Tampilkan postingan dengan label Joko Anwar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Joko Anwar. Tampilkan semua postingan

REVIEW - PENGABDI SETAN 2: COMMUNION

First, let me address the elephant in the room: 'Pengabdi Setan 2: Communion' is not as good as the first movie. Tapi rasanya Joko Anwar menyadari itu. Sadar bahwa ada harga yang mesti dibayar dalam upaya melahirkan crowd-pleaser horror, sekaligus sekuel yang (sebagaimana wajarnya sebuah sekuel) tampil lebih besar dibanding pendahulunya. 

Joko membuka kisahnya dengan flashback ke tahun 1955, mengikuti penemuan mencengangkan Budiman (Egy Fedli), yang langsung menegaskan bahwa peristiwa film pertama hanya puncak gunung es dari intrik yang lebih besar. Jauh lebih besar, juga lebih jahat. Pengabdi Setan 2: Communion membawa aroma kejahatan yang teramat pekat, sampai dunianya terasa tak lagi mampu mendefinisikan "harapan". 

Lalu kita dibawa kembali ke tahun 1984, melihat bagaimana Rini (Tara Basro), bersama kedua adiknya, Toni (Endy Arfian) dan Bondi (Nasar Anuz), serta si bapak, Bahri (Bront Palarae), berusaha lepas dari trauma akibat tragedi tiga tahun lalu. Mereka kini tinggal di rumah susun kumuh (bukan rumah susun di akhir film pertama) di area pinggir laut yang terpisah dari pemukiman penduduk. Rusun yang memutar Rayuan Pulau Kelapa tiap malam menjelang (semasa kecil, saya menganggap lagu ini adalah pertanda para hantu siap beraktivitas)

Kita turut diajak berkenalan dengan beberapa tetangga: Tari (Ratu Felisha sebagai penampil terbaik) yang kerap jadi korban gosip akibat selalu bekerja di malam hari; Dino (Jourdy Pranata) si pemuda begajulan yang sering menggoda Tari; Wisnu (Muzakki Ramdhan) yang tinggal berdua bersama ibunya yang bisu (Mian Tiara); serta Ari (Fatih Unru), teman Bondi yang punya ayah abusive. 

Buruknya kondisi rusun bukan cuma kepentingan estetika atau amunisi membangun atmosfer, pula cara Joko menyentil isu seputar kesejahteraan rakyat. Rusun kumuh pinggir laut, dibangun di atas kondisi tanah jauh dari ideal, sehingga terendam banjir ketika diterjang badai. Ditambah kabar mengenai aksi para petrus, lengkap sudah kengerian dalam hidup orang-orang. 

Hidup di Indonesia, apalagi bila terjerat kemiskinan, nyatanya tidak kalah mengerikan dan mematikan ketimbang menghadapi setan. Terdapat satu sekuen yang bakal terus dibicarakan di masa mendatang berkat kombinasi antara kebrutalan tanpa pandang bulu, dengan kepiawaian Joko terkait build-up menuju "menu utama". Bagi saya, momen yang juga bertindak selaku pemicu segala teror di rusun itulah titik paling menyeramkan di film ini. Karena tanpa campur tangan supernatural sekalipun, tragedi tersebut masih dapat terjadi akibat ketidakbecusan pemerintah menyediakan hunian layak. Sungguh momen yang "jahat". 

Setelahnya, Pengabdi Setan 2: Communion menolak berhenti menginjak pedal gas. Bayangkan The Raid, tapi walau sama-sama berlatar gedung bertingkat, adegan aksi digantikan oleh jump scare. Joko memilih mengesampingkan eksplorasi semestanya, mengisi second act dengan barisan penampakan tanpa henti. 

Memang agak disayangkan, pasca opening luar biasa kuat, ditambah beberapa kreativitas naskah mengaitkan mitologinya dengan elemen-elemen dunia nyata (petrus, Konferensi Asia-Afrika), ceritanya bak cuma jembatan menuju klimaks di film ketiga. Tapi seperti telah saya singgung di awal tulisan, rasanya ini adalah pilihan yang disadari, lalu diambil atas nama memperbesar sekuelnya, minimal dari sudut pandang spektakel. 

Joko mengerahkan segala daya upaya, tata artistik mendukung terciptanya nuansa atmosferik, pun fakta bahwa filmnya tetap nyaman dilihat biarpun didominasi kegelapan wajib diberi pujian, namun kesan repetitif sukar dihindari tatkala kuantitas jump scare digandakan. Bukan berarti digarap asal-asalan, sebab beberapa teror cerdik masih dapat ditemui. Adegan Tari salat menerapkan trik sederhana tetapi efektif, daya kejut kreatif mampu dimunculkan dalam pemandangan yang melibatkan Dino dan sehelai kain, sementara Joko menampilkan pemandangan disturbing dalam momen "ibu hamil" yang jadi kekhasan sang sineas.

Bukan film Joko Anwar namanya kalau tak menemukan celah untuk melucu di tengah segala teror brutal. Serupa tugasnya di dua film Ghost Writer, Iqbal Sulaiman kembali sukses memancing tawa (karakternya bernama Darto, sama seperti karakter Endy Arfian di Ghost Writer). Joko juga membawa sentilannya terhadap figur pemuka agama secara lebih jauh. Ustaz Mahmud (Kiki Narendra) adalah sosok yang kerap memancing rasa geli melalui ketenangan berlebihnya (kalau tak mau disebut "naif"). Bagai orang yang selalu berkata, "Tenang, semua ada jalan keluarnya", tapi tidak sanggup menemukan jalan keluar saat benar-benar menemui masalah.

Ya, Pengabdi Setan 2: Communion merupakan penurunan. Rewatch value-nya pun berkurang karena pengesampingan cerita membuatnya takkan menyulut diskusi dan keliaran berteori sebanyak film pertama (walau petunjuk terkait identitas Batara (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) bisa memancing beberapa obrolan menarik). Tapi ini tetap crowd-pleaser yang ampuh, sekaligus horor Indonesia terbaik 2022 sejauh ini. Standar yang dipasang pendahulunya memang luar biasa tinggi. 

REVIEW - A WORLD WITHOUT

Menciptakan dunia distopia di narasi fiksi tidak bisa asal. Proses "melebih-lebihkan" suatu elemen sosial harus dilakukan secara cermat. Harus ada pijakan kokoh berbasis kondisi realita, agar sewaktu mengunjunginya, penonton dapat mengasosiasikan dunia tersebut dengan masa depan yang mungkin terjadi. 

Menonton A World Without karya Nia Dinata (Arisan, Berbagi Suami, Ini Kisah Tiga Dara), yang menulis naskahnya bersama Lucky Kuswandi (Galih dan Ratna, Ali & Ratu Ratu Queens), saya merasa asing. Bagaimana bisa dunia kita berubah menjadi dunia di dalamnya? Pertanyaan yang lebih penting, "Apa sebenarnya yang hendak disampaikan film ini?".

