MISSION MANGAL (2019)

4 komentar
Mengadaptasi lepas dari pelaksanaan Mars Orbiter Mission (MOM) pada 2013 yang menjadikan India sebagai negara Asia pertama yang berhasil mencapai orbit Mars, sekaligus negara pertama di dunia yang sanggup melakukannya pada percobaan perdana, Mission Mangal yang perilisannya bertepatan dengan hari kemerdekaan India sekaligus perayaan 50 tahun berdirinya Indian Space Research Organization (ISRO) yang sama-sama jatuh pada 15 Agustus, membawa penonton mengamati proses di balik layar dari eksekusi misi bersejarah tersebut.

Sudah tentu kontennya kental bernuansa sains, namun Mission Mangal enggan mengalienasi penonton awam lewat teknik pendekatan bak soal cerita, di mana pemahaman didapat dari mengaitkan teori dengan aspek kehidupan sehari-hari.
Karena tergolong awam, saya tak bisa mengonfirmasi akurasi filmnya, namun begitu kisah berakhir, kemungkinan besar anda dapat menjelaskan “5W1H” terkait proses peluncuran roket PSLV-XL C25. Contohnya, dibebani keterbatasan bahan bakar, bagaimana cara menerbangkan roket yang aslinya dibuat untuk ekspedisi ke bulan agar mencapai orbit Mars?

Guru yang buruk bakal memaksa muridnya memahami teori akademis atau rumus fisika tanpa memperhatikan kemampuan atau modal ilmu dasar mereka, yang niscaya cuma menghasilkan sakit kepala. Tapi Mission Mangal adalah guru yang baik. Naskah garapan empat penulis termasuk R. Balki yang tahun lalu menyutradarai Pad Man, mengaitkan problematika itu dengan logika soal penghematan gas dalam memasak roti. Singkat, mudah dipahami, dan penonton tak perlu tersesat dalam upaya memahami formula sains.

Cerita dibuka dengan menunjukkan kekacauan rutinitas pagi hari Tara Shinde (Vidya Balan). Dia mesti menyiapkan sarapan, menghadapi puterinya yang meributkan habisnya pasta gigi, sang suami yang selalu mengeluh, dan putera yang sibuk di depan layar komputer membuat musik. Tapi dia bukan ibu rumah tangga. Tara adalah anggota ISRO. Dua aktivitas yang sekilas bertolak belakang, namun sejatinya saling mengisi. Nantinya, Tara—dan para ilmuwan lain—membuktikan itu saat mencetuskan ide-ide brilian yang terinspirasi dari elemen keseharian, membuat filmnya menarik sekaligus gampang dimengerti.

Tara merupakan anggota tim yang dipimpin Rakesh Dhawan (Akhsay Kumar). Tim ini baru saja mengalami kegagalan akibat kekeliruan analisis Tara, menyebabkan Rakesh “diasingkan” ke program Mars yang kurang mendapat perhatian dari ilmuwan lain. Mengapa? Karena program ini dianggap mustahil.

Merasa bersalah, Tara menawarkan bantuan kepada Rakesh, meyakinkannya bahwa meluncurkan roket ke Mars bukan kemustahilan walau membutuhkan kerja keras dan kesabaran. Benar saja, masalah tak henti menghadang. Selepas diberi lampu hijau, keterbatasan terus saja jadi lawan. Pemerintah menolak menyuntikkan dana bagi program dengan persentase keberhasilan kecil, pun Rakesh dan Tara cuma disediakan anggota yang terdiri dari muda-mudi kurang pengalaman, atau malah karyawan lansia.

Tapi tentu, mengikuti pola from zero to hero, kelak tim itu bakal membuktikan kapasitasnya. Mereka hanya berlian yang belum terasah. Naskahnya pun mampu menangani jajaran ensemble dengan membagi sama rata kesempatan bersinar, kala satu per satu berkesempatan memamerkan keahlian lewat metode-metode kreatif dalam menyelesaikan masalah.

Pujian serupa sayangnya tak bisa diberikan kepada penanganan terhadap deretan subplot dan subteks. Sewaktu pesan “Kejar mimpimu. Mimpi bukan sesuatu yang kamu lihat saat tidur. Mimpi adalah sesuatu yang membuatmu tidak bisa tidur” mampu menambah bobot emosi serta kehangatan—seperti dalam sebuah flashback ketika anggota tim mengingat kali pertama mereka bermimpi menjadi ilmuwan—ada juga kisah setengah matang dalam wujud konflik keluarga Tara, yang awalnya berjalan apik serta kompleks, hanya untuk diakhiri dengan terlampau mudah.

Dan ketika elemen soal perpaduan religi dengan sains berupa proses saling melengkapi atara kekuatan doa dan ilmu pengetahuan jadi suatu selipan segar, Mission Mangal membuang kesempatan mempresentasikan tuturan kuat tentang women’s empowerment. Tidak seutuhnya dikesampingkan, hanya masih “malu-malu”. Fakta bahwa tim mayoritas diisi wanita mengingatkan saya akan Hidden Figures, sayangnya elemen ini kurang diberi sorotan. Silahkan baca kisah sesungguhnya dan anda bakal menemukan perjuangan para wanita yang lebih luar biasa.

Meninjau segi teknis, pencapaian Mission Mangal jelas tidak bisa dipandang remeh, termasuk CGI solid dalam membungkus peluncuran roket. Biarpun klimaksnya agak goyah dan terasa kosong dibanding babak-babak sebelumnya akibat Jagan Shakti selaku sutradara cenderung menitikberatkan pada pemanangan digital (layar komputer, satelit yang mengorbit) ketimbang aspek humanis, keeluruhan, Mission Mangal tetap suguhan dengan hati. Tidak banyak tontonan dengan kadar sains kental mampu menampilkan proses di balik layar dengan lumayan komplet sembari menjadi hiburan yang gampang diakses segala kalangan.

4 komentar :

Comment Page:
Kus Edi mengatakan...

Mas Rasyid, nobton film yg ini di manakah..?
Trims. 🙏

Rasyidharry mengatakan...

Di bioskop, tapi emang seperti biasa, tayang terbatas

Kus Edi mengatakan...

Wah iya.. tadi sempat buka page XXI Jakarta rupanya tayang di 2 sinema.
Surabaya gak berani tayang ini.. sayang, sy penggemar sci-fi.
Mungkin karena pangsa market film Hindi kecil di sini.

Rasyidharry mengatakan...

Iya sayang banget. Selalu terbatas kecuali film-film SRK atau mega blockbuster. Padahal banyak yang bagus