DARK PHOENIX (2019)

25 komentar
Simon Kinberg betul-betul memahami X-Men tapi tidak soal penyutradaraan. Kesimpulan itu saya ambil setelah menyaksikan Dark Phoenix, film X-Men kedua dan mungkin terakhir untuk jangka yang lama (Marvel Studios takkan menampilkan para mutan dalam waktu dekat dan pastinya bakal mengeksplorasi cerita lain dahulu) yang mengadaptasi The Dark Phoenix Saga.

Judul-judul X-Men terburuk, dari X-Men Origins: Wolverine, X-Men: Apocalypse dan tentu saja X-Men: The Last Stand, selalu menampilkan misinterpretasi dan/atau penyia-nyiaan karakter. Dark Phoenix berbeda. Filmnya tahu bahwa Charles Xavier (James McAvoy) bukan orang suci, Erik Lehnsherr (Michael Fassbender) (seringkali) merupakan antihero, Scott Summers (Tye Sheridan) adalah jagoan tangguh, sementara entitas Phoenix memberontak bila Jean Grey (Sophie Turner) mengalami ketidakstabilan emosi.

Kinberg pun tidak lupa menggambarkan X-Men selaku tim penuh warna, seperti ditampilkan babak pertama, tatkala mereka melakoni misi luar angkasa guna menyelamatkan para astronot yang pesawatnya rusak akibat energi bak suar matahari. Kinberg memanfaatkan misi tersebut untuk memperlihatkan X-Men bekerja sebagai tim dalam sekuen seru yang pantas dijadikan klimaks.

Saat itulah Jean terpapar pancaran energi misterius tadi, memberinya kekuatan tanpa batas. Menebus kesalahan di The Last Stand, Kinberg kali ini lebih setia kepada materi aslinya dengan menjadikan Phoenix entitas kosmik ketimbang perwujudan kepribadian ganda Jean Grey. Kembali ke Bumi, Jean makin kehilangan kontrol atas kekuatannya, sebelum emosinya meledak begitu mengetahui rasa gelap yang disembunyikan Charles.

Sisi problematik Charles sudah menggaggu Raven (Jennifer Lawrence), yang merasa sang sahabat lama enggan mempedulikan keselamatan murid-muridnya demi kejayaan pribadi. Raven berniat pergi, tapi Hank (Nicholas Hoult) menghalanginya. Charles sendiri tak menyangkal jika ia menikmati diperlakukan layaknya pahlawan dan dibanjiri penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat. Pembaca komiknya tentu tahu jika Charles senantiasa berada di area abu-abu, bahkan melakukan berbagai tindakan yang jauh lebih kejam daripada versi film. Patrick Stewart memerankan Charles tua dengan baik, tapi McAvoy lebih cocok memotret sisi kelam sang tokoh tatkala jiwanya berantakan.

Jean kehilangan kontrol, Charles terobsesi memegang kontrol, dan seolah belum cukup, muncul rintangan baru bagi X-Men, saat ras alien pengubah wujud bernama D’Bari menginvasi demi mengambil alih kekuatan Phoenix. Walau karakternya dangkal, sebagai Vuk sang pemimpin ras D’Bari, Jessica Chastain punya aura tak manusiawi yang misterius, membuatnya paling tidak jadi antagonis yang lebih enak dilihat ketimbang si konyol Apocalypse.

Ketika hampir semua pihak termasuk dirinya sendiri merasa bahwa Jean membawa kehancuran, Vuk sebaliknya, menyampaikan gagasan tentang bagaimana ia adalah sumber kehidupan. Itu dia. Biarpun keseluruhan alurnya kurang solid, dibangun atas rangkaian perdebatan idealisme yang gagal memprovokasi, keberadaan motivasi jelas nan tepat bagi gejolak batin Jean telah membawa Dark Phoenix menyelesaikan misinya selaku remedial untuk The Last Stand.

Lewat naskahnya, Kinberg menunjukkan cara tepat (meski tidak luar biasa) mengadaptasi The Dark Phoenix Saga. Tapi Kinberg “si sutradara debutan” sayangnya tak sepiawai Kinberg si “penulis naskah film buku komik”. Eksekusi adega aksinya acap kali penuh kecanggungan, walau beragam gagasan brilian nampak jelas tersimpan dalam kepalanya.

