THE PEARL BUTTON (2015)

Tidak ada komentar
Sebaris kalimat dari Jacques Cousteau yang berbunyi "We forget that the water cycle and the life cycle are one" cukup menggambarkan betapa air tak bisa dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, bukan saja di tataran sebagai konsumsi sehari-hari, tapi juga menyinggung pengertian lebih mendalam, lebih filosofis. The Pearl Button karya sutradara Patricio Guzman   memenangkan best script pada Berlin International Film Festival 2015  berusaha menjadi eksplorasi puitis seputar kaitan antara siklus air dan berjalannya roda peradaban serta isu sosial khususnya mengenai suku-suku pedalaman di Chile, tatkala modernisasi justru menjauhkan mereka dari alam hingga akhirnya "kepunahan" perlahan mulai menjemput. 

Bait demi bait narasi puitis mengiringi gerak lambat kamera (sering pula statis) yang menangkap mulai dari hamparan samudera hingga bentang luar angkasa. Begitulah cara Guzman menjalankan film, setidaknya selama sekitar 12 menit awal sebelum kemudian bergerak menelusuri riwayat suku Yaghan juga Kaweskar. Overall, The Pearl Button memang mengalun lambat  pace alur dan gerak gambar  ibarat membawa penonton ke awang-awang kontemplasi. Jika anda kurang bisa menikmati dokumenter lambat berisikan alam bermodal pengemasan atmosferik macam Baraka, Samsara atau karya Patricio Guzman lainnya, Nostalgia for the Light besar kemungkinan bakal dirundung kebosanan. Namun bagi penyuka meditational movie, film ini akan terasa mendamaikan.
Bersenjatakan perpaduan ambience suara dan sinematografi memikat karya Katell Dijan, The Pearl Button merupakan arena bagi Patricio Guzman bermain-main di ranah atmosfer melalui media audio-visual. Katell Dijan tidak asal mengeksploitasi keindahan alam lewat rangkaian gambarnya, ia selipkan pula sentuhan keunikan entah menggunakan angle atau slow-motion, alhasil beberapa momen mengundang kesan magical. Dijan pun piawai mencuatkan unsettling feeling  berkebalikan dengan indahnya alam  saat film beberapa kali menampilkan foto-foto lawas para native terlebih sewaktu narasi berfokus pada pembantaian mereka oleh sekelompok pemburu Indian. The Pearl Button seketika bertransformasi dari kedamaian menghipnotis menjadi ketidaknyamanan mimpi buruk.
Tata suara The Pearl Button turut mendapat perhatian lebih, di mana nyaris tak ada satu momen terlewat tanpa iringan suara deburan sungai atau aliran air. Jean-Jacques Quinet selaku sound mixer memperhatikan tiap detail suara, kapan telinga penonton perlu digedor terjangan ombak, kapan pula percikkan air bak bisikan lembut sudah cukup mencuri atensi. Komposisi suara favorit saya muncul sewaktu Claudio Mercado menyenandungkan "nyanyian" yang seolah merefleksikan penyatuan seluruh kehidupan di muka Bumi. Berkat poin ini The Pearl Button mampu menjaga konsistensi suasana. Bukan hal baru di kala suatu dokumenter berusaha memaksimalkan gambar dan suara sebagai alat pembangun atmosfer, namun kesesuaian saling melengkapi antara kedua sisi hingga berujung kuatnya konsistensi jelas hasil spesial yang membutuhkan sensitfitas rasa milik para pembuatnya.

Menilik kekuatan narasinya, Patricio Guzman telah berhasil mengolah konsep filosofisnya, memunculkan jalinan cerita kuat berisi keterikatan penuh makna antara air (in whatever forms) dengan progres hidup manusia. Atensi saya terenggut oleh pola penuturan tersebut karena saya dibuat antusias merangkai kepingan-kepingan puzzle guna mencapai hasil akhir berupa pemahaman akan seberapa jauh siklus air dan hidup saling bersinggungan. Memang ada kekurangan berupa ambisi (terlampau) besar Guzman untuk mengisahkan sebanyak mungkin hal yang akhirnya justru melemahkan potensi masing-masing cerita, tapi itu terasa minor dibandingkan daya pikat lainnya. The Pearl Button sukses mencapai tujuannya, menegaskan bahwa air adalah segalanya, baik sumber kehidupan sampai tempat menyembunyikan kematian.

Tidak ada komentar :

Comment Page: