Tampilkan postingan dengan label Paul Agusta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Paul Agusta. Tampilkan semua postingan

REVIEW - PREMAN

Menengok posternya, saya mengira Preman adalah drama kriminal kelam nan serius. Memang betul, naskah yang ditulis sendiri oleh sang sutradara, Randolph Zaini, menyinggung isu-isu "berat" seperti premanisme, trauma, bullying, toxic masculinity, hingga homofobia, tetapi dengan pendekatan luar biasa menyenangkan. Tidak ada film Indonesia tahun ini yang seasyik dan seliar Preman perihal eksplorasi genre.

Ketimbang drama kriminal biasa, ini lebih dekat ke b-movie, ke film-film eksploitasi grindhouse, berisi tokoh-tokoh bigger-than-life, kekerasan, dan kebodohan disengaja, yang akan dengan senang hati diterima penonton, karena ada kecerdasan yang jauh lebih besar di sini. 

Diiringi lagu yang mengingatkan kepada Far From Any Road milik The Handsome Family, kita melihat seorang pria tuli bernama Sandi (Khiva Iskak), mengawali hari. Dia adalah anggota Perkasa, organisasi preman dengan warna kebesaran oranye, yang tengah menggusur paksa warga kampung, guna merealisasikan proyek pemilik modal. Tidak perlu saya sebut, pasti anda tahu Perkasa merupakan sentilan terhadap salah satu ormas negeri ini. 

Perkasa dikepalai oleh Guru (Kiki Narendra) yang...well, adalah seorang guru di SD tempat Pandu (Muzakki Ramdhan), putera Sandi, bersekolah. Suatu malam, ketika Pandu menyaksikan aksi premanisme Perkasa yang kali ini merenggut nyawa, Sandi harus membelot, melawan organisasinya sendiri. 

Pengkhianatan Sandi membuka gerbang menuju dunia sarat mitologi menarik, pula tokoh-tokoh penuh warna, dari seorang pejabat bernama Hanung (David Saragih) yang alih-alih bicara malah menggeram bak macan,  Paul (Paul Agusta) si anggota Perkasa yang hobi menari dan bercita-cita membuat musikal, hingga Ramon (Revaldo) alias "Tukang Cukur", pembunuh bayaran yang seperti julukannya, menghabisi korban menggunakan gunting cukur. 

Menarik. Sangat menarik. Randolph bak profesor gila yang menemukan laboratorium tempatnya bisa bereksperimen sesuka hati, menciptakan formula yang mampu membuat penontonnya tersenyum lebar selama 81 menit durasi film. 

Merumuskan aksi bersama sinematografernya, Xing-Mai Deng, pilihan angle Randolph mungkin tidak selalu tepat guna menangkap baku hantam yang terjadi, namun itu dapat dengan mudah dimaafkan berkat kreativitas di segala lini. Misal senjata. Jika Ramon memakai gunting cukur, maka protagonis kita membekali diri dengan meteor hammer buatan tangan (senjata Gogo di Kill Bill). 

Senjata unik berarti metode bertarung pun tak kalah unik, yang tampak betul dalam konfrontasi dua tokoh tersebut, yang terjadi di rumah Mayang (Putri Ayudya), mantan istri Sandi. Rumah Mayang pun membawa sang sutradara menyambangi genre lain. Sebuah gubuk kayu kecil di tengah hamparan padang tandus, membuatnya tampak berasal dari film western. 

Sebagai grindhouse, tentu kekerasan dimiliki Preman. Tapi Randolph tahu kalau sedang membuat film bagi pasar Indonesia. Bila menyasar bioskop, kekerasan berlebih yang susah-susah diciptakan bakal percuma. Kembali, kreativitas mengambil alih. Randolph cerdik "mengakali" sensor, entah dengan membuat impact serangan terjadi secara off-screen tanpa melucuti kebrutalan, atau menggunakan barang pengganti untuk tubuh serta darah, sebagaimana diperlihatkan klimaksnya. Klimaks berbalut lagu Cublak Cublak Suweng yang sukses memancing kekaguman, bahkan tepuk tangan penonton festival tempatnya diputar. 

