Tampilkan postingan dengan label Adipati Dolken. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adipati Dolken. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KAMBODJA

Saya sangat ingin menyukai Kambodja. Karya terbaru sutradara Rako Prijanto ini cukup menyegarkan, mengingat romansa dewasa tergolong jarang mengisi perfilman kita. Pun keputusannya "meminjam" beberapa gaya Wong Kar-wai jadi pernak-pernik yang menarik. Sayang, setumpuk potensi miliknya lebih banyak berguguran ketimbang bermekaran. 

Anda tidak salah baca. Kambodja merupakan upaya Rako dan Anggoro Saronto (penulis naskah) untuk memindahkan karya Wong Kar-wai ke latar Indonesia. Khususnya In the Mood for Love (2000). Karakter dengan profesi jurnalis, perselingkuhan, pertukaran pasangan, pemakaian gerak lambat, rantang makanan, mahjong, semua ada. Bahkan ending-nya juga berlatar "kamboja", walau punya pemaknaan berbeda (konon terinspirasi dari lagu Menanti Di Bawah Pohon Kemboja milik Nien Lesmana). 

Jakarta 1955, Danti (Della Dartyan), seorang pustakawan, baru pindah ke kos baru bersama sang suami, Sena (Revaldo), yang jadi petinggi sebuah partai politik. Menilik latar waktunya, walau tak pernah disebut secara gamblang, mudah ditebak partai apa yang dimaksud. Pasutri lain, Bayu (Adipati Dolken) si penulis dan Lastri (Carmela van der Kruk) si biduan adalah tetangga mereka. 

Kesampingkan iklim politiknya, pengembangan alur Kamodja kurang lebih serupa dengan In the Mood for Love. Hubungan para pasutri memburuk, sampai kesepian mendekatkan Danti dan Bayu. Seperti Wong Kar-wai pula, naskah buatan Anggoro Saronto bertutur bak keping-keping memori, yang lebih disatukan oleh aliran rasa.

Masalahnya, dalam usaha untuk tetap terasa "pop", Kambodja masih mengutamakan gaya bercerita konvensional (bukan berbasis vibe), yang mana membutuhkan keteraturan narasi. Tatkala jembatan-jembatan penghubung antar momen kerap ditiadakan, hasilnya adalah drama bertempo lambat, namun dengan progresi alur buru-buru yang sering terkesan "patah". 

Naskah juga kerepotan menyeimbangkan romansa dan politik. Apakah politik sebatas latar pembangun suasana? Tidak juga, sebab elemen itu berpengaruh besar di pengembangan cerita. Tapi eksplorasinya cenderung dangkal. Di paruh akhir, Bayu berkata pada Danti bahwa ia mengalami perubahan idealisme, tak lagi fanatik memuja satu paham dan figur. Tapi seperti apa pastinya idealisme Bayu, luput dipaparkan. Penokohannya pun jadi lemah.

Danti sendiri bukan karakter yang "matang", tapi Della membuatnya bagai magnet. Kambodja ingin tampil elegan, dan Della mendefinisikan "elegan". Kala mendapati Bayu diam-diam menulis cerita berdasarkan hubungan mereka, ia marah. Tidak secara meletup-letup. Della menahannya, dan kita bisa melihat gradasi emosinya, dari susah payah menekan amarah, lalu perlahan semakin tenang. Semua tampak dari emosi dan permainan napas. 

Mengambil latar 50an, departemen artistik Kambodja cukup menarik disimak. Memang ada kalanya para pemain kelepasan, berbicara layaknya manusia modern, tapi jumlahnya masih bisa dimaafkan. Sedangkan di departemen musik, sangat kentara keinginan Rako untuk mereplikasi gaya Michael Galasso di In the Mood for Love melalui orkestra mendayu dan beberapa sampling musik klasik (Air on the G String milik Bach, Clair de lune milik Debussy). Indah di telinga, meski pemakaiannya agak berlebih, sampai terkadang menenggelamkan dialog.

Kekurangan dalam pengarahan Rako adalah, ia tak mampu mengimbangi keindahan audio dengan visual sebanding. Misal sebuah momen romantis nan intim beriringkan Clair de lune. Datar, kurang impactful. Kambodja berambisi tampil estetis, namun tanpa sense yang memadai dari para pembuatnya. 

(Klik Film)

REVIEW - AKHIRAT: A LOVE STORY

Akhirat: A Love Story berangkat dari pertanyaan, "Apa jadinya kalau sepasang kekasih beda agama bertemu di akhirat?". Premis tersebut luar biasa menarik, namun Jason Iskandar, selaku sutradara sekaligus penulis naskah yang telah lebih dari 10 tahun malang-melintang di skena film pendek, kesulitan mengembangkannya agar sesuai dengan medium film panjang dalam debutnya ini.

Protagonis kita adalah Timur (Adipati Dolken) dan Mentari (Della Dartyan), yang berpacaran secara diam-diam karena perbedaan agama. Sewaktu hubungan itu diketahui orang tua keduanya, terjadilah penolakan. Saya mengira bakal dibuat kesal, tapi ternyata Jason mampu mengolah konflik itu dengan bijak. Baik Rahayu (Ayu Dyah Pasha), ibu Mentari, maupun Selma (Nungki Kusumastuti), ibu Timur, tidak melempar ujaran kebencian. Didukung pula oleh akting kuat dua aktris seniornya, nasihat yang mereka bagi terasa betul didasari cinta serta kepedulian teruntuk sang buah hati.

Lalu tibalah tragedi. Timur dan Mentari mengalami kecelakaan lalu lintas. Mereka terbangun di sebuah hutan yang ternyata merupakan akhirat, sementara tubuh keduanya terbaring di rumah sakit dalam kondisi koma. Masalahnya, akibat perbedaan agama, Timur dan Mentari harus melewati gerbang akhirat yang berbeda pula. Menolak dipisahkan, mereka memilih kabur, kembali ke dunia manusia, guna mencari jalan keluar agar bisa bersama selamanya.

Selama menonton Akhirat: A Love Story, satu hal yang selalu muncul di benak saya: Sungguh kacau kerja para malaikat (atau entitas apa pun itu yang diperankan Tubagus Ali dan Yayu Unru). Jika bisa semudah itu kabur dari akhirat, pasti banyak orang melakukannya. Muncul juga pertanyaan, "Mengapa ada arwah yang sadar akan kondisi mereka, sementara arwah lainnya seperti terhipnotis?". 

Terdapat lubang besar terkait "aturan". Tanpanya, timbul inkonsistensi dan kejanggalan, yang menyulitkan emosi tersalurkan. Dampak paling fatal terkait lubang tadi, terletak pada konklusi. Kalau "semua karena cinta" dijadikan jawaban, itu bukan wujud romantisme, melainkan lazy writing. 

Selama pelarian, Timur dan Mentari bertemu arwah-arwah lain. Wang (Verdi Solaiman) yang enggan mengikuti langkah sang istri ke akhirat, Edith (Windy Apsari) yang selalu berkeliaran sendiri, hingga Herman (Ravil Prasetya) dan Diah (Vonny Anggraini) yang mengikat janji setelah mati. Seiring pertemuan-pertemuan tersebut, kisahnya beralih ke soal proses merelakan, sementara perihal perbedaan agama pun terpinggirkan. Entah Jason kebingungan atau memilih main aman, tapi peralihan tersebut mengaburkan pesan filmnya. 