Salah satu contoh gagasannya terkait kemampuan para mutan di medan pertarungan. Teleportasi Kurt (Kodi Smit-McPhee) terbukti banyak menolong, optic blast milik Scott adalah serangan yang layak ditakuti, kekuatan Phoenix praktis membuat Jean dapat melakukan apa saja, dan Erik adalah sosok badass. Entah saat ia melempar helikopter atau menghancurkan lawan menggunakan kereta, Erik membuktikan bahwa film X-Men tak selalu membutuhkan Wolverine guna menghadirkan aksi keren.

Tapi sekali lagi, banyak di antara gagasan tersebut hanya berhenti sebagai gagasan. Tengok pertempuran di depan rumah Jean. Cara Kinberg memposisikan kamera, mengatur tempo dan mise-en-scène, kerap melucuti sisi epik yang sang sutradara inginkan. Itu pula alasan mengapa suatu peristiwa tragis yang menyusul tak lama kemudian gagal memberi dampak. Peristiwa itu dibangun, terjadi, dan diakhiri secara terburu-buru.

Lemahnya pengadeganan Kinberg kian nyata kala disandingkan dengan musik bombastis Hans Zimmer. Kedua sisi seolah eksis dalam alam yang berbeda sehingga kesulitan saling melengkapi. Gubahan musik Zimmer terdengar mengguncang seperti biasa (pemakaian terletak pada sekuen misi luar angkasa), meski saya menyayangkan ketiadaan Suite, lagu tema ikonik buatan John Ottman.

Filmnya berakhir antiklimaks. Selepas sekuen kereta yang menghibur, Kinberg justru menyajikan pertarungan membosankan nihil tensi dan kreativitas, ketika dua karakter dengan aura berapi-api tampak sibuk saling peluk. Keseluruhan Dark Phoenix pun terkesan mirip. Selaku penutup, film ini jelas jauh dari ideal, namun keengganan mengkhianati sumber adaptasinya adalah sesuatu yang pantas mendapat pujian.

25 komentar :

Comment Page:
aan mengatakan...

Walo bisa dibilang Jean(mutan) superhero terkuat(Capt Marvel bisa babak belur ngadepin Jean...dgn telekinetis dan power segede itu...kereta jd kayak krupuk di 'remas")tp Jean kurang beringas sbg mutan yg kerasukan.malah kesannya banyak keraguan dan masih agak 'sadar'.pdhl perawakan Sophie sudah cukup mrngintimidasi.terlepas dari itu..sekuen di kereta emang keren.

Fajar mengatakan...

Betul juga ya. Pas nonton film ini, rasanya hambar. Tapi ketika disajikan dalam bentuk tulisan di review ini, rasanya megah.

Unknown mengatakan...

Bang gak review film bollywood Bharatnya Salman dan Katrina ?

SALEMBAY mengatakan...

gak sabar liat bang rasyid nangis pas liat toy story 4 karena ceritanya mengetarkan hati, dan pastinya dapet rating 100% di rotten tomatoes.. 😁

Rasyidharry mengatakan...

Itu bagian dari developing sih. Sepanjang film kan memang Jean masih gamang, nggak sepenuhnya bisa kontrol tapi belum dikuasai total juga. Baru lah di akhir "total"

Rasyidharry mengatakan...

Itulah. Di kepala Kinberg ada semua itu konsep keren. Eksekusi yang kurang. Dia sendiri ngakuin kok, terlalu prematur dia turun jadi sutradara

Rasyidharry mengatakan...

Nah ini udah beli tiket tapi mendadak batal karena urusan lain. Semoga besok-besok masih sempet

Rasyidharry mengatakan...

Sial. Sini nonton bareng biar lihat banjir air mata 😂

Satriya Widayanto mengatakan...

Ada post creditsnya atau gak ya?

Vsf mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

komentar mengandung spoiler harap kasih note "Spoiler Alert"
paling atas ya

Andi Suhendar mengatakan...

