A WHISKER AWAY (2020)
Rasyidharry
Juni 19, 2020
Animated
,
Ayako Kawasumi
,
Bagus
,
Japanese Movie
,
Junichi Sato
,
Mari Okada
,
Minako Kotobuki
,
Mirai Shida
,
Natsuki Hanae
,
REVIEW
,
Tomotaka Shibayama
,
Yorushika
1 komentar
Lelah menjalani hidup? Membenci diri sendiri? Pernah berkelakar
ingin berubah menjadi kucing agar sepanjang hari bisa terus-terusan makan dan
tidur, dimanja tanpa mengkhawatirkan apa pun? A Whisker Away mewujudkan kelakar tersebut melalui perjalanan protagonisnya,
Miyo (Mirai Shida), yang menyadari bahwa menjadi orang lain (atau dalam konteks
ini makhluk lain), tidaklah semenyenangkan itu. Bahwa selalu ada yang menaruh
kepedulian selama kita bersedia membuka hati.
Selain sahabatnya sejak kecil, Yoriko (Minako Kotobuki), mungkin
tak ada yang menyangka hidup Miyo tidaklah bahagia. Di sekolah (ia duduk di
bangku SMP), tingkahnya selalu ceria, bahkan gemar melakukan keanehan-keanehan
yang membuatnya dipanggil Muge (dalam versi terjemahan Bahasa Inggris diartikan
sebagai Miss Ultra Gaga and Enigmatic).
Sikap serupa diperlihatkan Miyo kepada siswa pujaannya, Hinode (Natsuki Hanae),
yang tanpa henti dikejarnya, meski senantiasa memberi respon dingin.
Tapi sebenarnya dia memakai topeng. Miyo memandang rendah
dirinya, pun merasa tak punya tempat di rumah, di mana ia mesti tinggal bersama
ibu tirinya, Kaoru (Ayako Kawasumi). Mari Okada (The Anthem of the Heart, Her Blue Sky) mengangkat tema teen angst lewat naskahnya yang memahami
kompleksitas proses coming-of-age, khususnya
pada remaja yang kehidupannya jauh dari “baik-baik saja". Dinamika batin
si remaja pasti diwarnai banyak kebingungan. Contoh terbaik adalah soal masakan
hambar Kaoru. Miyo tidak menyukai makanan hambar. Tapi dia menikmati
ketidaksukaan itu, sebab baginya, tidak suka terhadap seorang wanita asing yang
“memaksa” masuk ke hidupnya merupakan kewajaran. Kemudian Kaoru mulai
menambahkan bumbu lebih dimasakannya. Miyo makan dengan lahap, namun ia
membenci situasi tersebut. “Tidak seharusnya aku menikmati ini”, pikirnya.
Di adegan pembuka, Miyo bertemu dengan seekor kucing
berukuran manusia yang menjual topeng di festival kembang api. Beberapa waktu
berselang, Miyo bercerita pada Yoriko tentang bagaimana dia dan Hinode
berpelukan mesra selama festival. Tentu Yoriko tidak percaya. Toh Miyo memang
sering berimajinasi—penokohan yang oleh dua sutradaranya, Junichi Sato (dikenal
lewat deretan anime bertema magical girl seperti Sailor Moon dan Magical DoReMi) dan Tomotaka Shibayama, guna menyelipkan beberapa
visual bernuansa fantasi di antara realisme slice
of life.
Rupanya itu benar-benar terjadi, hanya saja, Miyo berada
dalam wujud kucing. Mengenakan topeng kucing yang dibelinya, Miyo dapat
bertransformasi. Sebagai kucing yang diberi nama Taro oleh Hinode, setiap hari
Miyo menyambangi rumah pujaannya itu. Tapi tenang. Kisahnya takkan terasa
seperti romantisasi seorang penguntit. Miyo bukan sebatas ingin curi-curi
kesempatan, pula mencari suaka atas kebenciannya terhadap diri sendiri. Hingga
garis pemisah antara sisi kemanusiaan dan kucing Miyo makin memudar, lalu
membawanya mempelajari banyak hal.
Dan naskahnya memang merangkum banyak hal seputar nilai-nilai
kehidupan, yang walau dipenuhi lika-liku rumit (perceraian, penerimaan diri, bullying, keterasingan, dan lain-lain),
tak pernah tampil terlalu kelam. Perspektif positif yang akan membuat
penontonnya tersenyum begitu film usai, diusung tanpa harus jadi tontonan
inspiraitf yang kerap memandang sebelah mata dinamika psikis manusia. Deretan
humor, ditambah polah eksentrik Miyo turut serta menyegarkan suasana.
Menjelang babak akhir, elemen fantasi mulai mengental,
menggantikan slice of life dengan perjalanan
magis, yang sayangnya sedikit berantakan perihal rules. Suguhan fantasi, meski memperluas cakupan eksplorasi, bukan
berarti memperbolehkan naskahnya bertindak sesuka hati. A Whisker Away sempat jatuh ke lubang itu. Seolah penulisnya
mengarang hal-hal baru di tengah perjalanan hanya demi menambah rintangan yang
mesti protagonisnya tempuh.
Sejauh apa pun filmnya menyambangi keajaiban-keajaiban, pada
akhirnya, kekuatan terbesarnya tetap terletak di drama. Sato dan Shibayama
piawai memainkan emosi. Misalnya sewaktu Miyo mendengar ungkapan kebencian Hinode.
“Kamera” mengambil gambar close up, meletakkan
fokus ke ekspresi Miyo yang biarpun tersenyum lebar, pipinya dibasahi air mata
yang mengalir deras. Sebuah pengadeganan yang membuat momen itu semakin heartbreaking. Dan seringkali, dampak momen-momen
emosionalnya bertambah berkat visual cantik, juga musik melankolis gubahan
Yorushika.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:https://ceritasemesta.home.blog/2020/06/18/premis-menarikeksekusi-kurang-asik-a-whisker-away-filmtalks/ itu link ulasan saya tentang film itu juga bang rasyid...siapa tau bang rasyid mau baca ulasan saya atau bahkan mau mengkoreksinya..makasih :")
Posting Komentar