Tampilkan postingan dengan label Sofia Coppola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sofia Coppola. Tampilkan semua postingan

REVIEW - ON THE ROCKS

Sofia Coppola (Somewhere, The Bling Ring, The Beguiled) melahirkan karyanya yang paling “bersahabat” melalui On the Rocks, sebuah drama-komedi yang meski kerap menyinggung tema-tema seperti keluarga, pernikahan, hingga peran gender, secara garis besar bicara soal kebahagiaan. Bahwa wujud kebahagiaan berbeda-beda bagi tiap individu. Bahwa sumber kebahagiaan seseorang bisa berubah seiring perjalanan hidup. Bahwa kebahagiaan bukan suatu hal hitam-putih yang absolut, di mana untuk merasakannya, seseorang tak perlu (selalu) meniru jalan yang ditempuh orang lain.

Tanpa perlu disebutkan dengan gamblang, kita tahu Laura (Rashida Jones) sedang tidak bahagia. Hari-harinya diisi oleh rutinitas mengantar jemput kedua puterinya ke sekolah dan kursus, yang semakin lama semakin repetitif dan melelahkan. Jangankan menyelesaikan buku terbarunya, Laura tak sempat mengurus dirinya sendiri. Kaus putih berlubang-lubang yang ia kenakan di salah satu adegan, mengonfirmasi itu. Detail yang membuktikan, bahwa selain estetika yang senantiasa muncul di karyanya, latar belakang di bidang fashion membantu Coppola meletakkan pondasi karakter lewat baju yang mereka kenakan.

Sedangkan suami Laura, Dean (Marlon Wayans), merupakan pebisnis muda sukses. Saking suksesnya, Dean jarang di rumah, sering bepergian ke luar kota dan luar negeri, demi rapat-rapat yang tak pernah usai. Tentu Laura senang, namun di sisi lain, ia mulai merasa ditinggalkan. Pernah, di satu pesta perayaan kesuksesan perusahaan Dean, Laura berdiri seorang diri, ditinggalkan sang suami di tengah kerumunan orang-orang asing. Di situlah Laura berkenalan dengan Fiona (Jessica Henwick), gadis muda cantik rekan kerja Dean, sekaligus sosok yang Laura curigai sebagai selingkuhan sang suami.

Benarkah Dean berselingkuh? Apakah tas berisi peralatan mandi kepunyaan Fiona yang tidak sengaja ditemukan Laura di koper Dean cukup menjadi bukti? Masuklah Felix (Bill Murray), ayah Laura, yang walau sudah lanjut usia, tetap melanjutkan petualangannya sebagai pemain cinta. Menurut Felix, semua pria sama saja: mengutamakan seks sehingga sulit berkomitmen. Felix pun menawarkan bantuannya untuk menguntit Dean, guna membongkar perselingkuhannya.

Dari situlah Coppola membangun film paling playful-nya, lewat aksi investigasi dua tokoh utama, yang melibatkan kebut-kebutan mengendarai Alfa Romeo merah di tengah keramaian jalanan New York, hingga perjalanan dadakan menuju Meksiko. Berkat kegemarannya bepergian ke seluruh penjuru dunia, ditambah kekayaan hasil penjualan barang seni, seolah semua mengenal Felix, yang mana, memudahkannya dalam pengumpulan informasi.

Murray sempurna menjadi sentral naskah Coppola, yang tersusun atas obrolan-obrolan menggelitik penuh teori bernada seksis dari mulut Felix, yang berulang kali menyatakan, bahwa sejak dahulu kala, peran wanita adalah pelayan nafsu pria. Tapi kharisma Murray, yang dengan mudah menghipnotis para wanita, membuat penonton takkan membencinya. Sedangkan Rashida Jones merupakan kutub berlawanan, menjadi sosok penuh insekuritas, yang serupa para wanita di sekitar Felix, terbuai, kemudian memercayai kata-kata “meyakinkan” sang ayah.

Mungkin seperti saya,anda berekspektasi On the Rocks bakal langsung mengonfrontasi seksisme Felix. Nyatanya tidak. Sofia Coppola lebih cerdik dari itu. Dibiarkannya Felix berseloroh, sementara Laura terombang-ambing di antara kekhawatiran. Barulah di paruh akhir, Coppola melontarkan bantahan. Bukan dengan amarah maupun antagonisasi. Semua itu tidak perlu, sebab Coppola membantah sambil membawa bukti nyata, yang menunjukkan betapa pria-pria seperti Felix cuma bisa memandang sesuatu lewat satu sudut pandang.

Tapi tiada kebencian. On the Rocks merupakan perspektif hopeful soal cinta, yang tak menutup mata atas realita terkait seksisme para pria. Orientasinya adalah kebahagiaan. Pertama kita bertemu Felix, ia meminta puterinya bersiul. Laura tak mampu. Tepatnya sejak memiliki anak. Bersiul identik dengan kebahagiaan, atau saat seseorang tengah menikmati sesuatu (baca: hidup). Laura kesulitan menikmati hidup sejak membangun keluarga. Pada akhirnya, ia tak perlu membuang segalanya demi mendapatkan lagi kebahagiaan itu. Karena seperti ucapan Felix dalam salah satu momen paling manis (walau sederhana) filmnya, semua orang punya petualangannya masing-masing.


Available on APPLE TV+

THE BEGUILED (2017)

Sejak pembukanya, The Beguiled, sebagai adaptasi novel A Painted Devil karya Thomas P. Cullinan, memperlihatkan setting rumah besar dengan taman rimbun dihiasi bunga yang terpencil di pinggir hutan. Bagai perwujudan negeri dongeng. Kisahnya pun serupa. Kopral John McBurney (Colin Farrell), prajurit union yang terluka, dirawat oleh murid serta guru sekolah wanita di Virginia. Bagi John, jelas ini mimpi indah. Sementara para wanita dibuat "kasak-kusuk" oleh kemunculan mendadak seorang pria. Untuk kedua belah pihak, bertemu lawan jenis menawan di tengah perang jelas bak dongeng. Bukan mustahil ada asmara merekah.

Sekolah itu dipimpin Martha Farnsworth (Nicole Kidman) yang tegas tapi murah hati, bersedia menolong John yang notabene pihak musuh karena memegang teguh ajaran Katolik untuk berbuat baik. Namun benarkah? John akan dirawat hingga pulih, barulah diserahkan pada pasukan konfederasi. Nyatanya selalu ada alasan memperpanjang masa tinggal sang Kopral, dari kesehatan yang belum sepenuhnya membaik sampai kebutuhan akan tenaga laki-laki guna mengurus taman. Demikian pula wanita lain yang senantiasa mencari dan mencuri kesempatan menemui John, entah Edwina Morrow (Kirsten Dunst) selaku guru di sana, atau si murid, Alicia (Elle Fanning) yang gemar menggoda.
Secara pribadi, genre yang paling sulit saya nikmati adalah period drama, murni disebabkan lebarnya jurang kultural, di mana romantika berasaskan tetek bengek sopan santun merupakan pondasi. Melalui The Beguiled, Sofia Coppola memang tidak mendobrak kemasan luar period drama. Nuansa lembut dalam kecenderungan tempo lambat tetap diutamakan, tapi bukan sekedar langkah mengikuti formula. Sebaliknya, gaya itu sesuai dengan usaha karakter wanitanya menekan gelora untuk mendekati John. Aksi curi-curi pandang dan kesempatan, meski berlangsung subtil, terasa menggelitik sekaligus "nakal".

Tersimpan potensi terkait tuturan pertarungan gender dalam dinamika saling goda John dengan para wanita yang sayangnya kurang dipusatkan oleh Coppola yang memilih mengedepankan seducing drama. Tatkala durasi melewati satu jam, baru unsur "girl power" mengambil alih sentral, membungkus perlawanan Miss Farnsworth beserta murid-muridnya terhadap represi patriarki yang menyentuh ranah perilaku abusive. The Beguiled menyenggol lingkup thriller, seiring mulusnya transisi Colin Farrell dari pria mempesona menjadi sosok buas. 
Elle Fanning, seperti biasa mumpuni sebagai gadis remaja dengan keliaran laku di balik paras anggunnya. Sedangkan para aktris yang lebih senior, Dunst dan Kidman, sebagai dua wanita dewasa yang perlu menjaga sikap, mampu menenggelamkan penonton dalam permainan menyembunyikan hasrat. Dunst memperlihatkan, bahwa makin Edwina coba menyangkal godaan John, makin runtuh pertahanan dirinya. Sebaliknya, Miss Farnsworth yang diperankan Kidman bermain lebih cerdik, menggiring makna-makna tersirat melalui permainan kata sembari kukuh bertahan di balik tebalnya tembok harga diri. 

Visualnya kelas wahid, dengan adegan yang bertempat di kamar John sebagai salah satu highlight perpaduan beragam departemen. Nuansa elegan pada tata kostum rancangan Stacey Battat dibingkai indah dalam sinematografi arahan Philippe Le Sourd yang menyiramkan cahaya terik matahari dari balik gorden putih selaku salah satu bentuk tata dekorasi cantik buatan Amy Beth Silver. The Beguiled nampak layaknya dunia fairy tale, hanya saja kali ini dongeng tersebut tidak seindah khayalan, terhempas oleh realita berupa hasrat dan ego manusia.