A World Without berlatar tahun 2030 selepas pandemi COVID-19 usai, di mana sebuah komunitas bernama The Light milik pasangan suami-istri, Ali Khan (Chicco Jerikho) dan Sofia (Ayushita). Bisa dibilang The Light adalah evolusi dating app. Para remaja berkumpul, belajar beragam kemampuan, lalu saat menginjak 17 tahun, The Light bakal menikahkan mereka dengan pasangan yang dipilih menggunakan algoritma. 

Tiga sahabat, Salina (Amanda Rawles), Tara (Asmara Abigail), dan Ulfah (Maizura) baru saja bergabung. Melihat ketiganya, pertanyaan-pertanyaan langsung memenuhi otak. Nia dan Lucky ingin menyentil "kaum kanan" melalui idelogoi The Light yang menentang konsep pacaran (termasuk lewat video propaganda palsu), pula mendukung gerakan nikah muda dan poligami. 

Saya termasuk yang bakal menentang, alias berada di pihak pembuat film ini. Di realita, ideologi The Light berasal dari sudut pandang agama. Saya bisa memahami alasan Tara yang mempunyai masa lalu kelam (orang-orang serupa kerap mudah tergoda "hijrah salah kaprah"), tapi bagaimana dengan Salina? Dia mengidolakan Ali Khan karena merindukan sosok ayah, namun itu belum cukup menjelaskan, mengapa gadis sepertinya bersedia jadi "budak moral", seperti saat merekam orang-orang yang berpacaran di ruang publik? 

Mari berasumsi kalau Salina begitu memuja Ali, sampai mau mengikuti seluruh perkataannya. Kalau begitu, menjadi tidak wajar tatkala prinsipnya goyah hanya karena sekali menerima bantuan dari Hafiz (Jerome Kurnia dengan rambut acak-acakan, yang kembali menunjukkan kengawuran perspektif sineas Jakarta dalam menggambarkan orang miskin dan/atau daerah). Mendadak ia jatuh cinta, mendadak ia bersedia melanggar aturan terkait interaksi antar lawan jenis. 

Seiring waktu, Salina menyadari betapa The Light bukan surga seperti bayangannya. The Light ibarat cult. Pengikut Ali memanggilnya "Yang Istimewa". Wajar jika The Light tampak menggoda karena menawarkan kepemilikan properti setelah menikah, namun mengingat anggotanya adalah remaja (yang belum dicekoki beban pikiran membeli rumah dan sebagainya), pun latarnya tidak sampai satu dekade di masa depan, saya kembali mempertanyakan, fenomena apa yang mendasari perubahan ekstrim tersebut? Pandemi bukan alasan kuat. Begitu pun soal maraknya propaganda bernapas agama. Naskahnya seperti enggan berpijak pada realita, dalam usahanya mengkritik realita. 

Anda bakal sering menemukan kata "cringey" dalam berbagai ulasan atau reaksi penonton terhadap A World Without. Tidak salah. Desain kostum Isabelle Patrice dan Tania Soeprapto (dua penata kostum langganan Joko Anwar, yang turut muncul sebagai cameo guna menyindir perihal "co-director" di perfilman Indonesia), terutama yang dikenakan Chicco dan Ayushita, memang bagus. Glamor. Unik. Tapi deretan properti futuristik seperti bingkai foto digital, hingga jam pintar ala Nubia Smartwatch, malah tampak menggelikan. 

Bukan hanya di tata artistik, penulisan maupun penyutradaraannya pun tidak jarang terasa cringey. Asmara Abigail tampil semaksimal mungkin, namun sialnya, ia banyak mendapat bagian momen, yang entah disengaja atau tidak, tersaji konyol. Amanda Rawles dan Ayushita lebih beruntung. Keduanya (khususnya Ayushita) merupakan elemen terbaik A World Without, sebuah film yang pasca melewati klimaks tanpa sense of urgency, menawarkan konklusi yang justru semakin meninggalkan kebingungan tentang, "Apa yang sebenarnya mau dibicarakan?". 


(Netflix)

RATU ILMU HITAM (2019)

Kimo Stamboel (sutradara) dan Joko Anwar (penulis naskah) bersatu membuka pintu neraka dalam Ratu Ilmu Hitam, remake film berjudul sama rilisan tahun 1981 yang dibintangi Suzzanna (membawanya menyabet nominasi “Pemeran Utama Wanita Terbaik pada Festival Film Indonesia 1982). Batasan didobrak, ketabuan dikesampingkan, guna melahirkan horor Indonesia terbaik selama 2019.

Dibanding versi lamanya, naskah Joko menambahkan satu unsur: misteri. Sosok Murni si Ratu Ilmu Hitam masih ada, tapi ketimbang prolog, motivasi balas dendamnnya diletakkan di akhir selaku twist. Bahkan identitasnya dirahasiakan. Lebih dulu kita diajak berkenalan dengan Hanif (Ario Bayu), yang membawa istrinya, Nadya (Hannah Al Rashid), beserta tiga anak mereka, Dina (Zara JKT48), Sandi (Ari Irham), dan Haqi (Muzakki Ramdhan dalam satu lagi penampilan yang mencuri perhatian), mengunjungi panti asuhan tempatnya tinggal semasa kecil.

Kedatangan Hanif bertujuan untuk menjenguk Pak Bandi (Yayu Unru), si pengurus panti yang tengah sakit keras. Hadir pula dua sahabat Hanif, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan), membawa pasangan masing-masing, Eva (Imelda Therinne) dan Lina (Salvita Decorte). Semua awalnya tampak aman, bahagia, sarat nostalgia. Pun sesekali kita akan dibuat tersenyum, entah karena celotehan-celotehan polos Haqi, atau banter menggelitik Anton dengan Eva. Bahkan pasangan Maman (Ade Firman Hakim) dan Siti (Sheila Dara Aisha), dua kawan lama Hanif yang kini ikut mengurus panti, yang awalnya tampak misterius, larut juga dalam romantika.

Satu-satunya gangguan adalah saat di perjalanan menuju panti, mobil Hanif menabrak seekor rusa. Merasa janggal, ia mengajak Jefri menyatroni lokasi, hanya untuk mendapati ada teror mematikan tengah mengintai. Sebagaimana versi 1981, teror ini didasari balas dendam, hanya saja didorong penyebab yang berbeda. Dibanding naskah horor/thriller Joko lain, Ratu Ilmu Hitam mungkin paling straightforward, meski segelintir detail tersirat tetap bisa ditemukan. Contoh: Sudahkah anda menemukan karakter LGBT film ini?