Deretan karakter unik milik Preman turut dihidupkan oleh ensemble cast yang seluruhnya tampil gemilang, tetapi porosnya tetap terletak pada dua nama, yakni Khiva dan Muzakki. Lihat adegan di sawah, dan anda akan dibuat terpukau oleh kehebatan Muzakki bermain emosi lewat ekspresi serta bahasa isyarat. 

Sedangkan Khiva Iskak akhirnya memperoleh peran yang memfasilitasi talenta besarnya. Tanpa tuturan verbal, dihidupkannya Sandi, selaku perwujudan luka-luka yang ditimbun oleh pola pikir terbelakang negeri ini. Sandi mencari kekerasan, karena hanya itu cara yang ia tahu, sebagai individu hasil bentukan budaya pemuja maskulinitas, di mana kejantanan dipuja. Budaya di mana kekuatan kepalan tangan lebih diunggulkan daripada kemanusiaan berperasaan, sehingga melestarikan persekusi para preman. 

(JAFF 2021)

REVIEW - MENUNGGU BUNDA

Seusai pemutaran, Richard Oh selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menyampaikan bahwa Menunggu Bunda terinspirasi dari pengalamannya merawat sang ibunda di rumah sakit. Richard mempertanyakan, "Apakah ibu sedang menderita?". Saya mendengar kejujuran (dan pilu) di balik kata-katanya. Saya begitu ingin menyukai Menunggu Bunda, tapi tak bisa.

Walau jujur sekaligus personal, sayangnya ini karya terlemah Richard. Di bawah eksperimentasi gerak yang kurang berhasil di Love is a Bird (2018), pula di bawah Perburuan (2019) yang juga kurang berhasil selaku adaptasi novel. 

Sejak melihat Putri Ayudya dibalut tata rias seadanya guna memerankan wanita 53 tahun bernama Yenny, saya sudah mencium ketidakberesan di sini, walau akting Putri tetap elemen terbaik Menunggu Bunda. Alkisah, Yenny tengah koma. Ketiga anaknya, Alya (Adinda Thomas), Alma (Steffi Zamora), dan Andra (Rey Mbayang), juga sang suami yang menderita alzheimer, Marsio (Donny Damara), bersama-sama menjaga Yenny. Jika selama ini Yenny bersabar menunggu ketiga anaknya beranjak dewasa, sekarang giliran mereka menunggu sang bunda membuka mata.

Selain Yenny sekeluarga, kita juga melihat diskusi antara Dr. Myra (Gisele Calista) dan Dr. Miyagi (Nobuyuki Suzuki), terkait penanganan terbaik bagi si pasien. Konon, Dr. Miyagi adalah figur terkemuka. Seorang profesor dari Universitas Tokyo. Tapi jangankan urusan menjelaskan perihal medis, cara berdirinya kala "mengecek" kondisi Yenny saja lebih tampak seperti orang kebingungan ketimbang dokter ahli. Canggung.

Menunggu Bunda adalah sajian canggung, termasuk soal penuturan. Entah satu lagi eksperimentasi atau murni inkonsistensi (baca: kebingungan), Richard memadukan warna arthouse dan melodrama, yang alih-alih saling melengkapi dan membentuk hibrida menarik, justru bertentangan bagai air dan minyak. 

Nuansa melodrama mayoritas diciptakan musik mendayu-dayu yang penggunaannya berlebihan. Sedikit saja ada perubahan emosi, musik seketika menggelegar, seolah ada karakter meregang nyawa, atau hendak terjadi perkelahian. 

Di seberang Yenny, dirawatlah pria tanpa nama, dengan perban di sekujur tubuh layaknya mumi. Pada suatu kesempatan, si pria membaca buku harian, tampak tersentuh sembari mengucapkan nama "Santi", kemudian scoring mengharu-biru terdengar, bak memerintah penonton, "Waktunya kalian bersedih". Tapi siapa Santi? Siapa si pria mumi? Kenapa kita mesti menangisi karakter yang tidak kita kenal?

Si pria mumi dan penjaga toilet yang selalu kesulitan mengisi TTS (Paul Agusta), mewakili sisi artsy filmnya. Sosok-sosok misterius yang berguna merepresentasikan gagasan, ketimbang perwujudan manusia sepenuhnya sesuai realita. Keduanya seperti berasal dari film yang berbeda dengan Yenny sekeluarga. 

Naskah buatan Richard berniat menggugat perspektif tradisional tentang keluarga.  Bagaimana keluarga tidak melulu harus punya hubungan darah. Siapa pun bisa menjadi keluarga yang kita sayangi. Sayangnya, daripada mengeksplorasi secara mendalam, poin tersebut hanya tampil sekelebat, sebelum diposisikan sebagai twist jelang akhir. 

Mungkin Richard ingin menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara keluarga sedarah dan tidak, sehingga kisahnya dipresentasikan serupa drama keluarga biasa, sambil merahasiakan fakta mengenai tokohnya. Tapi, seperti permasalahan musik si pria mumi, bagaimana penonton bisa terhubung secara emosional dengan sesuatu yang kita tidak tahu?

Richard menyimpan gagasan-gagasan. Mengenai konsep keluarga, hidup-mati, dan lain-lain. Gagasan, setelah dipoles di sana-sini, berkembang jadi penceritaan. Menunggu Bunda belum tuntas melewati fase tersebut, dan berhenti sebagai gagasan belaka. Kebetulan seusai film ini, saya langsung menonton Just Mom milik Jeihan Angga, yang mengangkat tema sama, namun dengan hasil yang berbanding terbalik. 


(JAFF 2021)

JAFF 2019 - ABRACADABRA

Pesulap bernama Lukman (Reza Rahadian) memutuskan pensiun. Di pertunjukkan terakhirnya, ia bertaruh, kalau triknya gagal, maka ia takkan melakukan sulap lagi. Sebuah alasan semata, karena di situ, Lukman memang berniat gagal. Triknya adalah menghilangkan bocah dalam kotak. Alih-alih kotak khusus, ia memakai kotak kayu biasa peninggalan sang ayah, seorang pesulap tersohor yang hilang pasca pensiun. Tapi, saat dibuka, kotak itu kosong. Kekosongan yang juga terasa di hati saya selama menonton Abracadabra.

Berikutnya, orang-orang lain ikut hilang karena kotak tersebut, dan Lukman melakukan perjalanan guna mengembalikan mereka, sembari mencari tahu rahasia di balik kotak kayu bertuliskan “Abracadabra” itu. Perjalanan yang melibatkan kejar-kejaran dengan trio polisi konyol (Butet Kertaradjasa, Ence Bagus, Imam Darto) hingga kemunculan wanita berpenampilan glamor (Salvita Decorte) yang bak berasal dari masa tatkala kabaret Moulin Rouge mencapai puncak kejayaan.

Faozan Rizal (Habibie & Ainun, Say I Love You), selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menjadikan film ini taman bermain. Sejak menit-menit awal ketika Lukman mengadakan pertunjukan sementara pesulap-pesulap lain—termasuk Paul Agusta dengan dandanan ala drag queen dan Ismail Basbeth yang bisa melayang—ikut menonton, absurditas sudah terbangun. Ini bukan dunia di mana manusia berperilaku seperti realita, kultur dan teknologi bagai berasal dari dongeng, pun nalar tidak bekerja “sebagaimana mestinya”.

Kreativitas ide liar Faozan Rizal dalam membangun dunia memang menarik, sama menariknya dengan bagaimana sang sutradara, yang lebih dikenal sebagai sinematografer, menjadikan Abracadabra salah satu suguhan visual paling unik serta memanjakan mata dalam perfilman Indonesia. Terkesan quirky dan banyak dihiasi warna pastel, tidak salah bila ingatan langsung tertuju pada karya-karya Wes Anderson, khususnya The Grand Budapest Hotel (2014).

