Tampilkan postingan dengan label Mian Tiara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mian Tiara. Tampilkan semua postingan
PEREMPUAN TANAH JAHANAM (2019)
Rasyidharry
Setelah sedikit dikecewakan oleh Gundala, Perempuan Tanah Jahanam mengingatkan
lagi alasan kekaguman saya terhadap film-film Joko Anwar. Tidak ada batasan,
baik terkait moralitas maupun kreativitas, sehingga terlahir karya yang bebas
nan segar. Kali ini Joko mengawinkan gagasan soal kasih sayang orang tua dalam
keluarga disfungsional dengan lingkaran setan bernama kutukan.
Kredit pembuka di mana nama-nama
bak terlukis di atas kelir (layar pertunjukan wayang kulit) diiringi musik
bernuansa gamelan (digawangi trio Aghi Narottama-Bemby Gusti-Tony Merle plus
Mian Tiara, scoring-nya ampuh
membangun atmosfer sepanjang durasi), membuat Perempuan Tanah Jahanam langsung mencengkeram sedari awal.
Bahkan sejak sebelum itu, tepatnya
pada adegan pembuka saat dua sahabat yang bekerja sebagai penjaga gerbang tol, Maya
(Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita), mengobrol lewat telepon sembari menanti
berakhirnya shift malam mereka. Kembali,
Joko memamerkan kebolehan merangkai interaksi kasual, yang tak jarang
mengandung pokok pembicaraan remeh cenderung nyeleneh, namun di situlah realisme terbangun. Meski sayang,
lagi-lagi karakter Joko mengidap “penyakit” berupa artikulasi yang sering
rancu.
Pembicaraan Maya dan Dini ditutup
teror mencekam, yang turut menyibak sebuah rahasia. Maya akhirnya mengetahui
siapa orang tua sekaligus kampung halamannya, yang terletak di Desa Harjosari.
Bukan cuma itu, ada kemungkinan sebuah warisan melimpah telah menantinya.
Sedang kesulitan uang, kedua wanita ini memutuskan berangkat ke Harjosari,
tanpa tahu jika selain warisan, bahaya besar pun menanti mereka.
Sense of impending doom. Perasaan itu yang Joko ingin
penontonnya rasakan. Dari penampakan-penampakan makhluk gaib—walau tak semencekam
dan sekreatif Pengabdi Setan, jump scare buatan
Joko masih jauh dari murahan—sampai keanehan suasana Desa Harjosari. Sekilas
warga di sana bersikap ramah, termasuk Ki Saptadi (Ario Bayu) si kepala desa
yang tinggal bersama sang ibu, Nyi Misni (Christine Hakim), namun aroma
ketidakberesan tercium pekat.
Aroma yang makin kuat sewaktu Dini
mengambil sebuah keputusan nekat, yang bagai jadi gerbang pembuka menuju
kegilaan-kegilaan Perempuan Tanah Jahanam.
Perihal intensitas, kelebihan Joko dibanding sutradara lain adalah kemampuan
memanfaatkan talenta pemain untuk menghidupkan ketakutan di tengah suasana
darurat. Mentah, bak tanpa polesan. Tara Basro, dengan penampilan memadai,
boleh jadi tokoh utama, tapi Marissa Anita adalah bintang pertunjukan. Diperlihatkannya
definisi “efortless” dalam akting,
entah lewat luapan rasa takut yang akan membuat jantung penonton ikut berdebar,
atau menangani obrolan santai dengan sedikit bumbu komedi.
Dua metode penghantaran horor Joko
terapkan di sini, yaitu melalui pemandangan disturbing
dan atmosfer. Saya tidak bisa mengungkap detail kekerasan apa saja yang
film ini simpan, tapi pastinya Joko tak ragu bermain-main dengan tubuh manusia.
Darah jelas mengalir di tanah jahanam Harjosari. Mengenai atmosfer, Joko,
dibantu sang sinematografer langganan, Ical Tanjung, menggunakan sorotan lampu kuning
kala malam hari, khususnya pada tempat di mana mistisisme berpusat. Bagai ada kabut
pekat menyesakkan dari alam lain sedang menyelubungi Harjosari. Ditambah latar rumah-rumah
remang, keangkeran timbul tanpa perlu ada makhluk halus bertampang mengerikan
menampakkan diri.
Kelemahan Perempuan Tanah Jahanam terletak di satu elemen naskah. Setelah
secara apik mengimplementasikan budaya klenik tanah Jawa, naskahnya tersandung
urusan pemaparan jawaban misteri. Joko menyisihkan dua titik di alur untuk
menjabarkan tabir kebenaran secara gamblang. Saya merasa ini bentuk kompromi
Joko kepada penonton awam, mengingat kegamblangan bukan sesuatu yang identik
dengan karyanya. Tapi masalah terbesar bukan soal “seberapa gamblang”,
melainkan bagaimana proses menyuapi informasi itu, terjadi berkepanjangan, dan
diletakkan di tengah babak ketiga, sehingga melucuti intensitas.
Klimaksnya sendiri, meski tetap
mengalirkan darah pula menampilkan tragedi, kekurangan daya bunuh. Ketika saya
sudah bersiap menerima dikecewakan oleh resolusinya, Joko melemparkan momen
final. Momen penutup ini—menghadirkan wajah familiar selaku cameo serta Christine Hakim yang melengkapi
keberhasilannya memancing ngeri sepanjang film—menusuk jantung bermodalkan
intensitas luar biasa, berkat kemampuan Joko memadukan timing kejutan, grafik disturbing,
tempo tinggi, serta dua sumber suara, yakni musik dan teriakan manusia. Hanya
segelintir sutradara bisa mengkreasi kegilaan semacam itu. Berbagai kekurangan
yang sebelumnya muncul pun terbayar lunas, menegaskan film ini memang jahanam!
Oktober 18, 2019
Aghi Narottama
,
Ario Bayu
,
Bagus
,
Bemby Gusti
,
Christine Hakim
,
horror
,
Ical Tanjung
,
Indonesian Film
,
Joko Anwar
,
Marissa Anita
,
Mian Tiara
,
REVIEW
,
Tara Basro
,
Tony Merle
Langganan:
Postingan
(
Atom
)