Seperti biasa, kelebihan cerita tulisan Joko adalah soal menyulut antisipasi. Pertanyaan demi pertanyaan muncul berkala, tabir teror perlahan disibak, sebelum berakselerasi memasuki parade kegilaan, yang sekalinya dimulai, menolak untuk berhenti. Satu per satu korban teluh berjatuhan, sedangkan di sela-sela deretan kematian mengenaskan itu, beberapa kejutan dilemparkan supaya filmnya tidak terkesan hanya menambah tumpukan mayat.

Menggunakan fobia (beberapa di antaranya dimiliki oleh karakternya), teror Ratu Ilmu Hitam menyambah ranah yang tidak banyak horor kita berani sentuh, baik karena alasan moral maupun sensor. Hampir semua jenis siksaan ada. Mutilasi? Cek. Dibakar hidup-hidup? Cek. Digerogoti kelabang? Cek. Jarang pula horor kita berani membuat karakter bocah berdarah-darah. Berulang kali. Secara gamblang.

Setelah Dreadout yang mendekati kategori “bencana” di awal tahun, Kimo akhirnya lepas di sini. Energi sekaligus totalitas yang sama perihal presentasi sadisme, yang membuat duet Mo Brothers angkat nama, kembali Kimo tampilkan. Kimo cuma butuh pondasi naskah yang memfasilitsi visi gilanya, dan Joko menyediakan itu. Puncaknya adalah klimaks tatkala sang Ratu Ilmu Hitam berniat menciptakan neraka dunia. Dan rasanya memang seperti mengunjungi sudut-sudut neraka yang dipenuhi teriakan manusia akibat menerima siksaan tak terbayangkan. Serupa siksa neraka pula, ada ketidakberdayaan. Saya tahu, akhirnya protagonis pasti menemukan jalan keluar, tapi untuk sesaat, rasanya semua harapan sudah sirna.

Memang ada kekecewaan tertinggal akibat konklusi terlampau mudah, yang hadir setelah sebuah momen sinting, yang mengandung referensi terhadap Dukun Ilmu Hitam (1981). Tapi itu cuma cacat kecil dibandingkan seluruh rasa sakit, rasa takut, rasa jijik, rasa mual, dan rasa-rasa tak mengenakkan—tapi menyenangkan—lain yang berhasil dipersembahkan Ratu Ilmu Hitam.

PEREMPUAN TANAH JAHANAM (2019)

Setelah sedikit dikecewakan oleh Gundala, Perempuan Tanah Jahanam mengingatkan lagi alasan kekaguman saya terhadap film-film Joko Anwar. Tidak ada batasan, baik terkait moralitas maupun kreativitas, sehingga terlahir karya yang bebas nan segar. Kali ini Joko mengawinkan gagasan soal kasih sayang orang tua dalam keluarga disfungsional dengan lingkaran setan bernama kutukan.

Kredit pembuka di mana nama-nama bak terlukis di atas kelir (layar pertunjukan wayang kulit) diiringi musik bernuansa gamelan (digawangi trio Aghi Narottama-Bemby Gusti-Tony Merle plus Mian Tiara, scoring-nya ampuh membangun atmosfer sepanjang durasi), membuat Perempuan Tanah Jahanam langsung mencengkeram sedari awal.

Bahkan sejak sebelum itu, tepatnya pada adegan pembuka saat dua sahabat yang bekerja sebagai penjaga gerbang tol, Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita), mengobrol lewat telepon sembari menanti berakhirnya shift malam mereka. Kembali, Joko memamerkan kebolehan merangkai interaksi kasual, yang tak jarang mengandung pokok pembicaraan remeh cenderung nyeleneh, namun di situlah realisme terbangun. Meski sayang, lagi-lagi karakter Joko mengidap “penyakit” berupa artikulasi yang sering rancu.

Pembicaraan Maya dan Dini ditutup teror mencekam, yang turut menyibak sebuah rahasia. Maya akhirnya mengetahui siapa orang tua sekaligus kampung halamannya, yang terletak di Desa Harjosari. Bukan cuma itu, ada kemungkinan sebuah warisan melimpah telah menantinya. Sedang kesulitan uang, kedua wanita ini memutuskan berangkat ke Harjosari, tanpa tahu jika selain warisan, bahaya besar pun menanti mereka.

Sense of impending doom. Perasaan itu yang Joko ingin penontonnya rasakan. Dari penampakan-penampakan makhluk gaib—walau tak semencekam dan sekreatif Pengabdi Setan, jump scare buatan Joko masih jauh dari murahan—sampai keanehan suasana Desa Harjosari. Sekilas warga di sana bersikap ramah, termasuk Ki Saptadi (Ario Bayu) si kepala desa yang tinggal bersama sang ibu, Nyi Misni (Christine Hakim), namun aroma ketidakberesan tercium pekat.

Aroma yang makin kuat sewaktu Dini mengambil sebuah keputusan nekat, yang bagai jadi gerbang pembuka menuju kegilaan-kegilaan Perempuan Tanah Jahanam. Perihal intensitas, kelebihan Joko dibanding sutradara lain adalah kemampuan memanfaatkan talenta pemain untuk menghidupkan ketakutan di tengah suasana darurat. Mentah, bak tanpa polesan. Tara Basro, dengan penampilan memadai, boleh jadi tokoh utama, tapi Marissa Anita adalah bintang pertunjukan. Diperlihatkannya definisi “efortless” dalam akting, entah lewat luapan rasa takut yang akan membuat jantung penonton ikut berdebar, atau menangani obrolan santai dengan sedikit bumbu komedi.

Dua metode penghantaran horor Joko terapkan di sini, yaitu melalui pemandangan disturbing dan atmosfer. Saya tidak bisa mengungkap detail kekerasan apa saja yang film ini simpan, tapi pastinya Joko tak ragu bermain-main dengan tubuh manusia. Darah jelas mengalir di tanah jahanam Harjosari. Mengenai atmosfer, Joko, dibantu sang sinematografer langganan, Ical Tanjung, menggunakan sorotan lampu kuning kala malam hari, khususnya pada tempat di mana mistisisme berpusat. Bagai ada kabut pekat menyesakkan dari alam lain sedang menyelubungi Harjosari. Ditambah latar rumah-rumah remang, keangkeran timbul tanpa perlu ada makhluk halus bertampang mengerikan menampakkan diri.

Kelemahan Perempuan Tanah Jahanam terletak di satu elemen naskah. Setelah secara apik mengimplementasikan budaya klenik tanah Jawa, naskahnya tersandung urusan pemaparan jawaban misteri. Joko menyisihkan dua titik di alur untuk menjabarkan tabir kebenaran secara gamblang. Saya merasa ini bentuk kompromi Joko kepada penonton awam, mengingat kegamblangan bukan sesuatu yang identik dengan karyanya. Tapi masalah terbesar bukan soal “seberapa gamblang”, melainkan bagaimana proses menyuapi informasi itu, terjadi berkepanjangan, dan diletakkan di tengah babak ketiga, sehingga melucuti intensitas.