Adipati dan Della menjalin chemistry manis di tatanan romansa, berbekal tatapan meyakinkan sebagai dua sejoli kasmaran, namun tidak demikian kala menghadapi komedi dan eksposisi. Bukan kesalahan cast semata. Penulisan dan pengarahan Jason di elemen komedi juga lemah. Alih-alih dibuat tertawa, saya lebih banyak menutup muka akibat secondhand embarassment. 

Terkait eksposisi juga sebelas-dua belas. Karakternya tidak terdengar seperti sedang berbicara layaknya manusia sungguhan, melainkan robot yang bertugas mengajari penonton. Robot yang buruk, sebab mereka sendiri seolah kurang mengerti tengah membicarakan apa. Saya juga tidak tahu film ini ingin membicarakan apa.


(JAFF 2021)

REVIEW - WARKOP DKI REBORN 4

"Nongkrong di warung kopi, Nyentil sana dan sini

Sekedar suara rakyat kecil, Bukannya mau usil"

Begitu bunyi lirik lagu Obrolan Warung Kopi milik Warkop DKI, yang menyiratkan peran mereka, yang bukan sebatas pelawak biasa, melainkan tukang sentil sana-sini yang mewakili keresahan rakyat melalui banyolan. Atas nama modernisasi, esensi tersebut memudar, bahkan nyaris sepenuhnya lenyap, sejak proyek reborn pertama diluncurkan empat tahun lalu. Modernisasi salah kaprah, yang cuma meng-upgrade gaya, biaya, serta teknologi, tapi tidak humor, apalagi sentilannya.

Bahkan setelah Warkop DKI Reborn 3 (2019) mengganti sosok-sosok yang terlibat, baik di depan maupun belakang layar, hasilnya masih sama, kalau tidak lebih buruk. Perolehan jumlah penonton yang menurun drastis (sekitar 843 ribu) seolah membuktikan bahwa publik sudah lelah dengan proyek reborn, yang alih-alih “melahirkan kembali”, justru terasa asing ini.

Melanjutkan kisah film sebelumnya, trio Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), dan Indro (Randy Nidji) terlibat petualangan di Maroko, guna menyelamatkan Inka (Salshabilla Adriani). Dibantu gadis setempat, Aisyah (Aurora Ribero), ketiganya mesti menghadapi barisan penjahat, termasuk bos mafia bernama Aminta Bacem, yang diperankan oleh “kembaran” Amitabh Bachhan, Rajkumar Bakhtiani. Memang Rajkumar sangat mirip dengan sang aktor legendaris, tapi di luar itu, tidak ada kualitas apa pun yang ia tawarkan.

Apakah kalian ingat alasan Dono-Kasino-Indro sampai di Maroko? Apakah kalian ingat kalau semua kekacauan ini bermula saat Komandan Cok (Indro Warkop) merekrut mereka untuk membongkar praktek pencucian uang di industri film yang dilakukan oleh Amir Muka (Ganindra Bimo)? Wajar jika tidak. Sebab naskah buatan sutradara Rako Prijanto dan Anggoro Saronto membuang persoalan di atas.

Selama sekitar 103 menit, Warkop DKI Reborn 4 hanya meninggalkan satu poin: Trio protagonisnya harus menyelamatkan Inka. Perjalanan 103 menit yang dibungkus penceritaan berantakan, di mana satu adegan dengan adegan berikutnya, dipaksakan saling berkaitan, atau malah tanpa kaitan sama sekali. Penyuntingan buruk yang menciptakan transisi-transisi kasar pun semakin menambah sakit kepala kala menonton.

Kelemahan itu sejatinya bisa disangkal dengan opini, “film Warkop DKI bukan soal kerapian bercerita”. Tidak salah. Tapi bagaimana terkait kemampuannya menghibur lewat perpaduan aksi dan komedi? Rako bukan sutradara yang piawai mengolah aksi. Tentu saja saya mengatakan itu bukan didasari keinginan melihat laga sekelas The Raid, melainkan ketiadaan antusiasme. Eksekusinya tak bertenaga.

Sedangkan humornya, meski masih dibarengi efek suara konyol ala sinetron murahan, dan lebih sederhana (baca: kurang kreatif) dibanding film-film sebelumnya (Dua seri Jangkrik Boss dengan keanehan khas Anggy Umbara, Warkop DKI Reborn 3 dengan visualisasi lawakan dari kaset Warkop DKI), masih bisa memancing beberapa tawa berkat penampilan trio aktor utama. Adipati bukanlah Kasino. Setidaknya, akan sulit baginya meniru cara bicara Kasino. Sesuatu yang ia sadari, sehingga memilih fokus pada gestur dan ekspresi jenaka. Aliando, biarpun diganggu riasan buruk, mampu meneruskan pencapaian Abimana dalam menghidupkan kembali sosok Dono di layar lebar. Sedangkan Randy lebih subtil, namun jika ditanya, “Siapa yang paling mirip luar-dalam dengan Warkop DKI asli?”, saya bakal menyebut namanya.

Sayang, performa mereka jadi tak maksimal akibat materi yang hit-and-miss, pula kental seksime. Benar bahwa film-film Warkop DKI rilisan Soraya tampil serupa, tapi bukan berarti harus diikuti. Bukankah ini modernisasi? Hal-hal seperti inilah yang mestinya mendapatkan upgrade. Bukan skala, teknologi, apalagi penambahan twist tak perlu yang seolah jadi suatu keharusan agar sebuah film dipandang “keren”.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

TEMAN TAPI MENIKAH 2 (2020)

Ketika film romansa kita sedang jatuh hati pada adaptasi Wattpad dengan judul-judul absurd, gombalan puitis, serta tipikal bad boy yang semakin lama justru makin bergeser ke arah brengsek ketimbang keren, Teman tapi Menikah, yang merupakan film Indonesia favorit saya tahun 2018 lalu, menelurkan sekuelnya, lalu memperlihatkan definisi romantisme yang sebenarnya. Berbagi tawa dan rasa, bukan cuma kata-kata tanpa nyawa atau drama sarat hiperbola.

Walau peran Ayu berpindah ke tangan Mawar de Jongh yang menggantikan Vanesha Prescilla, kedua tokoh utamanya masih sama. Mereka masih Ditto (Adipati Dolken) dan Ayu yang akan merinding jijik saat mendengar gombalan, walau dorongan untuk saling bersikap manja selalu ada. Begitulah bentuk hubungan “teman rasa pacar, pacar rasa teman”. Tapi kini sepasang teman itu sudah menikah. Teman tapi Menikah 2 bukan lagi tentang susahnya mencintai teman, walau kesan tersebut tetap bisa dirasakan kala mendengar keduanya berinteraksi secara kasual, yang justru memberi romantisme tersendiri.

Ditto dan Ayu ingin menikmati masa bulan madu terlebih dulu, namun belum sempat itu terlaksana, Ayu terlanjur hamil. Pengaruh hormon ditambah ketakutan akan kehamilan membuat Ayu sering marah-marah, dan respon Ditto tidak mempermudah keadaan. “Gua nggak tahu salah gua apa”, ungkap Ditto kepada rekan-rekan bandnya. Mungkin laki-laki memang sebodoh itu, kesulitan memahami kondisi fisik dan mental (yang saling berkaitan) dari ibu hamil.

Naskah buatan Johanna Wattimena (Teman tapi Menikah, Sin, The Way I Love You) sayangnya tidak memperdalam urusan itu. Ketimbang membawa Ditto sepenuhnya melewati proses pemahaman, ia berulang kali terlalu gampang “lolos” dari permasalahan. Setidaknya ketiadaan elemen itu bukan diakibatkan kelalaian, melainkan kesengajaan demi memberi ruang pada tuturan lain, yakni tentang hubungan suportif pasangan suami-istri kala menghadapi kehamilan.

Meski pemaparannya ringan dan tidak semuanya dieksplorasi secara memadai, naskahnya mampu mencakup berbagai permasalahan dalam pernikahan secara umum, maupun fase kehamilan secara khusus. Kekhawatiran seorang ibu mendapati perubahan fisik, suami yang terpaksa merelakan waktu bersama teman-teman, campur tangan orang tua, pilihan metode persalinan, dan lain-lain.

Kalau mencari penelusuran kompleks, mungkin anda bakal kecewa, tapi jika romansa ringan kaya rasa yang diinginkan, sebagaimana pendahulunya, Teman tapi Menikah 2 adalah juaranya. Interaksi “suami-istri-rasa-teman” Ditto dan Ayu tidak pernah gagal menghadirkan senyum. Entah senyum karena tergelitik, senyum karena gemas, atau senyum karena membayangkan hubungan semanis itu (akan atau sedang) kita jalani. Naskahnya jago memproduksi kata, sedangkan kedua pemeran utama lihai melontarkannya.

Bagi Ditto, pernikahan ini adalah mimpi yang jadi nyata setelah menunggu 13 tahun (walau nantinya kita tahu bahwa Ayu pun sama saja), dan sepanjang film, Adipati berhasil memperlihatkan tatapan berbinar dan senyum lebar dari kebahagiaan seseorang yang impiannya terwujud. Sementara Mawar—yang secara fisik pun lebih punya kemiripan dengan Ayudia dibanding Vanesha—mampu memberi pendewasaan terhadap karakternya, walau tetap menampilkan kemanjaan-kemanjaan yang tak mungkin gagal meluluhkan, bukan cuma hati Ditto, juga penonton.

Adipati dan Mawar punya dinamika luar biasa, sehingga inkonsistensi terkait pacing, di mana beberapa momen bergulir terlalu lama, tidak menjadi persoalan fatal. Penceritaan Rako Prijanto selaku sutradara memang tidak semulus di film pertama, tapi sensitivitasnya tidak berkurang. Terbukti dari kesuksesannya merangkai klimaks emosional, yang menyertakan suasana sakral lewat alunan mantra Tvameva Mata. Teman tapi Menikah 2 mengajak penonton tertawa, berbahagia bersama mereka, dalam sebuah tuturan cinta yang membuat kita ikut jatuh cinta.

PEMBURU DI MANCHESTER BIRU (2020)

Berdasarkan buku non-fiksi berjudul sama buatan Hanif Thamrin, Pemburu di Manchester Biru berusaha menuturkan kisah inspiratif. Mengapa inspiratif? Sebab Hanif merupakan orang Indonesia pertama yang bekerja di kelab sepak bola Inggris, Manchester City. Sebagai apa? Indonesian Content Producer. Apa detail pekerjaannya? Kurang jelas. Apa kemampuan terbaik Hanif? Juga kurang jelas. Jangankan inspiratif, akibat ketidakjelasan tersebut, memedulikan perjuangan tokoh utamanya saja sulit.

Sejak awal kita diperlihatkan bagaimana Hanif (Adipati Dolken) kesulitan mencari pekerjaan setelah pendidikannya di London usai. Walau tanpa pekerjaan, kesulitan uang, dan harus terus menumpang di apartemen milik sahabatnya yang kaya, Pringga (Ganindra Bimo), Hanif menolak pulang ke Indonesia sebelum menepati janji kepada mendiang ayahnya (Donny Alamsyah). Lau kesempatan datang saat ia diterima bekerja di Manchester City, dan gerbang terwujudnya mimpi Hanif menjadi jurnalis pun terbuka, meski jalan terjal masih harus ditempuh.

Di sebuah flashback, Hanif kecil mengerjakan tugas sekolah tentang cita-cita, lalu sang ayah mengatakan bahwa menjadi orang baik juga sebuah cita-cita. Kisahnya, yang diadaptasi ke dalam naskah oleh Titien Wattimena (Dilan 1990, Aruna & Lidahnya), memaparkan perjalanan Hanif menjadi orang baik. Walau sempat jatuh kala diperlakukan keras oleh atasan, Hanif akhirnya merespon positif, termasuk bersikap ramah dengan membuatkan makanan untuk si atasan. Bukan pesan yang buruk, tapi itu saja tidak cukup. Hanif harus terbukti kompeten agar perjuangannya patut didukung.

Tapi, selain keputusan membuat akun YouTube, tidak banyak keunggulan dipamerkan protagonisnya. Justru ia banyak mendapat kemudahan berkat orang-orang di sekitarnya, yang tetap setia mengulurkan bantuan, bahkan ketika Hanif kerap bersikap egois di tengah keputusasaannya. Begitu memperoleh kesempatan, ia justru membuangnya akibat tindakan ceroboh. Jangan pula berharap mendapat gambaran lebih jauh mengenai profesi Hanif, karena Pemburu di Manchester Biru merupakan film mengenai tokoh yang bekerja di kelab sepak bola namun jarang membicarakan sepak bola maupun detail pekerjannya.

Setidaknya Pemburu di Manchester Biru masih cukup tertolong berkat departemen teknis juga penyutradaraan Rako Prijanto (Teman tapi Menikah, Warkop DKI Reborn) yang memadai. Selain penanganan pacing yang baik—sehingga biarpun naskahnya dangkal film ini tetap nyaman diikuti layaknya catatan harian yang menghibur—Rako pun bisa mengemas filmnya supaya terlihat lebih mahal dari seharusnya. Salah satu “manipulasi” tersebut diterapkan dalam beberapa adegan berlatar Stadion Etihad. Jika teliti, anda akan tahu kalau itu bukan Etihad, melainkan Loftus Road milik Queens Park Rangers, tapi “kepalsuan” itu takkan mudah dideteksi.

Akting para pemainnya juga ikut membantu. Adipati Dolken punya kenaturalan dalam menangani kalimat dan emosi, sementara Ganindra Bimo menghibur dengan penampilan berenerginya. Sedikit kejutan hadir dari pemeran sosok legendaris Les “Chappy” Chapman (maaf, saya melupakan namanya). Biasanya, aktor pendukung bule di film kita, hadir dengan performa kaku, tapi tidak dengannya, yang menghembuskan kehangatan di tengah dinginnya rekan-rekan kerja Hanif. Sayangnya, sebagai biografi seorang figur yang karirnya sempat ramai diperbincangkan, Pemburu di Manchester Biru juga terasa dingin.

LOVE FOR SALE 2 (2019)

Berlandaskan premis unik, akting ciamik, dan departemen artistik menarik, tahun lalu Love For Sale mampu mencuri perhatian, walau berbeda dengan pandangan umum, saya beranggapan naskah buatan sutradara Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Bridezilla) dan M. Irfan Ramly (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Surat dari Praha) kurang matang dalam menangani konsep, khususnya di fase konklusi. Love For Sale 2 berhasil memperbaiki itu.

Idenya masih serupa, yakni mengenai “kunjungan” Arini (Della Dartyan) dari aplikasi kontak jodoh Love Inc., ke kehidupan protagonis. Bedanya, tidak ada usaha setengah-setengah menjelaskan soal Love Inc. sebagaimana film pertama. Lubang alur diminimalisir, dan sewaktu konflik menemukan resolusi, tidak ada distraksi. Konsentrasi sepenuhnya tercurah pada permainan rasa dalam drama keluarga yang kini jadi fokus utama.

Dibuka oleh pesta pernikahan beradat Minang yang dibungkus menggunakan satu take panjang, kita segera tahu masalah macam apa yang segera menjelang. Ican (Adipati Dolken) terus didorong oleh sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), agar segera menikah. Berulang kali Rosmaida berusaha menjodohkan Ican, tapi berulang kali pula puteranya itu menolak. Berbanding terbalik dengan Richard (Gading Marten) di film pertama, Ican doyan berganti-ganti pasangan, namun enggan melakoni hubungan serius.

Tekanan dari orang tua agar segera menuntaskan masa lajang tentu terdengar familiar sebab banyak terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin menimpa kita sendiri. Love For Sale 2 merupakan satir menggelitik atas problematika tersebut. Tentang urgensi menikah. Kunci sindirannya terletak pada kontradiksi dalam kata-kata maupun perilaku karakter. Rosmaida terus meminta Ican menikah, tapi saat melihat puteranya itu berbicara dengan wanita, ia buru-buru berujar “Jangan deket-deket. Nanti fitnah”. Timbul pertanyaan, “Apakah Rosmaida (dan para orang tua lain) ingin anaknya menikah, atau MENIKAHI PILIHAN MEREKA?”.

Cara pandang masyarakat soal pernikahan juga tidak ketinggalan disentil. Misalnya saat Ndoy (Ariyo Wahab), kakak Ican, menyindir seorang karakter yang memasang wajah kucel seorang karakter akibat ditinggal pergi istrinya, lalu sejurus kemudian menyarankan Ican segera menikah supaya hidupnya tentram. Lagi-lagi komedi satir berbasis kontradiksi.

Meski melempar sindiran, Love For Sale 2 menolak tampil berat sebelah. Rosmaida sekilas menyebalkan, layaknya banyak sosok ibu, menyuruh Ican segera menikah, selalu cerewet menasihati agar anak-anaknya rajin salat dan berbagai petuah lain. Rosmaida juga bukan mertua yang menyenangkan bagi istri Ndoy, Maya (Putri Ayudya), yang walau tengah hamil tua, tetap mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Tapi layaknya seorang ibu pula, selalu ada cinta, dan film ini tidak lupa menekankan cinta itu. Karena mungkin, Rosmaida hanya butuh ditemani dan dimengerti. Di situlah Arini berperan.

Demi membahagiakan ibunya, Ican menggunakan layanan Love Inc., memesan calon istri palsu sesuai preferensi sang ibu. Jika film pertama mengetengahkan peran Arini menumbuhkan semangat hidup Richard, di sekuelnya, giliran harmoni keluarga Ican yang ia pupuk. Tertinggal kekecewaan di fase ini, karena proses “perbaikan” yang Arini lakukan cuma nampak di permukaan, biarpun gagasan “Arini membawa kebahagiaan sebagai alat menyembuhkan” telah tersampaikan.

Satu lagi keunggulan sekuel ini dibanding pendahulunya adalah penokohan Arini. Menampilkan Della Dartyan dengan senyum yang bisa membuat siapa saja seketika jatuh hati, Arini masih gadis dengan sensitivitas tinggi, sehingga tahu bagaimana memberi respon yang diinginkan lawan interaksinya. Kali ini ruang personal Arini mulai dikunjungi. Sosoknya makin dimanusiakan. Sebuah obrolan Arini dengan Rosmaida di suatu subuh—yang juga jadi ajang pembuktian kepiawaian Della mengontrol luapan emosi—menyiratkan bahwa kunjungan kali ini terasa lebih personal bagi Arini. Dugaan jika Love Inc. bukan sekadar tempat Arini bekerja turut menguat.

Andibachtiar Yusuf mengulangi pencapaiannya di departemen penyutradaraan lewat kepekaan menangkap emosi suatu momen, dan menjadikan filmnya tidak semata pameran gambar cantik. Tidak kalah mengagumkan adalah perhatian Andibachtiar terhadap detail peristiwa yang bertempat di belakang fokus kamera. Contohnya di adegan pembuka. Daripada hanya memakai figuran, ia menempatkan Buncun (Bastian Steel) si putera bungsu bersama istrinya, Endah (Taskya Namya). Keduanya cuma duduk menikmati makanan , tapi itu saja sudah cukup menghidupkan sebuah peristiwa. Atau sewaktu Ican mengobrol dengan Ibrahim (Yayu Unru) sementara di belakang, orang-orang asyik bermain domino, dengan gestur serta suara yang tidak terlalu besar sampai mengganggu fokus, namun tidak terlalu kecil agar penonton bisa menyadari eksistensi mereka.

WARKOP DKI REBORN (2019)

Selucu-lucunya film klasik Warkop DKI, rasanya semua setuju kalau media audio, yang dulu banyak beredar dalam rekaman kaset, lebih mewadahi kelucuan mereka (silahkan cari di YouTube dan siap-siap sakit perut). Dalam proyek Reborn ketiga—yang tidak mengusung embel-embel “Part 3”—ini, terdapat usaha memvisualisasikan humor verbal Warkop, yang malah menegaskan ketidakcocokan alih media tersebut. Bahkan secara keseluruhan, Warkop DKI Reborn mungkin pertanda bahwa regenerasi Warkop DKI bukan ide yang baik.

Saya selalu tergelak mendengar banyolan “Marga Batak”, tapi kala filmnya menerjemahkan itu ke layar, biarpun intensinya selaku penghormatan patut diapresiasi, tawa tak juga hadir. Selipan humor-humor Warkop lain pun bernasib sama. Apalagi sewaktu secara beruntun, naskah buatan  Anggoro Santoro (Sang Kiai, Bangkit!, Cahaya Cinta Pesantren) bersama sutradara Rako Prijanto (Sang Kiai, Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) bergantung pada lawakan pervert ala film Warkop produksi Soraya era 90-an.

Ide ceritanya sendiri menarik, yaitu perekrutan trio penyiar radio, Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), Indro (Randy Danistha) oleh Komandan Cok (Indro Warkop) untuk menjadi agen rahasia guna menyibak praktek pencucian uang di industri perfilman tanah air. Jadilah mereka terlibat proyek film buatan rumah produksi milik Amir Muka (Ganindra Bimo), menyulut kekacauan di set, lalu bersinggungan dengan aktris cantik bernama Inka (Salshabilla Adriani).

Sampai di sini, semuanya berjalan lancar, hingga Warkop DKI Reborn memutuskan melebarkan sayap dengan memperbesar skala. Tidak main-main, filmnya membawa Dono-Kasino-Indro berpetualang ke Maroko, bahkan membantu melindungi desa asal gadis setempat (Aurora Ribero) yang dihantui ancaman bandit. Sejak dulu plot film Warkop memang selalu bercabang pula dikemas bak sketsa, tapi fokusnya terjaga, alih-alih terkesan melupakan tema besarnya seperti ini.

Pergantian latar ekstrimnya memang memfasiliasi humor klasik menggelitik soal “Bahasa Arab” hingga nomor musikal absurd Ummi, namun di saat bersamaan, melucuti potensi presentasi kritik tentang industri film. Apalagi sewaktu kisahnya dipaksa berakhir di tengah-tengah, karena (lagi-lagi) Falcon Pictures memilih memecah filmnya menjadi dua bagian.

Padahal pergantian pemeran trio Dono-Kasino-Indro di luar dugaan memberi hasil positif. Adipati tampak lebih natural dan santai ketimbang Vino dalam memerankan Kasino si playboy mulut besar, Randy punya tampilan lebih mirip Indro dibanding Tora, sedangkan Aliando—sebagaimana Abimana—muncul sebagai MVP. Riasan giginya memang mengganggu, tapi baik suara maupun gestur, Aliando berhasil mereplikasi anggota Warkop DKI favorit saya itu.

Penyutradaraan Rako Prijanto juga mengungguli Anggy Umbara berkat gaya yang lebih “sederhana”, biarpun banyaknya penggunaan efek suara konyol layaknya sketsa televisi murahan justru melemahkan daya bunuh komedi, selain menurunkan kelas filmnya. Beberapa kreativitas humornya, sebutlah parodi film-film populer Indonesia, memang mampu memancing senyum. Tapi saya butuh lebih dari sekadar senyum. Saya membutuhkan tawa, yang sayangnya jarang diproduksi oleh Warkop DKI Reborn.

PERBURUAN (2019)

Menyutradarai sekaligus menulis naskahnya bersama Husein M. Atmodjo (Midnight Show, 22 Menit, Sekte), Richard Oh (Melancholy is a Movement, Terpana, Love is a Bird) mendesain Perburuan, selaku adaptasi novel berjudul sama karya Pramoedya Ananta Toer, sebagai sebuah perenungan. Perenungan atas ideologi, perenungan atas secercah cahaya harapan di tengah kegelapan. Perenungan yang sayangnya belum mampu menyeret penonton agar ikut merenungi, apalagi merasakan gejolak karakternya.

Hardo (Adipati Dolken) adalah prajurit PETA yang terlibat pemberontakan 14 Februari 1945 di bawah pimpinan Soeprijadi (Kevin Andrean). Bersama rekan-rekannya, perlawanan Hardo dimentahkan prajurit Nippon, memaksa mereka kabur, mengasingkan diri, hidup layaknya pengemis menghindari perburuan para penjajah. Semasa pengasingan, Hardo meninggalkan orang-orang terdekatnya, dari sang ayah (Otig Pakis) yang dipocot dari jabatan sebagai Wedana hingga tunangannya, Ningsih (Ayushita Nugraha).

Hardo hanya bersedia pulang jika “Nippon sudah kalah”, suatu kondisi yang dianggap mustahil oleh banyak orang, termasuk Lurah Kaliwangan (Egy Fedli) yang juga ayah Ningsih. Hardo kukuh bertahan menanti kemerdekaan, meski tak terburu-buru pula mengejarnya, sebagaimana nasihat Ningsih—yang mengajar di suatu sekolah—kepada muridnya untuk “Tidak usah lari-lari, perlahan juga sampai di tujuan”.

Dan Perburuan memang enggan terburu-buru bergerak, ketika Richard Oh mengemas filmnya dalam tempo cenderung lambat, mengisinya dengan kontemplasi Hardo soal impian kemerdekaan, kerinduan, juga rasa bersalah pada orang-orang tercinta yang ditinggalkan, meski perjalanannya sendiri tak pernah sunyi, ketika musik buatan Purwacaraka (Joshua Oh Joshua, Si Doel the Movie) setia memperdengarkan orkestrasi yang acap kali terlampau “besar” guna menemani tuturan Richard yang mengejar keintiman.

Sengaja atau tidak, melalui Perburuan, Pramoedya jelas sedang mengobservasi psikis manusia—yang besar kemungkinan mencerminkan isi hatinya mengingat novelnya ditulis semasa menjalani masa penjara—di mana terjadi benturan antara ideologi berbangsa dengan kebutuhan personal. Itulah penyebab Hardo tampak linglung, bertingkah bak orang kehilangan kewarasan. Batinnya berkecamuk luar biasa.

Konflik ini yang filmnya gagal sampaikan. Saya tidak menemukan proses mental. Hanya potongan-potongan situasi, yang menyuapi penonton dengan pemahaman kognisi ketimbang rasa. Kita bisa mengerti otak Hardo, namun tidak merasakan isi hatinya. Dalam perjalanannya, Perburuan urung membekali Hardo dengan pondasi dan gradasi emosi. Hanya berbekal prolog seadanya, kita langsung dibawa menyambangi Hardo di persembunyian, dalam kondisi yang sepanjang cerita, tanpa dibarengi naik-turun kondisi.

Alhasil, beberapa momen gagal memberi penebusan emosi sesuai harapan. Misalnya sewaktu Hardo dan ayahnya terlibat obrolan di sebuah gubuk. Semestinya, seperti Hardo, perasaan kita ikut tertusuk. Masalahnya, fakta yang diungkapkan sang ayah terkesan “datang entah dari mana”. Padahal satu momen ini memperlihatkan pencapaian tertinggi sepanjang karir Richard sebagai sutradara ketika atmosfer ia bangun dengan penuh sensitivitas, dibantu suasana temaram garapan sinematografi Yoyok Budi Santoso (Haji Backpacker, Negeri Van Oranje, Guru Ngaji) yang mekin menguatkan keintiman serta duka.

Paling fatal tentu bab konklusi. Saya takkan membocorkan peristiwanya, namun kealpaan membangun hubungan Hardo-Ningsih berujung melucuti emosi. Jarak bukan alasan ketiadaan ikatan di antara mereka (yang turut berkontribusi menyia-nyiakan talenta Ayushita). Konklusinya, yang berlatar momen proklamasi, semakin kehilangan dampak akibat deretan sekuen pengejaran canggung tatkala banyak pasukan tampak menahan tawa, juga perayaan kemerdekaan masyarakat yang dibungkus dalam euforia setingkat parade karnaval 17-an.

Adipati tidak kalah canggung. Usahanya menangkap degradasi mental Hardo, khususnya pada adegan “menyalakan korek” yang telah muncul di trailer, hanya berhenti pada perwujudan permukaan (contoh: mata melotot saat marah, mata sayu saat sedih, dan sebagainya), ketimbang sebuah pendalaman menyeluruh. Hampa. Sayangnya, keseluruhan Perburuan terjangkit kehampaan serupa meski digarap sungguh-sungguh sembari menghormati materi adaptasinya.

THE MAN FROM THE SEA (2018)

The Man from the Sea adalah drama menghibur dengan beberapa tebaran bumbu komedi. Terdengar cukup, namun karya penyutradaraan keenam Koji Fukada (Harmonium, Au Revoir L'Ete, Hospitalité) ini bisa (dan seharusnya) menjadi lebih, khususnya melihat subteks yang Koji sematkan di balik kisah mengenai pria misterius yang terdampar di sebuah pantai di Banda Aceh. Tanpa nama, tanpa ingatan, tanpa pakaian.

Pria tersebut (diperankan Dean Fujioka dengan aura mistis minim ekspresi wajah), tidak mengingat identitas serta asalnya. Setidaknya itu yang dipercaya warga setempat. Hingga seiring waktu, ia berubah dari pria pengidap amnesia yang tersesat, menjadi figur bak Yesus, dengan kemampuan menciptakan dan mengendalikan air guna menyelamatkan nyawa manusia, pula merenggutnya di lain kesempatan.

Seolah pria tersebut, sebagaimana nama yang diberikan untuknya (Laut), merupakan perwujudan laut itu sendiri. Laut yang menyediakan sumber kehidupan bagi manusia, namun seperti peristiwa tsunami tahun 2004, dapat pula menjadi pembawa maut yang merenggut ratusan ribu jiwa. Dualisme peran tersebut berpotensi menghadirkan perenungan serta dialektika menarik mengenai bagaimana seharusnya menyikapi kehidupan dan alam.

Tapi Koji, yang sanggup memprovokasi lewat Harmonium dua tahun lalu, memilih pendekatan ringan nan aman. Ketimbang titular character-nya, ia meletakkan fokus kepada empat muda-mudi, menyoroti pertemanan mereka, dan tentu saja, kecanggungan percintaan yang terjalin.

Ilma (Sekar Sari) adalah sineas dokumenter yang tengah memproduksi film mengenai korban tsunami, dibantu Kris (Adipati Dolken) si juru kamera. Salah satu narasumbernya adalah sobat Kris, Takashi (Taiga), pria Jepang yang lahir dan besar di Indonesia karena pekerjaan kemanusiaan sang ibu, Takako (Mayu Tsuruta). Terakhir ada Sachiko (Junko Abe), sepupu Takashi yang datang dari Jepang guna menjalankan misi personal.

Berkat pengarahan sekaligus penulisan naskah bergaya “serius tapi santai” dari Koji, interaksi keempat protagonisnya menyenangkan disimak. Entah sikap jenaka Takashi atau romansa malu-malu Kris dan Sachiko, semua berhasil memancing senyum, bahkan tawa. Keempat pemerannya pun bermain baik: Taiga mempunyai timing komedik apik, Adipati cocok melakoni peran pemuda pemalu yang bagai “kerbau dicucuk hidungnya” karena cinta dengan Junko yang tak kalah polos menjadi tandem sempurna, sedangkan Sekar Sari memberi keseimbangan lewat pendekatan (lebih) dramatik.

Saya menyukai mereka, mendukung tercapainya tujuan mereka, juga gemas menyaksikan romansa “malu-malu kucing” Kris-Sachiko. Sampai The Man from the Sea menyentuh babak akhir, lalu saya menyadari banyaknya cerita penuh makna yang tertinggal tanpa eksplorasi. Koji menyebut bahwa ide film ini sudah terpikirkan sejak 2011, yang kita tahu bersama, merupakan tahun kala tragedi gempa bumi dan tsunami Tohoku terjadi. Pertemuan warga Indonesia dan Jepang di sini bisa saja menciptakan tuturan metaforikal mengenai penanganan trauma kedua bangsa. Persinggungan dan peleburan nasib serta budaya sempat dipaparkan di beberapa titik (termasuk kebersamaan Kris dan Sachiko), tapi tidak cukup lugas untuk dapat merenggut hati.

Koji cukup cerdik mengakali keterbatasan sumber daya tatkala bermain-main dengan aspek magis ala dongeng, mengandalkan kreativitas demi mengejutkan, memuaskan, atau menghibur dan menyulut tawa penonton (Caranya mengakhiri adegan “konferensi pers sungguh jenius). Sayangnya, terkadang beberapa detail kecil terlewat dari pengamatan Koji, sebutlah saat pada dua kesempatan berbeda, anda bakal melihat jelas mayat yang masih bernapas.

Benar bahwasanya potensi sejati dan makna terdalam The Man from the Sea tidak pernah terwujud seutuhnya, namun usaha Koji membawa filmnya berjalan di jalur yang lebih mengutamakan hiburan harus diakui berujung kesuksesan. Film ini mungkin takkan berjaya di ajang festival film mayor sebagaimana Harmonium memenangkan Jury Prize pada Festival Film Cannes 2016, namun The Man from the Sea adalah suguhan yang dengan senang hati akan saya kunjungi kembali untuk sekedar bersantai seperti menikmati udara pantai

3 DARA 2 (2018)

Komedi adalah “makhluk” yang sulit ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel dari 3 Dara yang tiga tahun lalu sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menunjukkan pada para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada wanita sungguh bukan main-main. Belum tentu pria sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal meruntuhkan dinding pembatas  just-for-fun-fiction supaya pesannya dapat ditanggapi serius.

Sejatinya, trio penulis naskah: Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven), Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet Me After Sunset), telah memilih jalur yang tepat, bahkan cerdik guna mengembangkan cerita tanpa keluar dari persoalan kesetaran gender dan kisah “pria menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita, mereka mesti bertukar peran dengan para istri, alias menjadi bapak rumah tangga.

Akibat kegagalan investasi, mereka pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy. Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania Putrisari) memutuskan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan memasak.  Mereka semakin kerepotan akibat keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena setelah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.

Pondasi memadahi telah ditempatkan, pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis, sebagai dua jenis kelamin, pria dan wanita jauh berbeda, namun tidak dari sisi gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan Affandy-Jay-Richard dalam usaha menebus cicilan rumah justru dikedepankan ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas ditampilkan melalui montase singkat.

Semakin kisahnya bergulir, semakin repetitif, di mana pola “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses belajar gradual, karakternya dibiarkan tanpa perubahan sampai konklusi. Sebuah konklusi bertabur twist yang menempuh jalan pintas guna menyelesaikan segala permasalahan. Twist yang mengejutkan? Ya, karena sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.

Dipandang selaku hiburan, balutan humornya bekerja cukup baik. Beberapa ide kentara menunjukkan para penulisnya lebih mencurahkan usaha dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibuat terus terjaga. Belum lagi Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan". Sementara Fanny Fabriana mampu melakoni peran sebagai jangkar bagi elemen dramatik filmnya.  

Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya, gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta. Namun hiperbola di sini, yang membuat masalah tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi “membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard beradaptasi sebagai bapak rumah tangga, mayoritas diproduksi oleh perilaku absurd Jentu, yang memang benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist dan male chauvinist pun rasanya hanya akan terkekeh.

#TEMANTAPIMENIKAH (2018)

Kita menyukai keajaiban. #TemanTapiMenikah adalah film tentang keajaiban. Tidak perlu kehadiran makhluk-makhluk mitologi atau ilmu sihir. Menyebut “cinta sendiri adalah keajaiban”, rasanya tidak berlebihan, sebab, karenanya banyak hal-hal di luar nalar terjadi. Termasuk persahabatan yang akhirnya berlanjut ke jenjang pernikahan, sebagaimana perjalanan pasangan Ditto Percussion dan Ayudia Bing Slamet yang berawal dari pertemanan selama 12 tahun. Keduanya merangkum kisah itu ke dalam buku berjudul sama yang jadi materi adaptasi filmnya.

Bukunya sendiri kerap disebut “Buku Kuning”, yang merujuk pada sampulnya. Berniat menyesuaikan, sisi visual filmnya dikemas lewat nuansa kekuningan. Cerah, menyenangkan. Sama seperti momen pembuka saat Ditto (Adipati Dolken) duduk menanti Ayu (Vanesha Prescilla) di sebuah kafe. Suara-suara di sekitarnya; gelas, sendok, kucuran air, dan lain-lain, mulai menciptakan ritme harmonis. Setidaknya di kepala Ditto. Kepekaan terhadap ketukan ritmis dia miliki, karena passion-nya di bidang musik, khususnya perkusi. Ini asal muasal kata “Percussion” hadir selaku nama belakangnya.
Biar begitu, kalau bukan didorong Ayu, Ditto mungkin takkan menekuni perkusi. Gadis ini cinta pertamanya, sejak mengidolakan Ayu dari layar kaca ketika masih kecil, kemudian bertemu di bangku SMP, lalu bersahabat sampai masa kuliah. Ditto memilih memendam perasaan demi melindungi kedekatan mereka. Walau artinya dia mesti tabah mendapati sang pujaan hati menjalin hubungan dengan pria lain. Sungguh mengasyikkan persahabatan Dito-Ayu. Selalu menghabiskan waktu berdua, saling tolong sembari saling ejek, termasuk soal pacar masing-masing. Mereka selalu tertawa, begitu pula saya.

Bermula sejak dinamisnya adegan pembuka, interaksi dua tokoh utama tak pernah luput memancing senyum. Beberapa berkat kecerdikan naskah buatan Johanna Wattimena dan Upi merangkai interaksi tanpa mengumbar kalimat puitis, beberapa berkat penyutradaraan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Sang Kiai, Bangkit!) yang mengutamakan kesan natural ketimbang memaksakan kekonyolan atau dramatisasi, tapi mayoritas berkat chemistry luar biasa Adipati dan Vanesha. Pria tampan dan wanita cantik dengan busana tak berlebihan namun memikat mata yang rutin memancing tawa bahagia satu sama lain. Sulit untuk tidak terbuai oleh keduanya.
Tanpa terbebani keharusan merespon gombalan-gombalan aneh, Vanesha tampil lepas. Kemudian ada Adipati dalam salah satu penampilan paling menghiburnya. Pun kapasitasnya melakoni drama tetap kentara. Pada sebuah momen, Ayu menangis membelakangi Ditto yang hanya bisa memandang, memasang wajah iba. Bagi saya, mise en scene seperti itu, kala seorang tokoh menyuarakan isi hati pada orang lain secara non-verbal tanpa orang lain itu sadari (contohnya “belaian” Celine untuk Jesse di Before Sunset), punya emosi lebih kuat. Penonton bagai diajak memasuki ruang personal si tokoh yang hanya diketahui dia dan kita. Bagi aktor, adegan macam ini butuh ketepatan timing serta kenaturalan merespon situasi.

Nyaris selalu tertawa oleh kelucuan atau tersenyum karena rasa manisnya, #TemanTapiMenikah juga berhasil mengalirkan air mata sewaktu menyaksikan resolusi romantika Ditto-Ayu di lokasi konser yang telah kosong. Nihil puisi, tiada pula ucapan “I love you”. Cuma dua sahabat yang masih melontarkan ejekan demi ejekan, bedanya kali ini mereka telah menyimpan perasaan serupa. Bukan tangis kesedihan, bahkan mungkin juga bukan haru. Entahlah. Mendadak terasa sesuatu yang manis dan indah. Sulit menjelaskannya menggunakan nalar, karena seperti telah disinggung, eksistensi cinta memang di luar nalar, atau dengan kata lain, keajaiban.

HUJAN BULAN JUNI (2017)

Hujan Bulan Juni selaku adaptasi novel puitis berjudul sama buatan Sapardi Djoko Darmono dari luar tampak sederhana tapi mengandung pergolakan rumit nan filosofis soal cinta di dalam. Mengisahkan Sarwono (Adipati Dolken) dan Pingkan (Velove Vexia), sepasang kekasih yang mengajar di Universitas Indonesia. Sarwono yang memilih puisi sebagai cara mengungkapkan segala isi hati kepada Pingkan mulai khawatir begitu sang kekasih bakal melanjutkan kuliah di Jepang selama dua tahun. Alasannya Katsuo (Koutaro Kakimoto, putera Tetsuo Kurata alias Kotaro Minami), pria Jepang sesama alumni UI yang akan menemani Pingkan selama masa studinya. 

Ini bukan semata konflik saling cemburu saling curiga yang kerap dijumpai dalam karya romansa populer. Seperti gaya bahasa metaforik multitafsir Sapardi, skenario karya Titien Wattimena menjadikan puisi media penyusun analogi guna merangkum setumpuk pemikiran serta problematika kompleks. Ada masalah perbedaan suku pula keyakinan yang menyeret keluarga Pingkan (Sarwono adalah Jawa-Islam, Pingkan Manado-Kristen), keresahan terkait kesetiaan, sampai gagasan-gagasan Sarwono terkait cinta. Betapa sulit menuturkan beragam hal tersebut melalui paparan narasi tersurat. 
Ketersiratan membantu menyingkat penyampaian sembari menjangkau makna terdalam. Tentu butuh kesediaan penonton menguraikan benang berbentuk kalimat bersayap maupun simbolisme. Sebutlah perjalanan ke Manado yang notabene rumah Pingkan. Di sana pikiran Sarwono diganggu dua pria. Benny (Baim Wong) jadi perwakilan masa lalu Pingkan, dan Katsuo yang segera mengisi rutinitas Pingkan di masa depan. Sementara Pingkan mesti bergulat dengan jati dirinya sebagai keturunan Manado. Proses tersebut makin berarti sebab hadir di rumah atau kampung halaman selaku tempat segalanya bermula, layaknya menyusuri ruang paling dalam sekaligus paling nyata karakternya.

