REVIEW - DEMON SLAYER: KIMETSU NO YAIBA THE MOVIE: MUGEN TRAIN
Memecahkan rekor Spirited Away yang sudah bertahan 19 tahun sebagai film
berpendapatan tertinggi sepanjang masa di Jepan jelas bukan pencapaian
main-main. Dan kualitas serial Demon
Slayer: Kimetsu no Yaiba memang tidak main-main. Saya, yang notabene bukan
penonton anime, dibuat tertarik, bahkan jatuh cinta. Apalagi setelah
menyaksikan masterpiece bernama “Episode
19” yang punya salah satu sekuen aksi terbaik yang pernah saya tonton di media
apa pun.
Demon
Slayer: Kimetsu no Yaiba the Movie: Mugen Train melanjutkan akhir
kisah serialnya (tontonlah kalau belum), di mana Tanjiro (Natsuki Hanae),
Nezuko (Akari Kitō), Inosuke (Yoshitsugu Matsuoka), dan Zenitsu (Hiro Shimono),
menjalankan misi terkait gangguan iblis di sebuah kereta, yang telah
menghilangkan banyak orang. Turut bergabung adalah Rengoku (Satoshi Hino) sang Hashira api. Tanjiro sendiri berniat
menemui Rengoku, guna mencari tahu tentang teknik pernapasan Hinokami Kagura warisan ayahnya.
Gangguan di kereta tersebut rupanya
disebabkan oleh Enmu (Daisuke Hirakawa), si pemegang posisi “Lower Moon One”, yang makin kuat berkat
suntikkan darah dari Muzan. Berbeda dengan kebanyakan iblis lain, Enmu tidak
diberi latar belakang untuk memancing simpati penonton (Demon Slayer selalu menekankan bahwa iblis adalah makhluk malang,
yang kejahatannya didorong oleh nasib tragis), sehingga penokohannya tak sekaya
kompatriotnya, semisal Rui. Tapi kekurangan tersebut ditutupi oleh kemampuan
yang tetap membuat sosoknya berkesan.
Tanpa menghitung Muzan, sejauh ini Enmu
adalah iblis paling keji. Dia memanfaatkan mimpi indah korban untuk menghabisi
mereka. Tanjiro, Inosuke, Zenitsu, bahkan Rengoku, sempat terjebak tipu daya
itu. Dan melalui alam mimpi karakternya pula, Mugen Train memamerkan kehebatannya menyeimbangkan elemen drama dan
humor. Jika mimpi Inosuke dan Zenitsu memproduksi tawa tanpa henti, maka
kenangan Tanjiro dan Rengoku akan keluarga masing-masing, bakal jadi hal
pertama yang menembus dinding emosi penontonnya.
Bukan kejutan apabila penonton mengharu biru
menyaksikan mimpi Tanjiro. Di titik ini, saya bahkan bisa meneteskan air mata cuma
dengan melihat foto keluarganya, yang dipakai mengisi kredit penutup episode
19. Justru keberhasilan memunculkan ikatan emosi dengan Rengoku yang belum lama
kita kenal adalah pencapaian tersendiri. Belum lagi sensitivitas yang
ditunjukkan oleh sutradara Haruo Sotozaki dalam mengemas momen emosional.
Simak saat filmnya mengajak kita mengunjungi
inti jiwa Tanjiro, yang berupa hamparan perairan luas tak berujung. Gambarnya
indah, namun keputusan memakai keheningan, meniadakan satu pun suara, merupakan
kunci. Sedangkan di momen lain, sulit menahan gempuran rasa, setiap lagu Kamado Tanjirou no Uta (dengan berbagai
variasinya) mulai terdengar.
Rasanya saya tidak perlu panjang lebar mendeskripsikan adegan aksi film ini. Luar biasa bagaimana Mugen Train mampu melahirkan parade pertempuran seberwarna dan sedinamis ini, meski hanya mengambil mayoritas latar di atas kereta. Kemudian datanglah sebuah twist. Sebuah titik balik, yang sejatinya terkesan out-of-nowhere. Tapi siapa peduli ketika titik balik itu berujung klimaks luar biasa intens? Klimaks yang akan membuatmu mengkhawatirkan nasib tokoh-tokohnya akibat mengira semua harapan telah hilang. Klimaks yang ditutup oleh pilihan konklusi sempurna, yang menyiratkan betapa berbahaya ancaman para iblis upper moons, sembari memperkuat tuturan filmnya seputar heroisme.