Hans Zimmer? Katanya bosen ngegubah musik buat film superhero. X-Men ini film superhero juga, kan?

Ilham Qodri mengatakan...

@Andi Suhendar:

Film Wonder Woman 2 nanti Hans Zimmer juga kok yang gubah musiknya

Andi Suhendar mengatakan...

Asal naek bayaran, bosan pun hilang haha

Rasyidharry mengatakan...

Nope. Karena memang udah film terakhir

Rasyidharry mengatakan...

Yoi. Mau ngomong apa kalau duit banjir ya hajaaar haha

oktabor mengatakan...

- Di film inilah akhirnya Beast punya wujud yang paling keren. (di first class mukanya cute)
- Nightcrawler in "evil mode" keren sih. Setelah sebelumnya mukanya kikuk bingung sejak apocalypse.
- Tye sheridan pas banget meranin cyclops.Aura kapten dan jiwa bucinnya cocok banget.

Badminton Battlezone mengatakan...

Baru aja selesai nonton. "SPOILER ALERT".
.
.
.
.
Sedih karakter sepenting dan sekuat Raven hanya mati begitu saja :(. Dan quicksilver hanya seperti tempelan.

Tapi aksi Jane dibabak akhir melawan Vuk cukup kerenn dan layak diapresiasi. Hanya saja feel drama bagusss di film pertama dan kedua,justru hilang magisnya di dark phoenix. Tp overall tetap bisa dinikmati

Rasyidharry mengatakan...

Yah J-Law sama Evan Peters udah terlalu sibuk (dan ogah) sih buat dapet peran signifikan. At least penokohannya bener, nggak kurang ajar macem The Last Stand

XAVIER mengatakan...

Tumben, film superhero komenannya sepi banget bang haha

Rasyidharry mengatakan...

Bukan Marvel Studios atau DC sih 😂

Fajar mengatakan...

Jlaw jadi mystique itu kurang tepat. Mystique itu karakter assassin misterius dan licik bukan tipe leadership penuh inspirasi.
Gimana kalau Jlaw yg jadi jean grey. Trus Vuq bukan antagonis tapi pembawa pesan bahwa ada phoenix mendekati bumi dan bisa menghancurkan planet bumi. Prof. X bilang ke jean untuk berkorban menampung kekuatan phoenix. Nah dari situ konflik mulai berkembang.

Lusiana mengatakan...

Baru nonton semalem, dan ya memang semenjak X-Men direboot lagi agak kaget sama penokohannya si Mystique, apalagi dengan akhir hidup yang (maaf) semudah itu. Menurut w kenapa feel Last Stand lebih megah apalagi pas final battle team Magneto dan X-Men. Dari feelnya Sophie Turner sendiri memang kurang beringas dan entah kenapa dari awal nonton masih kurang rasa simpati ke tokoh utamanya sendiri, walaupun sebenarnya ga niat ngebandingin sama Famke Jenssen. Sempat denger mas katanya Dark Phoenix sendiri sebenarnya mau dibagi jadi 2 part dan ada beberapa naskah yang diubah dari Pihak Studio itu apa benar? Dan w merhatikan ada beberapa scene di trailer tidak muncul di movienya. Serta ngeliat Magneto yang punya potensi jadi Villain super keren tapi melempem di Dark Phoenix.

Rasyidharry mengatakan...

Perubahan pastinya nggak bisa konfirmasi ya, tapi jelas banyak. Salah satu faktornya ya karena "dipaksa" jadi penutup seri setelah dibeli Disney.

Gary Lucass mengatakan...

Sebagai salah satu fans xmen dan juga seri ini mulai jauh kebih dulu dari gempita marvel universe, sedih ngeliat penutup yang ga sebanding ekspektasi (saya menyalahkan disney yg marketing nya brusaha menjual sbagai penutup 20 tahun layaknya endgame) sempat mrasakan ketika days of future past menjadi perbincangan dan bahan diskusi lalu logan yang di puji" lalu berakhir aga hambar seperti ini, semoga di tamgan disney bisa lebih layak krena sejatinya fans xmen itu banyak dan cukup loyal