REVIEW - MENUNGGU BUNDA
Seusai pemutaran, Richard Oh selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menyampaikan bahwa Menunggu Bunda terinspirasi dari pengalamannya merawat sang ibunda di rumah sakit. Richard mempertanyakan, "Apakah ibu sedang menderita?". Saya mendengar kejujuran (dan pilu) di balik kata-katanya. Saya begitu ingin menyukai Menunggu Bunda, tapi tak bisa.
Walau jujur sekaligus personal, sayangnya ini karya terlemah Richard. Di bawah eksperimentasi gerak yang kurang berhasil di Love is a Bird (2018), pula di bawah Perburuan (2019) yang juga kurang berhasil selaku adaptasi novel.
Sejak melihat Putri Ayudya dibalut tata rias seadanya guna memerankan wanita 53 tahun bernama Yenny, saya sudah mencium ketidakberesan di sini, walau akting Putri tetap elemen terbaik Menunggu Bunda. Alkisah, Yenny tengah koma. Ketiga anaknya, Alya (Adinda Thomas), Alma (Steffi Zamora), dan Andra (Rey Mbayang), juga sang suami yang menderita alzheimer, Marsio (Donny Damara), bersama-sama menjaga Yenny. Jika selama ini Yenny bersabar menunggu ketiga anaknya beranjak dewasa, sekarang giliran mereka menunggu sang bunda membuka mata.
Selain Yenny sekeluarga, kita juga melihat diskusi antara Dr. Myra (Gisele Calista) dan Dr. Miyagi (Nobuyuki Suzuki), terkait penanganan terbaik bagi si pasien. Konon, Dr. Miyagi adalah figur terkemuka. Seorang profesor dari Universitas Tokyo. Tapi jangankan urusan menjelaskan perihal medis, cara berdirinya kala "mengecek" kondisi Yenny saja lebih tampak seperti orang kebingungan ketimbang dokter ahli. Canggung.
Menunggu Bunda adalah sajian canggung, termasuk soal penuturan. Entah satu lagi eksperimentasi atau murni inkonsistensi (baca: kebingungan), Richard memadukan warna arthouse dan melodrama, yang alih-alih saling melengkapi dan membentuk hibrida menarik, justru bertentangan bagai air dan minyak.
Nuansa melodrama mayoritas diciptakan musik mendayu-dayu yang penggunaannya berlebihan. Sedikit saja ada perubahan emosi, musik seketika menggelegar, seolah ada karakter meregang nyawa, atau hendak terjadi perkelahian.
Di seberang Yenny, dirawatlah pria tanpa nama, dengan perban di sekujur tubuh layaknya mumi. Pada suatu kesempatan, si pria membaca buku harian, tampak tersentuh sembari mengucapkan nama "Santi", kemudian scoring mengharu-biru terdengar, bak memerintah penonton, "Waktunya kalian bersedih". Tapi siapa Santi? Siapa si pria mumi? Kenapa kita mesti menangisi karakter yang tidak kita kenal?
Si pria mumi dan penjaga toilet yang selalu kesulitan mengisi TTS (Paul Agusta), mewakili sisi artsy filmnya. Sosok-sosok misterius yang berguna merepresentasikan gagasan, ketimbang perwujudan manusia sepenuhnya sesuai realita. Keduanya seperti berasal dari film yang berbeda dengan Yenny sekeluarga.
Naskah buatan Richard berniat menggugat perspektif tradisional tentang keluarga. Bagaimana keluarga tidak melulu harus punya hubungan darah. Siapa pun bisa menjadi keluarga yang kita sayangi. Sayangnya, daripada mengeksplorasi secara mendalam, poin tersebut hanya tampil sekelebat, sebelum diposisikan sebagai twist jelang akhir.
Mungkin Richard ingin menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara keluarga sedarah dan tidak, sehingga kisahnya dipresentasikan serupa drama keluarga biasa, sambil merahasiakan fakta mengenai tokohnya. Tapi, seperti permasalahan musik si pria mumi, bagaimana penonton bisa terhubung secara emosional dengan sesuatu yang kita tidak tahu?
Richard menyimpan gagasan-gagasan. Mengenai konsep keluarga, hidup-mati, dan lain-lain. Gagasan, setelah dipoles di sana-sini, berkembang jadi penceritaan. Menunggu Bunda belum tuntas melewati fase tersebut, dan berhenti sebagai gagasan belaka. Kebetulan seusai film ini, saya langsung menonton Just Mom milik Jeihan Angga, yang mengangkat tema sama, namun dengan hasil yang berbanding terbalik.
(JAFF 2021)