Ragam warna pembungkus latar termasuk kantor polisi berwarna merah muda di tiap sudut, mise-en-scène yang memperhatikan betul presisi penempatan objek termasuk aktor secara detail, pesawat dan mobil mainan yang berjalan di atas sebuah peta untuk menggambarkan perjalanan Lukman, kostum-kostum ala pertunjukan panggung megah, menciptakan pemandangan pemuas mata, yang memperlihatkan apa jadinya kalau perkawinan empat departemen, yaitu penyutradaraan, sinematografi, tata kostum, dan art direction, berlangsung mulus.

Hampir tiap shot bisa di-capture sebagai wallpaper, untuk kemudian diamati terkait luar biasanya Faozan dan tim memperhatikan detail. Visualnya memang menghipnotis. Tapi seperti orang dihipnotis, hati terasa hampa. Ceritanya tenggelam dalam eksperimentasi gambar dan gaya. Padahal sejatinya, kisah Abracadabra sederhana saja. Tentang perjalanan karakternya memahami, mempercayai, lalu akhirnya menerima.

Dikisahkan, kotak milik Lukman terbuat dari kayu Yggdrasil, pohon dari mitologi Norse, yang menghubungkan sembilan dunia. Silahkan cari tahu beberapa kisah soal Yggdrasil dan mitologi Norse secara umum, termasuk tentang konsep waktu yang tidak linear dalam mitologi itu. Anda akan bisa memecahkan garis besar teki-teki Abracadabra. Tapi adanya makna tersirat dan metafora tidak berbanding lurus dengan kualitas penceritaan. Terpenting adalah pengemasannya. Dan di sini, rasa dalam drama kehidupan Lukman lenyap. Bernasib sama adalah kualitas akting Reza Rahadian.

Jangan salah, Reza tidak pernah buruk. Hanya saja, kesan spesial yang kerap mengiringi kemunculannya urung nampak. Dia tak kuasa memperbaiki penokohan membosankan Lukman, seorang pria gloomy di antara dunia sarat keceriaan. Abracadabra mengandung dua sisi yang tak pernah bisa melebur. Tuturan komersil ringan bersenjatakan lelucon receh yang cukup efektif memancing tawa berbenturan dengan kontemplasi kelam. Ketimbang saling mengisi, pertemuan keduanya melahirkan inkonsistensi. Film ini kental pengaruh Wes Anderson, dan sulit tidak berharap Faozan mau sepenuhnya menempuh jalur komedik seperti Anderson.

Proses batin protagonisnya gagal dieksplorasi, sehingga saat akhirnya ia mencapai destinasi, transformasi internalnya kurang meyakinkan. Sungguh saya ingin menyukai Abracadabra, khususnya karena totalitas para pembuatnya melahirkan parade visual luar biasa patut diacungi jempol. Tapi patut disadari bahwa urgensi di industri perfilman kita adalah soal perbikan penulisan naskah, bukan gambar cantik.

JAFF 2018 - DAYSLEEPERS (2018)

Bagian mana yang manis dari dua manusia yang menyadari eksistensi satu sama lain dari jendela masing-masing? Apabila pernah menetap di Jakarta, lalu mencicipi monotonitas hiruk pikuk rutinitasnya, romantisme sederhana saat takdir menautkan dua sosok asing kemungkinan bakal anda pahami. Sebab disadari atau tidak, manusia-manusia yang bergelut dengan artificial-nya ibu kota seringkali memimpikan ikatan. Bahwa entah kapan dan bagaimana, di malam hari kala roda gigi industri telah mati, ada jiwa bernasib sama yang bisa diajak berbagi hati.

Daysleepers mempunyai judul Bahasa Indonesia Kisah Dua Jendela, di mana dua jendela yang dimaksud adalah tempat Leon (Khiva Iskak) dan Andrea (Dinda Kanyadewi) melongok keluar dari ruang kerja mereka. Leon merupakan novelis sukses yang berusaha berkarya lagi pasca vakum beberapa tahun setelah kematian istrinya. Selepas puteranya tidur, Leon duduk di cafe milik Tito (Joko Anwar), berusaha menulis kembali. Andrea pun sama, seorang daysleeper yang banting tulang di malam hari karena pekerjaannya di dunia saham menuntut komunikasi internasional yang terbentur perbedaan waktu.