Klimaksnya sendiri, meski tetap mengalirkan darah pula menampilkan tragedi, kekurangan daya bunuh. Ketika saya sudah bersiap menerima dikecewakan oleh resolusinya, Joko melemparkan momen final. Momen penutup ini—menghadirkan wajah familiar selaku cameo serta Christine Hakim yang melengkapi keberhasilannya memancing ngeri sepanjang film—menusuk jantung bermodalkan intensitas luar biasa, berkat kemampuan Joko memadukan timing kejutan, grafik disturbing, tempo tinggi, serta dua sumber suara, yakni musik dan teriakan manusia. Hanya segelintir sutradara bisa mengkreasi kegilaan semacam itu. Berbagai kekurangan yang sebelumnya muncul pun terbayar lunas, menegaskan film ini memang jahanam!

GUNDALA (2019)

Gundala mengawali “Jagat Sinema Bumilangit” yang beberapa waktu lalu mengumumkan jajaran pemain bertabur bintang. Proyek paling ambisius sepanjang sejarah perfilman Indonesa yang wajib disaksikan bagaimanapun hasil akhirnya, mengingat peran pentingnya sebagai gerbang pembuka menuju genre pahlawan super. Ya, karena saya menekankan urgensi menonton bukan pada kualitas, mungkin anda bisa menebak bahwa karya teranyar Joko Anwar ini meninggalkan kekecewaan.

Mengadaptasi komik buatan Hasmi, Joko Anwar selaku penulis naskah, sutradara, sekaligus produser kreatif “Jagat Sinema Bumilangit” jelas tidak berniat menyajikan film keluarga. Latarnya adalah versi alternatif negeri ini, yang sejatinya tak sejauh itu dari realita, di mana ketidakadilan merajalela, si kaya berkuasa atas si miskin, kerusuhan senantiasa pecah, sementara mafia menguasai wakil rakyat yang sibuk menimbun keuntungan pribadi ketimbang mewakili aspirasi.

Bahkan sedari awal, kita langsung berhadapan dengan tragedi tatkala Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) mesti kehilangan ayahnya (Rio Dewanto) yang meregang nyawa akibat menuntuk keadilan bagi buruh. Setahun kemudian giliran sang ibu (Marissa Anita) menghilang entah ke mana. Dihimpit kemiskinan, Sancaka tumbuh dalam dilema antara menegakkan kepedulian atas nama kemanusiaan, atau bersikap tak acuh demi keselamatan diri.

Beberapa tahun berselang, Sancaka dewasa (Abimana Aryasatya) yang berprofesi sebagai penjaga keamanan pabrik masih bergulat dengan sikap apatis, sampai keputusannya membantu Wulan (Tara Basro) mulai menyadarkan Sancaka, mendorongnya bertarung demi kaum tertindas berbekal kekuatan misterius yang ia peroleh melalui sambaran petir.

Seperti biasa, dunia Joko adalah dunia kelam yang dilebihkan tanpa harus kehilangan relevansi. Krisis moral dan kemanusiaan disorot, sehingga pemilihan Pengkor (Bront Palarae) sebagai antagonis merupakan keputusan tepat. Serupa Sancaka, si mafia penguasa ini menyimpan masa lalu tragis. Kehilangan segalanya lalu terbuang, Pengkor akrab dengan aksi bunuh-membunuh sejak kecil, sebagaimana ditampilkan adegan paling menghantui sepanjang film kala ia menginisiasi pembantaian di sebuah panti asuhan.

Pertentangan Sancaka melawan Pengkor menciptakan dinamika menarik walau keduanya baru bertatap muka di babak ketiga. Sama-sama dinaungi tragedi, tatkala Pengkor terdorong untuk “membalas”, Sancaka merasa perlu “membela”. Bukan sekadar menghilangkan kekliesean hitam melawan putih, melalui elemen itu, Joko juga mengingatkan jika manusia selalu punya pilihan: Menjadikan masa lalu suram sebagai justifikasi perbuatan buruk, atau pelecut semangat juang, atau dalam konteks berbangsa, penyulut patriotisme.

Naskah Gundala pun sanggup cukup seimbang menghadirkan drama yang berdiri sendiri dengan proses menanam benih bagi masa depan “Jagat Sinema Bumilangit”. Walau aspek yang disebut terakhir sempat memberi distraksi saat menyoroti intensi terselubung Ghazul (Ario Bayu) plus sebuah kejutan beraroma deus ex machina jelang akhir yang saya tak bisa sebutkan, melaluinya, rasa penasaran serta ketertarikan terhadap masa depan jagat sinema satu ini berhasil dipancing.

Sementara di departemen penyutradaraan, Joko membuktikan pemilihan dirinya adalah keputusan tepat, ketika mulus membaurkan elemen horor ciri khasnya. Gejolak batin Sancaka dibungkus layaknya horor supranatural, sedangkan jajaran lawan Gundala digambarkan bak horror villain, khususnya sosok Pengkor dan Swara Batin (Cecep Arif Rahman). Pendekatan ini sesuai dengan gaya komik pahlawan super lokal yang kerap meleburkan beraneka genre, termasuk horor. Jangan khawatir Gundala terlampau suram, sebab Joko tetap mencurahkan humor-humor segar yang sejak dulu mampu memperkaya warna karyanya.

Tapi hal-hal di atas bukan kekhawatiran saya bagi proyek ini. Bukan pula kualitas CGI, yang untungnya digunakan secara bijak, walau keterbatasan dana turut mengecilkan kesempatan Gundala memamerkan sambaran petirnya. Bagaimana Joko bersama sinematografi garapan Ical Tanjung (Pengabdi Setan, Ave Maryam) menangkap gelaran laga hasil rancangan Cecep Arif Rahman-lah sumber kekhawatiran tersebut, yang sayangnya, jadi kenyataan.

Teknik quick cuts memang tak digunakan. Kamera cenderung setia mengikuti tiap gerakan, namun banyaknya close up kerap melucuti intensitas. Mayoritas baku hantam pun bergulir amat lambat, seolah kita tengah menonton gladi daripada produk final. Teknik itu efektif membungkus perkelahian “kasar” ala jalanan, tapi melemahkan dampak saat gerak bela diri yang lebih tertata dikedepankan, yang mana sering filmnya terapkan. Alhasil, musik megah gubahan trio Aghi Narottama (Pengabdi Setan, Sweet 20), Bemby Gusti (Ini Kisah Tiga Dara, Pengabdi Setan), dan Tony Merle (Pengabdi Setan, Sesat) acap kali terdengar salah tempat sewaktu membungkus adu jotos yang berlangsung canggung.

