PM NARENDRA MODI (2019)

6 komentar
Disutradarai oleh Omung Kumar (Sarbjit, Bhoomi) yang menyatakan diri sebagai pengagum Narendra Modi, tidak mengejutkan kala film mengenai Perdana Menteri keempat belas India ini terasa bagai kuil pemujaan. PM Narendra Modi adalah biografi politikus yang didesain layaknya hagiografi. Padahal, di samping cacat tersebut, terselip banyak elemen-elemen menjanjikan.

Prolognya klise, yakni tentang bagaimana ini bukan kisah soal seorang pria, tapi negara. Hampir semua film pengusung nasionalisme menerapkan narasi tersebut. Jadi persiapkan diri melihat situasi cheesy, misalnya saat Modi cilik, dengan senyum penuh kebanggaan, menghormati bendera di tegah jalan.

Kehidupan Narendra Modi (Vivek Oberoi) yang dipresentasikan film ini sebenarnya menarik. Berangkat dari keluarga miskin penjual teh, Modi memilih melakukan selibat dan hidup megembara sebagai pertapa, menjadi aktivis penuh ide cemerlang di RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) untuk meruntuhkan pemerintahan korup, membakar nasionalisme rakyat dengan mendirikan bendera di tengah zona merah, lalu menjadi Ketua Menteri Gujarat.

Dinamika hidup Modi membuat aliran alur lebih kaya dan berwarna. Bahkan gelaran aksi sesekali mengisi, saat serangan teroris serta kerusuhan pecah, termasuk kerusuhan berlandaskan agama di Gujarat tahun 2002, yang merupakan kontroversi terbesar sepanjang karir Modi. Ditulis oleh Vivek Oberoi dan Anirudh Chawla, berdasarkan cerita buatan Sandip Ssingh, naskahnya tahu cara mengubah biografi politikus jadi hiburan bagi kalangan luas. Pergerakan ceritanya mulus, urung terjebak pada pembagian babak-babak kasar yang kerap menjangkit biopic, sementara sinematografi cantik garapan Sunita Radia (Hate Story IV, Baadshaho) bisa mewakili skala filmnya yang cukup besar.

Masalahnya terletak pada penokohan sang protagonis. Digambarkan sebagai politisi jujur pembenci koruptor yang bersedia turun ke lapangan dan bekerja secara nyata untuk membuktikan komitmen selaku pelayan masyarakat, tentu banyak pihak memusuhi Modi. Rekan partainya iri atas popularitas Modi, sedangkan oposisi menempuh segala cara demi menjatuhkannya, dari serangan lewat isu agama hingga mengontrol pemberitaa negatif di televisi (Kok terdengar familiar ya?). Bahkan teroris Pakistan menginginkan nyawanya. Tapi tak sekalipun Modi tersudut.

Dia sedih, terpukul, terkejut, cemas, namun selalu muncul dengan solusi secepat kilat, yang menariknya (baca: anehnya) tak pernah gagal. Bukan saja orang suci yang mengedepankan kemanusiaan dan bersedia mengorbankan nyawa demi negara, rupanya Modi juga sosok jenius. Menurut film ini, Narendra Modi adalah manusia sempurna yang tidak terhentikan. Terlalu sempurna, sampai sulit menganggap serius karakterisasinya, biarpun Oberoi telah berusaha maksimal memerankan figur karismatik yang keras namun berhati mulia. Sebab tokoh yang dia mainkan bukan manusia, tapi karikatur kartun.

Oberoi pun total menghantarkan deretan pidato membara Modi, tapi dampak yang dihasilkan minimum, karena hampir semua kata yang keluar dari mulut sang Perdana Menteri terdengar bak orasi, bahkan ketika ia berbicara dalam situasi privat. PM Narendra Modi berambisi tampil sebesar dan sepenting mungkin, ambisi yang menjadikannya sebuah eksploitasi keagungan. Tapi ada satu momen menyentuh, tepatnya selepas kekacauan di Gujarat, saat umat Islam dan Hindu berkumpul, lalu saling bergandengan tangan. Dramatisasinya berlebihan, tapi hati saya tergerak. Mungkin karena saya memimpikan situasi serupa jadi pemandangan biasa di negeri ini.

Cheesy, tetapi Omung Kumar lebih piawai menangani situasi sederhana macam itu ketimbang pengadeganan berskala besar sebagaimana dipertontonkan klimaksnya, yang menampilkan kenekatan Modi tetap berkampanye di depan jutaan manusia, meski laporan intelijen memperingatkan jika beberapa teroris Pakistan sedang mengincar nyawanya. Ketegangan memudar akibat kebingungan Kumar menentukan perpaduan tepat antara orasi Narendra Modi dan elemen thriller dalam usaha mencari posisi teroris selaku media pembangun intensitas.  

6 komentar :

Comment Page:
Kvinstiono mengatakan...

Bang kl dipikir2 gw suka penasaran bgmn rasanya dirimu nonton semua film dari a - z dari yg kualitas jempolan sampe ecek2, dari yg bernarasi kuat sampai film yg gak niat dibuat. Dan tanpa lu yg nonton semua itu, gak bakalan ada review2 jempolan yg gw baca tiap saat mau nonton, yg membawa gw dan kita semua ke ruang cinema dan keluar dgn senyum lebar dan yg menyelematkan gw dr mengeluarkan uang untuk nonton film yg lu beri 1 2 bintang... I appreciate you dude

Rasyidharry mengatakan...

Heuu terharu bacanya. Thanks a lot, udah mau jadiin tulisan ini referensi nonton. Rasanya gimana ya? Mungkin jadi nggak gampang kaget kalau nemu yang ancur, kayak, "Ah, udah pernah nonton yang lebih parah". Dan masih bersedia nonton yang ancur karena percaya, next time, pasti bakal nonton yang buaagus banget buat jadi obat penawarnya. Dan jadi terlatih apresiasi film. I believe, there's always something good that can pleases us inside a movie (kecuali felem yang parah banget). Makanya termasuk jarang kan kasih review negatif :)

Anna B mengatakan...

Bakal ngereview The Perfection di Netflix ga mas rasyid? Filmnya terinspirasi dari film park Chan Wook, terutama The Handmaiden

Kvinstiono mengatakan...

Serius ini loh bang gw kalo mau ntn wajib dan kudu baca reviewnya bang rasyid dl, biasa malah ngubek2 page yg di belakang sampe film2 absurd macam dogtooth akhirnya saya tonton hahhaha.

Sukses trs bang reviewnya, diseling2 sama film2 keluaran lama bole juga tuh bang, biar nambah file mkv juga d dekstop

Rasyidharry mengatakan...

Hehe kalau film jadul sayangnya udah nggak memungkinkan. Dulu sempet karena zaman kuliah, masih selow 😂

Rasyidharry mengatakan...

Nah belum juga sempet nonton ini. Kemarin niat mau review 'Knock Down the House' tapi ternyata nggak terlalu spesial, jadi batal hehe