Tampilkan postingan dengan label Rko Prijanto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rko Prijanto. Tampilkan semua postingan

#TEMANTAPIMENIKAH (2018)

Kita menyukai keajaiban. #TemanTapiMenikah adalah film tentang keajaiban. Tidak perlu kehadiran makhluk-makhluk mitologi atau ilmu sihir. Menyebut “cinta sendiri adalah keajaiban”, rasanya tidak berlebihan, sebab, karenanya banyak hal-hal di luar nalar terjadi. Termasuk persahabatan yang akhirnya berlanjut ke jenjang pernikahan, sebagaimana perjalanan pasangan Ditto Percussion dan Ayudia Bing Slamet yang berawal dari pertemanan selama 12 tahun. Keduanya merangkum kisah itu ke dalam buku berjudul sama yang jadi materi adaptasi filmnya.

Bukunya sendiri kerap disebut “Buku Kuning”, yang merujuk pada sampulnya. Berniat menyesuaikan, sisi visual filmnya dikemas lewat nuansa kekuningan. Cerah, menyenangkan. Sama seperti momen pembuka saat Ditto (Adipati Dolken) duduk menanti Ayu (Vanesha Prescilla) di sebuah kafe. Suara-suara di sekitarnya; gelas, sendok, kucuran air, dan lain-lain, mulai menciptakan ritme harmonis. Setidaknya di kepala Ditto. Kepekaan terhadap ketukan ritmis dia miliki, karena passion-nya di bidang musik, khususnya perkusi. Ini asal muasal kata “Percussion” hadir selaku nama belakangnya.
Biar begitu, kalau bukan didorong Ayu, Ditto mungkin takkan menekuni perkusi. Gadis ini cinta pertamanya, sejak mengidolakan Ayu dari layar kaca ketika masih kecil, kemudian bertemu di bangku SMP, lalu bersahabat sampai masa kuliah. Ditto memilih memendam perasaan demi melindungi kedekatan mereka. Walau artinya dia mesti tabah mendapati sang pujaan hati menjalin hubungan dengan pria lain. Sungguh mengasyikkan persahabatan Dito-Ayu. Selalu menghabiskan waktu berdua, saling tolong sembari saling ejek, termasuk soal pacar masing-masing. Mereka selalu tertawa, begitu pula saya.

Bermula sejak dinamisnya adegan pembuka, interaksi dua tokoh utama tak pernah luput memancing senyum. Beberapa berkat kecerdikan naskah buatan Johanna Wattimena dan Upi merangkai interaksi tanpa mengumbar kalimat puitis, beberapa berkat penyutradaraan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Sang Kiai, Bangkit!) yang mengutamakan kesan natural ketimbang memaksakan kekonyolan atau dramatisasi, tapi mayoritas berkat chemistry luar biasa Adipati dan Vanesha. Pria tampan dan wanita cantik dengan busana tak berlebihan namun memikat mata yang rutin memancing tawa bahagia satu sama lain. Sulit untuk tidak terbuai oleh keduanya.
Tanpa terbebani keharusan merespon gombalan-gombalan aneh, Vanesha tampil lepas. Kemudian ada Adipati dalam salah satu penampilan paling menghiburnya. Pun kapasitasnya melakoni drama tetap kentara. Pada sebuah momen, Ayu menangis membelakangi Ditto yang hanya bisa memandang, memasang wajah iba. Bagi saya, mise en scene seperti itu, kala seorang tokoh menyuarakan isi hati pada orang lain secara non-verbal tanpa orang lain itu sadari (contohnya “belaian” Celine untuk Jesse di Before Sunset), punya emosi lebih kuat. Penonton bagai diajak memasuki ruang personal si tokoh yang hanya diketahui dia dan kita. Bagi aktor, adegan macam ini butuh ketepatan timing serta kenaturalan merespon situasi.

Nyaris selalu tertawa oleh kelucuan atau tersenyum karena rasa manisnya, #TemanTapiMenikah juga berhasil mengalirkan air mata sewaktu menyaksikan resolusi romantika Ditto-Ayu di lokasi konser yang telah kosong. Nihil puisi, tiada pula ucapan “I love you”. Cuma dua sahabat yang masih melontarkan ejekan demi ejekan, bedanya kali ini mereka telah menyimpan perasaan serupa. Bukan tangis kesedihan, bahkan mungkin juga bukan haru. Entahlah. Mendadak terasa sesuatu yang manis dan indah. Sulit menjelaskannya menggunakan nalar, karena seperti telah disinggung, eksistensi cinta memang di luar nalar, atau dengan kata lain, keajaiban.