Gundala turut bermasalah dengan konklusi penuh penyederhanaan (kalau tidak mau disebut penggampangan) juga pertarungan puncak antiklimaks. Perkenalan bagi barisan “anak-anak" badass Pengkor yang memancing antusiasme harus ditutup secara mengecewakan setelah tokoh-tokoh unik ini ditumbangkan begitu mudah. Belum lagi membahas cara sang bos besar ditaklukkan (tentu ini bukan spoiler).

Diisi penampilan mumpuni, biarpun penuh lubang, setidaknya Gundala urung kehilangan nyawa. Abimana bisa diandalkan baik sebagai pahlawan tangguh maupun pria baik hati yang gampang disukai. Menjadi lawannya adalah Bront Palarae melalui tutur kata intimidatif yang lebih dari cukup menambal kekurangan fisik seorang Pengkor. Di jajaran pendukung, Pritt Timothy sebagai Agung si satpam senior mencuri perhatian lewat keluwesan dan kejenakaan, sedangkan kebolehan bela diri Faris Fajar membuat saya tidak sabar menantikan versi dewasa Awang alias Godam.

Apakah Gundala merupakan pembuka yang memadai bagi “Jagat Sinema Bumilangit”? Bisa dibilang demikian. Apakah mencapai potensi maksimal? Tidak.  Apakah Gundala karya terlemah Joko Anwar sejauh ini? Begitulah. Tapi haruskah diberi kesempatan? Jelas! Just go watch it!

ORANG KAYA BARU (2019)

Orang Kaya Baru disutradarai oleh Ody C. Harahap (Kapan Kawin?, Sweet 20, Me vs Mami) yang sekali lagi membuktikan kapasitasnya menggarap tontonan berdaya hibur tinggi. Tapi sebenarnya film ini lebih terasa sebagai pengingat tentang betapa bagusnya penulisan komedi seorang Joko Anwar. Saya tertawa lepas sepanjang durasi, karena selain kreatif, humornya begitu nyata. Joko merangkai absurditas berdasarkan realita yang teramat dekat.

Kisahnya menampilkan sebuah keluarga yang (harus) makan bersama tiap malam demi penghematan. Penghasilan Bapak (Lukman Sardi) di bengkel tak seberapa, demikian pula hasil dagangan kue Ibu (Cut Mini). Ketiga anak mereka pun mesti pontang-panting. Tika (Raline Shah) dituntut mengerjakan tugas kuliah arsitekturnya memakai barang bekas, Duta (Derby Romero) hanya bisa bermimpi membuat pementasan teater megah, sedangkan si bungsu Dodi (Fatih Unru) sering jadi bahan olok-olok di sekolah akibat sepatu bututnya.

Di tengah kondisi ekonomi serba kekurangan tersebut, mereka justru memperoleh hal yang lebih bernilai ketimbang uang: kebersamaan dan kehangatan keluarga. Selepas Bapak meninggal, kondisi berbalik. Rupanya ia berasal dari keluarga kaya yang menyembunyikan hartanya karena ingin keluarganya menghargai hasil kerja keras. Kini seluruh tabungan tersebut diwariskan kepada istri serta anak-anaknya.

Seperti jamaknya stereotip orang kaya baru yang kita kenal, mereka “kaget” dan menghambur-hamburkan uang tersebut. Secepat kilat mereka mendapatkan apa yang selama ini tak dimiliki, walau tanpa sadar, di saat bersamaan mereka pun kehilangan hal penting yang dimiliki. Sekarang mereka sibuk berbelanja sendiri-sendiri, mampu makan di luar rumah, dan jalan-jalan sesuka hati. Tidak perlu lagi ada penghematan dengan cara makan bersama.

Joko memposisikan meja makan selaku hati film ini. Hampir seluruh momen emosional Orang Kaya Baru bertempat di sana, sebutlah “pertemuan keluarga mendadak” pasca penguburan Bapak, lamunan Dodi kala duduk sendirian merindukan kehangatan keluarga, hingga saat si bungsu itu menumpahkan segala keluh kesahnya. Fatih Unru melanjutkan pencapaian gemilangnya di Petualangan Menangkap Petir tahun lalu sebagai salah satu aktor cilik paling menjanjikan di negeri ini.

Babak kedua film ini sejatinya sebatas kompilasi momen komedik yang menyoroti kekonyolan perilaku para orang kaya baru. Pilihan ini berisiko membuat alurnya jalan di tempat dan monoton, tapi beruntung, humor tulisan Joko selalu segar, timing pengadeganan Ody sempurna, dan performa jajaran pemain senantiasa menyuntikkan energi, khususnya kedua pelakon wanita utama. Di luar glamoritas yang membuatnya layak memperoleh peran di sekuel Crazy Rich Asians, Raline Shah memamerkan sisi lain sekaligus penampilan terbaik sepanjang karir, kala mulus melakoni tingkah norak Tika. Begitu pula Cut Mini dengan gaya histerikal yang tak pernah gagal mengocok perut. Hampir setiap baris kalimat maupun kelakuan sang aktris berujung momen komedi emas.

Naskahnya memperhatikan pengembangan cerita serta karakter. Gesekan konfliknya jelas: Walau para orang kaya baru tahu cara berfoya-foya, mereka belum siap menghadapi hal-hal yang datang seiring bertambahnya isi tabungan. Tika dan kehidupan sosial ditambah romansanya dengan Banyu (Refal Hady), Duta dengan tanggung jawab menangani pertunjukan berskala besar, Ibu dengan hal-hal berbau hukum dan legalitas. Semuanya asing bagi mereka. Alhasil, alasan di balik kesulitan tokoh-tokohnya bisa dipahami, termasuk saat mereka jatuh ke titik terendah masing-masing. Orang Kaya Baru punya presentasi elemen sebab-akibat mumpuni yang mana kerap dilupakan penulis naskah kita.

Sayang, naskahnya sedikit tersandung di paruh konklusi yang berpotensi membingungkan bagi sebagian penonton, akibat dituturkan secara terburu-buru, datang dan pergi begitu saja sehingga melemahkan dampak dramatik yang semestinya muncul guna mengakhiri cerita. Tapi toh berbekal segala kekuatannya, Orang Kaya Baru bakal berdiri tegak sebagai salah satu hiburan terkuat  tahun ini.

JAFF 2018 - DAYSLEEPERS (2018)

Bagian mana yang manis dari dua manusia yang menyadari eksistensi satu sama lain dari jendela masing-masing? Apabila pernah menetap di Jakarta, lalu mencicipi monotonitas hiruk pikuk rutinitasnya, romantisme sederhana saat takdir menautkan dua sosok asing kemungkinan bakal anda pahami. Sebab disadari atau tidak, manusia-manusia yang bergelut dengan artificial-nya ibu kota seringkali memimpikan ikatan. Bahwa entah kapan dan bagaimana, di malam hari kala roda gigi industri telah mati, ada jiwa bernasib sama yang bisa diajak berbagi hati.

