scares", sedangkan Leigh Whannell selaku penulis naskah sejak film pertama tentu paham di mana poros cerita seri ini terletak: Elise Rainier (Lin Shaye).
Alurnya membenamkan diri lebih jauh menyelami masa kecil Elise, ketika ia mulai menyadari bakatnya berkomunikasi dengan makhluk halus. Mengetahui itu, ayah Elise, Gerald (Josh Stewart), selalu bertindak kejam, memukuli Elise tiap kali ia berkata tengah melihat hantu. Pengalaman traumatis tersebut merupakan pangkal segala poin plot The Last Key. Whannell bukan pencerita handal. Sering keteteran menangani pendalaman cerita di antara kewajiban menyusun alur penuh misteri serta twist layaknya benang kusut. Tapi paling tidak gagasan mengenai "kebencian dan rasa bersalah sebagai musuh utama" bisa tersampaikan dengan mulus.
Lain halnya terkait cara menyulut dan mengakhiri konflik. Whannell terlampau bergantung pada kebetulan-kebetulan sampai keputusan-keputusan karakter yang mengundang tanya. Malas, juga menggampangkan. Bahkan klimaksnya ditutup menggunakan deus ex machina. Momen ini sesungguhnya berpotensi menguras emosi sekaligus terlihat badass, serupa Chapter 3 tatkala kalimat "Come on, bitch!" terlontar dari mulut Elise. Sayang, kesan dadakan ditambah pengadeganan cartoonish Robitel membuat momen tersebut berujung konyol.
Insidious: The Last Key tertolong oleh beberapa jump scare yang masih cerdik mempermainkan ekspektasi, pun tepat menempatkan gebrakan, daripada asal berisik. Beberapa adalah penerapan ulang trik lama yang sulit disangkal memang efektif membuat penonton terperanjat. Belum lagi memikatnya tata rias pembungkus tampilan para hantu kala seperti biasa, visual setan Insidious cenderung menyentuh ranah fantasi yang imajinatif. Desain KeyFace selaku antagonis utama mungkin tak sesegar Lipstick-Face Demon atau Bride in Black, pula kalah menyeramkan, tapi jelas jauh lebih kreatif ketimbang setumpuk horor generik di luar sana.
Film ini gelap. Bicara mengenai penyiksaan anak, tragedi, sampai trauma yang mengajak kita menyusuri sisi terkelam Elise. Bahkan jika pikiran nakal anda ikut terlibat, nuansa di paruh akhir film secara subtil memancarkan aura "S&M". Itu sebabnya, bumbu komedi yang mengandalkan polah konyol Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson) memancing inkonsistensi tone. Terlebih tingkat kelucuannya kurang stabil. Selipan humor keduanya di sela-sela teror merupakan pola andalan seri Insidious, dan sewaktu formula suatu franchise tidak lagi mujarab tetapi usaha menempuh jalan baru justru merusak pondasi, tiba waktunya menyelesaikan perjalanan sesegera mungkin, sebelum franchise ini terseret jauh menuju dunia gelap bersama Lipstick-Face Demon.
Januari 11, 2018
Adam Robitel
,
Angus Sampson
,
Cukup
,
horror
,
Joseph Bishara
,
Josh Stewart
,
Leigh Whannell
,
Lin Shaye
,
REVIEW
Langganan:
Postingan
(
Atom
)