Hidup keduanya terserap oleh layar komputer demi menghasilkan pundi-pundi rupiah. Khususnya Andrea, yang selalu berpesan pada adiknya, Dina (Agnes Naomi) agar giat belajar supaya mudah mendapatkan uang. Paul Agusta (Parts of the Heart, Semua Sudah Dimaafkan sebab Kita Pernah Bahagia) selaku sutradara sekaligus penulis naskah mengajak kita mengamati repetisi kehidupan membosankan milik Andrea: Terbangun oleh bunyi alarm yang sama, menyikat gigi, tiba di kantor yang kosong, menonton Popeye di televisi, membuat kopi dan camilan, memulai pekerjaan, lalu pulang setelah fajar.

Pengulangan bertempo lambat yang diterapkan Paul untuk mewakili monotonitas hidup Andrea kemungkinan bakal melelahkan untuk sebagian besar penonton. Pilihan gaya tersebut mempunyai maksud, meski pertanyaan “Perlukah diulang sebanyak itu?” sebenarnya patut dilontarkan. Pun selaku alat bantu membangun suasana, Nikita Dompas (Cahaya dari Timur: Beta Maluku) membuat musik elektronik untuk menyimbolkan betapa tokoh-tokohnya dikuasai benda elektronik. Sayangnya, selain terdengar bagai royalty free music yang bertebaran di internet, penempatannya kerap kurang tepat, sehingga di beberapa titik justru mendistraksi alih-alih menyokong.

Tapi sebagai bahan observasi, pemandangan di atas jadi menarik sewaktu lama-kelamaan, Andrea mulai tertarik mengintip lewat jendela kantornya seiring munculnya kebosanan serta keraguan atas tujuannya bekerja. Hampir sepanjang durasi tampil seorang diri, Dinda selalu punya cara agar kekosongan rutinitas Andrea tidak turut menciptakan adegan yang hampa. 

Soal intip-mengintip, Leon (juga nama mendiang ayah Paul Agusta) sudah melakukannya lebih dulu. Keanehan di mana ruang kerja Andrea jadi satu-satunya jendela yang bercahaya memantik inspirasinya. Leon mulai menulis tentang bayangan si wanita asing di jendela. Ketika presentasi dunia Andrea sunyi nan sepi, Leon berbeda. Di cafe tempatnya menulis, berlangsung lebih banyak dinamika berkat keberadaan manusia-manusia lain, yang kebetulan, gemar berceloteh.

Tito si pemilik cafe merupakan pengagum karya Leon, dan sewaktu sang penulis buntu, Tito senantiasa melontarkan kata-kata penyemangat. Sebagai penulis, saya paham betul makna senyum dan api semangat yang menyala lagi di mata Khiva Iskak begitu mendengar dukungan Tito. Salah satu harta paling berharga bagi penulis memang ungkapan “cinta” pembacanya. Bukan Tito saja yang meramaikan suasana, turut hadir Topan (Tadelesh Ilham) si pelayan polos dan Niken (Djenar Maesa Ayu), pemilik bar yang ceplas-ceplos dalam bicara.

Adegan cafe begitu hidup, bahkan acap kali memancing tawa berkat kombinasi jajaran pemain  yang di dunia nyata memang sudah lebih dari saling mengenal. Paul membiarkan aktor-aktornya berimprovisasi (Menurut Paul, hanya sekitar 30% dari keseluruhan pembicaraan di cafe yang bersumber dari naskah). Joko dengan komentar-komentar bernada ajaib, Djenar lewat ungkapan-ungkapan juju yang sesekali terdengar “nakal”, bukan saja meramaikan malam Leon, pula filmnya. Diakhiri momen singkat namun manis, Daysleepers memberi payoff setimpal bagi kita yang sabar menanti terjalinnya sebuah ikatan.