Daysleepers mempunyai judul Bahasa Indonesia Kisah Dua Jendela, di mana dua jendela yang dimaksud adalah tempat Leon (Khiva Iskak) dan Andrea (Dinda Kanyadewi) melongok keluar dari ruang kerja mereka. Leon merupakan novelis sukses yang berusaha berkarya lagi pasca vakum beberapa tahun setelah kematian istrinya. Selepas puteranya tidur, Leon duduk di cafe milik Tito (Joko Anwar), berusaha menulis kembali. Andrea pun sama, seorang daysleeper yang banting tulang di malam hari karena pekerjaannya di dunia saham menuntut komunikasi internasional yang terbentur perbedaan waktu.

Hidup keduanya terserap oleh layar komputer demi menghasilkan pundi-pundi rupiah. Khususnya Andrea, yang selalu berpesan pada adiknya, Dina (Agnes Naomi) agar giat belajar supaya mudah mendapatkan uang. Paul Agusta (Parts of the Heart, Semua Sudah Dimaafkan sebab Kita Pernah Bahagia) selaku sutradara sekaligus penulis naskah mengajak kita mengamati repetisi kehidupan membosankan milik Andrea: Terbangun oleh bunyi alarm yang sama, menyikat gigi, tiba di kantor yang kosong, menonton Popeye di televisi, membuat kopi dan camilan, memulai pekerjaan, lalu pulang setelah fajar.

Pengulangan bertempo lambat yang diterapkan Paul untuk mewakili monotonitas hidup Andrea kemungkinan bakal melelahkan untuk sebagian besar penonton. Pilihan gaya tersebut mempunyai maksud, meski pertanyaan “Perlukah diulang sebanyak itu?” sebenarnya patut dilontarkan. Pun selaku alat bantu membangun suasana, Nikita Dompas (Cahaya dari Timur: Beta Maluku) membuat musik elektronik untuk menyimbolkan betapa tokoh-tokohnya dikuasai benda elektronik. Sayangnya, selain terdengar bagai royalty free music yang bertebaran di internet, penempatannya kerap kurang tepat, sehingga di beberapa titik justru mendistraksi alih-alih menyokong.

Tapi sebagai bahan observasi, pemandangan di atas jadi menarik sewaktu lama-kelamaan, Andrea mulai tertarik mengintip lewat jendela kantornya seiring munculnya kebosanan serta keraguan atas tujuannya bekerja. Hampir sepanjang durasi tampil seorang diri, Dinda selalu punya cara agar kekosongan rutinitas Andrea tidak turut menciptakan adegan yang hampa. 

Soal intip-mengintip, Leon (juga nama mendiang ayah Paul Agusta) sudah melakukannya lebih dulu. Keanehan di mana ruang kerja Andrea jadi satu-satunya jendela yang bercahaya memantik inspirasinya. Leon mulai menulis tentang bayangan si wanita asing di jendela. Ketika presentasi dunia Andrea sunyi nan sepi, Leon berbeda. Di cafe tempatnya menulis, berlangsung lebih banyak dinamika berkat keberadaan manusia-manusia lain, yang kebetulan, gemar berceloteh.

Tito si pemilik cafe merupakan pengagum karya Leon, dan sewaktu sang penulis buntu, Tito senantiasa melontarkan kata-kata penyemangat. Sebagai penulis, saya paham betul makna senyum dan api semangat yang menyala lagi di mata Khiva Iskak begitu mendengar dukungan Tito. Salah satu harta paling berharga bagi penulis memang ungkapan “cinta” pembacanya. Bukan Tito saja yang meramaikan suasana, turut hadir Topan (Tadelesh Ilham) si pelayan polos dan Niken (Djenar Maesa Ayu), pemilik bar yang ceplas-ceplos dalam bicara.

Adegan cafe begitu hidup, bahkan acap kali memancing tawa berkat kombinasi jajaran pemain  yang di dunia nyata memang sudah lebih dari saling mengenal. Paul membiarkan aktor-aktornya berimprovisasi (Menurut Paul, hanya sekitar 30% dari keseluruhan pembicaraan di cafe yang bersumber dari naskah). Joko dengan komentar-komentar bernada ajaib, Djenar lewat ungkapan-ungkapan juju yang sesekali terdengar “nakal”, bukan saja meramaikan malam Leon, pula filmnya. Diakhiri momen singkat namun manis, Daysleepers memberi payoff setimpal bagi kita yang sabar menanti terjalinnya sebuah ikatan.

MY GENERATION (2017)

Pada 1965, lewat lagu My Generation, The Who mewakili perlawanan kaum muda. Meneriakkan "People try to put us down. Just because we get around" sebagai protes saat pemegang otoritas pun generasi terdahulu menganggap semangat Baby Boomers yang menyulut perubahan kultural adalah kebejatan mengganggu. 52 tahun berselang, Upi merilis film terbarunya, juga berjudul My Generation. Mengusung tagline "No one can stop us", giliran milenial bersuara. Seni cenderung mencerminkan zaman. Membandingkan dua contoh di atas, dapat diasumsikan benturan antar-generasi merupakan lingkaran yang selalu berulang. Generasi tua merasa yang muda keblinger, sebaliknya pemuda jengah akan kekakuan sikap tetua. Pun bukan mustahil bila muda-mudi macam empat protagonis film ini   Zeke (Bryan Warow), Konji (Arya Vasco), Suki (Lutesha), dan Orly (Alexandra Kosasie)   kelak bakal dipandang kolot oleh anak-anaknya. Menarik disimak cara Upi menangani kompleksitas tersebut.

Zeke, Konji, Suki, dan Orly terpaksa mengubur keinginan berlibur ke Bali akibat dihukum para orang tua pasca video yang menampilkan keempatnya mengkritik sistem pendidikan sekolah serta orang tua berujung viral. Merasa terlalu keren untuk patuh dan diam di rumah, mereka memilih beraktivitas sesuka hati, entah mendatangi roller disco atau menerobos atap gedung hingga dikejar satpam. Serahkan pada Upi untuk merangkai parade letupan semangat masa muda yang mudah membuat penonton tersenyum, tenggelam dalam keasyikan. Tidak ketinggalan memeriahkan suasana adalah keramaian warna sinematografi Muhammad Firdaus serta barisan musik hip-hop dengan lirik yang mewakili kebebasan pikir pula tutur tokohnya.
Walau sama-sama debutan, empat pemeran utama nyatanya sanggup memberi cukup energi guna menggerakkan filmnya. Dinamika dua pria, Bryan Warrow si biang onar dan Arya Vasco yang lebih berhati-hati, Alexandra Kosasie yang senantiasa mencengkeram atensi ketika melontarkan komentar sinis, hingga Lutesha yang mampu mewakili sisi kelam remaja dengan depresi. Sementara di jajaran pendukung, Tyo Pakusadewo dan Karina Suwandi sebagai orang tua Zeke memberi penampilan terbaik, menghadirkan dua sisi duka kontradiktif: kediaman meresahkan dan luapan pilu menusuk. Ceramah bertubi-tubi Joko Anwar (ayah Konji), juga eksentriknya Indah Kalalo (ibu Orly) pun tak kalah mencuri perhatian.