Pun pemakaian sajak Sapardi memberi kenikmatan tersendiri. Mendengarkan lantunan bait demi bait senantiasa mengundang decak kagum atas pengolahan kata sang penulis. Demikian indahnya, tanpa perlu memikirkan interpretasi pasti pun hati ini bisa kembang-kempis dibuatnya. Mendukung usaha Hujan Bulan Juni memvisualkan puisi, sinematografi Faozan Rizal memproduksi jalinan gambar yang menyimpan tuturan di balik keindahan. Kelopak bunga sakura, debur ombak, nyala neon berbentuk salib, masing-masing bagai punya kisah untuk diceritakan. Kisah yang mewakili rasa dua tokoh utama.
Penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta Tapi Beda, Air Mata Surga) juga mencapai titik terbaik, menuangkan sensitivitas dalam keintiman Sarwono dan Pingkan lewat kedekatan batin ketimbang fisik. Bentuk olah rasa serupa dilakukan oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia. Adipati dengan kelembutan natural yang menyimpan kerapuhan guna menjauhkan Sarwono dari kesempurnaan, Velove dengan energi ditambah keanggunan sehingga Pingkan layak dipuja. Mereka mulus bicara lewat hati, bercinta menggunakan kata. Sedangkan Baim Wong bersama Surya Saputra berjasa menyuntikkan humor segar yang menambah dinamika kunjungan ke Manado.

Sayangnya transformasi bahasa sajak ke sinema belum sepenuhnya lancar. Terdapat dua kelemahan di dua poin vital. Pertama monotonitas alur. Media novel tak menghadapi masalah ini karena membiarkan imaji pembaca bebas bermain. Tapi di film, puisi serta gambar indah tidak sanggup menyembunyikan repetisi momen "tukar puisi" Sarwono dan Pingkan. Kedua, menerjemahkan ambiguitas ending novelnya yang berupa sajak bukan perkara gampang. Kembali, film butuh visualisasi, memaksa ambiguitas tadi dilucuti. Hasilnya adalah penutup yang terburu-buru, dipaksakan, bahkan seperti kebingungan menentukan arah. 

POSESIF (2017)


Posesif karya Edwin (Babi Buta Yang Ingin Terbang, Kebun Binatang) adalah drama romantis yang akan meruntuhkan, atau setidaknya menampar gagasan tentang "romantis" itu sendiri. Di mana kata "selamanya", alih-alih membuai justru menghasilkan teror yang berperan besar membentuk toxic relationship dalam percintaan kekinian. Sayang sekali harus ada kontroversi terkait 10 nominasi FFI yang dipandang banyak pihak (termasuk saya) tidak pantas. Padahal memandang kualitasnya, mau bertarung di FFI tahun berapa pun, takkan sulit bagi Posesif untuk menjadi unggulan.

Dipandu naskah Gina S. Noer (Habibie & Ainun, Rudy Habibie), film ini diawali layaknya romantika remaja SMA kebanyakan. Lala (Putri Marino), siswi SMA sekaligus atlet loncat indah peraih medali PON, menemukan cinta pertama begitu bertemu Yudhis (Adipati Dolken), sang siswa baru. Tapi dari situasi familiar itu pun kita langsung diperlihatkan kepekaan Edwin merangkai momen spesial berbekal kesederhanaan. Dari obrolan pertama secara diam-diam saat Lala hanya dapat melihat kaos kaki Yudhis di bawah meja, sampai "ikatan" yang terpaksa dijalin akibat hukuman guru olahraga galak (Ismail Basbeth), mampu menghembuskan nyawa bagi benih asmara keduanya. Karena cinta tak melulu butuh nyanyian atau karangan bunga supaya bersemi.
Katanya, cinta butuh perhatian agar bertahan. Perhatian itu sanggup diberikan Yudhis untuk Lala, yang di waktu bersamaan merasa dinomorduakan oleh sang ayah (Yayu Unru) yang juga pelatihnya. Namun lama-kelamaan, perhatian itu berubah jadi kekangan. Yudhis membatasi kegiatan Lala, menjajah ruang privasinya, bahkan mempersulitnya sekedar bergaul dengan para sahabat. Yudhis bersikap posesif, malah cenderung abusive. Pertanyaannya, apakah sebutan itu hanya pantas dialamatkan padanya seorang? Apakah ayah Lala dengan tuntutan agar sang puteri berprestasi di loncat indah, ibu Yudhis (Cut Mini) yang memaksa puteranya meneruskan tradisi keluarga, atau bahkan pihak sekolah beserta beragam aturan seragamnya juga layak dikategorikan posesif?
Secara tersirat tetapi tegas, skrip Gina S. Noer menyatakan perilaku posesif bukan eksklusif terjadi dalam pacaran apalagi di kalangan milenial belaka. Konsep posesif dipaparkan sebagai hasrat mendasar manusia mengatur seseorang yang dirasa berharga, dimiliki, atau di bawah kendali, tidak peduli siapa dan umur berapa. Terkait toxic relationship antara dua tokoh utama, naskahnya menolak menggunakan alur fantastis. Semua berjalan linier, tanpa kejutan, tanpa tikungan mendadak. Fokus dialamatkan pada galian psikis mendalam soal penokohan termasuk motivasi mereka. 

Mudah menghakimi Yudhis yang mengekang, kemudian melakukan kekerasan. Namun Posesif menyelam lebih jauh, menelusuri penyebab yang akhirnya membuat kata "mudah" tak lagi tepat dipakai menyikapi persoalan tersebut. Demikian pula mengenai Lala yang berusaha menerima perilaku sang kekasih, juga tindakan mengatur ayah dan ibu masing-masing. Segalanya tetap tak bisa dibenarkan, tapi Posesif mengajak penonton memahaminya agar terhindar dari sikap judgemental. Sebab soal psikis memang kompleks dengan judgemental selaku musuh terbesarnya.
Demi observasi mumpuni, pondasi naskah perlu didukung penampil yang tidak kalah kuat. Adipati Dolken memastikan karakter Yudhis memiliki pesona yang mampu mengambil hati Lala, sembari menebar kengerian dari tatapan mata penuh kebencian pun secara bersamaan menyiratkan derita. Ditambah lagi emosi fluktuatif yang pastinya menuntut jangkauan akting lebar. Putri Martino jadi tandem sepadan, piawai menyampaikan kegelisahan remaja di tengah ombang-ambing menuju pintu pendewasaan. Jangan lupakan pula betapa ia meyakinkan memerankan juara loncat indah. Sedangkan Yayu Unru menjaga agar simpati penonton tidak menjauh, menegaskan sosok ayah Lala sekedar kurang lancar menyampaikan rasa sayangnya ketimbang seorang otoriter bengis.

Edwin sang sutradara sendiri turut bertransformasi. Sebagai veteran arthouse tanah air, dibawanya bekal-bekal yang cocok, seperti pertunjukan gambar cantik dibantu sinematografi garapan Batara Goempar (Aach...Aku Jatuh Cinta) hingga keengganan menerapkan trik dramatisasi murahan seperti musik bergelora asal masuk. Justru menarik mendapati beberapa kombinasi visual artsy dengan lantunan lagu populer macam Dan dari Sheila on 7 atau No One Can Stop Us-nya Dipha Barus. Manis nan ringan di luar, mencengkeram sekaligus bernyawa di dalam. Posesif bagai pernyataan dari Edwin bahwa film berkualitas tak perlu pretensius.