Tentu My Generation bukan mengenai senang-senang semata. Sejak menit awal, tanpa basa-basi kuartet protagonisnya langsung menyuarakan isi hati yang niscaya segera diamini golongan penonton masa kini. Curahan tersebut memanaskan konflik mereka dengan orang tua masing-masing. Zeke merasa keberadaannya tak diharapkan, Konji selalu diceramahi tentang norma, Suki lelah dianggap memalukan nama keluarga, sementara Orly risi mendapati sang ibu yang terlampau eksis di media sosial dan memacari pria berusia jauh lebih muda. Pertanyaannya, seberapa cerdik Upi mengolah bentrokan generasi ini?
Di satu titik karakternya mengutarakan perspektif jika sikap protektif orang tua dikarenakan sewaktu muda dahulu berbuat hal serupa anak-anaknya. Ada kesadaran seputar siklus berulang perilaku tiap generasi. Sayangnya Upi urung menggali soal itu. Padahal bisa muncul titik temu, solusi berupa pemahaman kedua belah pihak bahwa orang tua pernah muda dan sama liarnya, sedangkan milenial suatu hari (mungkin) akan mengalami perubahan pola pikir seiring pendewasaan. Akhirnya My Generation berhenti di tataran "kado bagi milenial". Tidak salah, tapi berpotensi membahas perihal generasi secara lebih luas.

Kelemahan My Generation memang bertumpuk di resolusi. Seiring konflik memanas, berkurangnya keceriaan adalah proses natural. Memasuki paruh kedua, nuansa kelam menyeruak, namun alih-alih menguatkan bobot emosi, justru melucuti daya tarik akibat kurang cakapnya Upi menjalin dinamika dramatik. Bertambah kelam tanpa bertambah dalam. Satu-satunya momen solid adalah ketika orang tua Suki menemukan "petunjuk" terkait kondisi mentalnya. Suatu tamparan keras, sebab selama ini mereka kerap memasuki kamar Suki tapi tak sekalipun menyadari meski semua terpampang jelas. Film mencapai titik nadir begitu menyentuh akhir, sewaktu "konklusi ajaib" jadi pilihan. Selesainya satu perselisihan tiba-tiba turut menyelesaikan masalah lain walau tak saling bersinggungan. Langkah penggampangan yang mestinya tidak dipakai untuk menutup deretan problematika rumit. 

PENGABDI SETAN (2017)

Timbul dua pertanyaan sebelum menonton remake dari horor cult rilisan tahun 1980 karya Sisworo Gautama ini. Pertama, apakah bisa menandingi versi aslinya? Kedua, bisakah Joko Anwar, yang selama karirnya dikenal akan keunikan karya memberi pembeda di tengah minat publik terhadap horor lokal yang mulai tumbuh kembali? Jawaban bagi keduanya: bisa. Sebagai penggemar Pengabdi Setan (10 tahun mengejar restu Rapi Films membuat lagi filmnya) serta film genre, Joko tak sekedar mereka ulang, melainkan menyertakan sentuhan personal sembari tetap menghormati sumbernya. 

Sejak awal tanda positif telah terpampang. Selain tata artistik yang seperti biasa amat Joko perhatikan, kita tak langsung diberi teror prematur. Sempat tampak Mawarni (Ayu Laksmi) terbaring sambil merapal sesuatu, namun itu merupakan siratan poin kunci alur dan penegasan tone ketimbang gebrakan buru-buru. Selebihnya penjabaran kondisi tiap anggota keluarga: penyakit Mawarni meredupkan karir bernyanyinya lalu menyulitkan ekonomi keluarga, Rini (Tara Basro) mesti menjaga tiga adik laki-lakinya, Suwono si bapak (Bront Palarae) terpaksa menjual berbagai barang untuk hidup, Toni (Endy Arfian) rela mengesampingkan kepentingan pribadi, juga Ian (Adhiyat Abdulkhadir) si bungsu yang bicara memakai bahasa isyarat.
Karakter kerap dilupakan sineas horor, padahal kepedulian penonton atas mereka mempengaruhi pembangunan tensi. Pula harus diingat, di balik sampul kengeriannya, Pengabdi Setan adalah kisah kekeluargaan. "Keluarga di atas segalanya" merupakan poros penggerak. Begitu Mawarni meninggal kemudian menebar teror, kengerian berlipat ganda, sebab alih-alih pertarungan melawan entitas jahat biasa, karakternya dihadapkan pada sosok yang identik dengan kenyamanan, yaitu ibu. Kecerdikan Joko meleburkan sentuhan supernatural horor dengan nilai kekeluargaan menghasilkan rentetan momen mencekam yang turut mengaduk-aduk emosi, sebutlah "adegan sumur" atau keterlibatan kursi roda saat klimaks.

Terkait berbaliknya sosok ibu menebar ancaman, inilah kengerian Pengabdi Setan sesungguhnya. Setan bukan hanya menghantui lewat penampakan, namun mempermainkan psikis manusia. Sama halnya bagaimana remake ini memposisikan Ustad (Arswendy Bening Swara) selaku manusia biasa, berbeda dibanding film aslinya, yang serupa horor lokal masa itu, menegaskan kekuatan dominan ulama atas iblis (selalu diakhiri pembacaan ayat suci yang menutup masalah). Pun tersimpan kritik subtil tapi sangat relevan nan tepat sasaran bagi pengultusan "pemuka agama" negeri kita dewasa ini.
Soal menakut-nakuti, Joko jelas memutar otak supaya tiap momen berbeda satu sama lain. Ketiadaan repetisi membuat jump scare-nya efektif, setidaknya tak melelahkan. Terlebih mayoritas teror tersaji dalam suasana yang familiar, seperti wudu, bermain view-master, dan pengajian pasca pemakaman. Menarik pula mendapati homage bagi judul-judul klasik, macam Dead Series-nya George Romero untuk membungkus kemunculan para mayat hidup. Ditambah lagi balutan atmosfer tiap lagu Kelam Malam atau lonceng terdengar. Tata riasnya juga patut diacungi jempol, menciptakan wajah-wajah mengerikan dengan takaran tepat, tidak berlebihan maupun terlampau malas. 

Walau Tara Basro, Bront Palarae, sampai Arswendi Bening Swara semuanya memberi penampilan solid, Nasar Anuz dan Adhiyat Abdulkhadir selaku pelakon cilik paling mencuri perhatian. Aktor cilik dalam film sering menjadi titik lemah karena kapasitas akting yang (wajar) belum terasah. Tapi keduanya begitu baik, bertingkah dan bertutur secara meyakinkan, dari mengekspresikan ketakutan hingga menangani celetukan menggelitik yang sesekali menyegarkan suasana tanpa memunculkan masalah tone berkat ketepatan pembagian waktu. Bisa mencekam, bisa melucu. Pengabdi Setan memang paket lengkap, termasuk keberadaan detail-detail terselubung yang layaknya karya lain Joko, mampu memancing diskusi menarik. 


NOTE: 
  1. Kalau belum menonton filmnya, jangan buka kolom komentar. Banyak diskusi dengan SPOILER.
  2. Karena jumlah melampaui batas, kolom komentar dibagi menjadi lebih dari satu halaman. Klik "Lebih Baru" atau "Latest" untuk membuka halaman berikutnya.

STIP & PENSIL (2017)

Negeri ini masih bodoh. Kalau cerdas, mana mungkin masyarakatnya dapat digiring persepsinya melalui pembodohan atas nama agama. Tapi di mana akar permasalahannya? Melalui naskahnya, Joko Anwar menyiratkan bahwa semua berasal dari dasar saat kita masih belajar baca tulis bermodalkan stip dan pensil. Bahwa segala kesempitan akal, kebodohan, rasialisme, pola pikir yang mendahulukan perut daripada otak, disebabkan minimnya ketersediaan pendidikan layak sedari dini. Di tengah banyolan-banyolan, Stip & Pensil coba menghadirkan relevansi atas gambaran negeri kita tercinta ini. 

Menarik kala banyak pihak mengatasnamakan hak asasi lalu membela rakyat kecil, menyalahkan orang berduit dan pemerintah, Joko memancing jalannya nalar penonton dalam memandang sebuah kondisi. Bagaimana jika sinisme pada orang kaya menutupi objektivitas kita? Bagaimana jika pemerintah telah melakukan tindakan tepat sesuai hukum tapi kita dibutakan perasaan, begitu saja membela rakyat miskin yang sejatinya juga keliru? Tengok empat protagonis film ini, Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha), sekelompok siswa SMA kaya yang mengeksklusifkan diri, egois, nihil kepedulian. Setidaknya itu menurut teman-teman satu sekolah mereka.
Kesampingkan setting sekolahnya, terdapat cerminan masyarakat kita secara umum. Edwin (Rangga Azof) dan teman-teman menganggap diri paling benar serta memandang orang lain dari kulit luar. Sementara Richard (Aditya Alkatiri) si YouTuber/jurnalis dadakan bak media yang enggan meninjau fakta, seenak jidat mewartakan cerita. Ingin melenyapkan stigma negatif itu, Toni dan kawan-kawan mengikuti lomba esai nasional bertema "sosial masyarakat", bersaing dengan kelompok Edwin yang menganggap langkah itu bentuk cari muka belaka. Sebaliknya, karena merasa tema Edwin dangkal, keempat protagonis kita memutuskan terjun ke lapangan membangun sekolah darurat untuk anak-anak di perkampugan kumuh, bukti kinerja nyata, bukan omong belaka. Ketika kini topik politik tengah terangkat, tentu anda familiar dengan berbagai penokohan itu.

Sejak dulu Joko Anwar memang ahli mengawinkan aspek-aspek naskahnya (karakter, konflik) dalam porsi kecil sekalipun dengan kondisi negeri ini. Caranya subtil. Sekilas hanya paparan fiktif, namun sesungguhnya cerminan realita. Salah satu yang paling menggelitik sekaligus menampar di sini adalah kala warga kampung bergunjing soal Koko Salim, seorang etnis Cina penjual mie ayam. Di akhir pembicaraan, Mak Rambe (Gita Bhebhita) bertanya pada ketua kampung, Pak Toro (Arie Kriting), apakah Ko Salim merupakan warga setempat. Obrolan tersebut tentu merujuk kepada perdebatan tentang pribumi/pendatang yang belakangan sedang memanas. Stip & Pensil bagai mengandung easter eggs berisi kumpulan isu-isu di Indonesia. 
Sindiran-sindirannya komikal, membaur dengan komedi berupa kejenakaan tokoh-tokohnya yang lagi-lagi kerap menyentil sekelompok kalangan tertentu. Turut mendapat kontribusi Ernest Prakasa dan Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1), naskahnya cerdik merangkai humor playful berbasis absurditas situasi maupun tingkah karakter. Piawai pula sutradara Ardy Octaviand (3 Dara, Coklat Stroberi) membangun kelucuan, termasuk memaksimalkan penggunaan musik garapan Aghi Narottama seperti saat keempat protagonis berusaha meminta kembali kursi sekolah mereka dari pemilik warung yang diperankan Yati Surachman. 

Di jajaran cast, Indah Permatasari dan Tatjana Saphira  selaku dua sosok berlawanan  mencuri spotlight. Saras paling ekspresif dibandingkan teman-temannya, dan melihat Indah bertingkah "brutal" saat tak ragu menghantam objek amarah dengan kursi serta totalitas ekspresi besar (baca: lebay) guna menyikapi kekonyolan di sekitarnya sungguh memuaskan. Sebaliknya, Bubu adalah "si bodoh" dalam kelompok, kerap terlambat memahami sesuatu, mendadak berbuat aneh semisal bernyanyi Yamko Rambe Yamko, sampai memasang raut clueless. Kepolosan wajah Tatjana sempurna mewakili ciri-ciri tersebut. 

Kembali ke naskah, sayangnya Joko gagal menawarkan proses memuaskan menuju konklusi beberapa problematika utama. Stip & Pensil berakhir dengan gambaran ideal masyarakat, tapi lalai menjabarkan proses ke sana. (Spoiler Alert) Selain perubahan sikap instan para antagonis, ada kelemahan soal tuturan tentang relokasi (atau penggusuran terserah pandangan anda). Benar bahwa ada keluhan karakter Yati Surachman soal air, gambaran kampung kumuh, sampai buruknya fasilitas pendidikan, namun semua itu bukan pemicu kesediaan karakter direlokasi. Proses pemahaman warga ditiadakan, langsung melompat ke konklusi, menciptakan pergerakan alur luar biasa kasar. Jika itu bentuk kesengajaan selaku sindiran ("mereka protes karena terlanjur menutup mata dan menolak memahami") terhadap sikap warga antara pra dan pasca relokasi, maka kelemahan terletak pada kurang mampunya Ardy Octaviand merangkai dua sisi kontras itu secara rapi agar mampu menggelitik.