WEDDING AGREEMENT (2019)

10 komentar
Apakah dunia lebih baik tanpa agama? Saya ragu, tapi untuk film ini, dengan mantap saya menjawab, “YA!”. Wedding Agreement  adalah romansa bernyawa yang jadi bermasalah akibat perspektif agama—yang kebenaran interpretasinya pun layak diperdebatkan—yang tampak kolot pada era sekarang, di mana kesadaran akan isu gender serta kesejahteraan dalam pernikahan.

Premisnya sendiri memancing setumpuk pertanyaan. Alkisah, Bian (Refal Hady) dan Tari (Indah Permatasari) terpaksa menjalani proses perjodohan. Ketika Tari ikhlas menerima dan berusaha menjadi istri sebaik mungkin, Bian justru menawarkan perjanjian berisi persetujuan bahwa keduanya akan bercerai setelah setahun. Alasan utamanya, ia masih mencintai mantan tunangannya, Sarah (Aghniny Haque).

Apakah Tari coba menyelamatkan pernikahan ini karena sungguh mencintai Bian atau sekadar obligasi? Mengapa Bian tak menikahi Sarah? Apakah Sarah bukan wanita baik? Jawaban bagi deretan pertanyaan itu sifatnya signifikan guna menentukan apakah sudut pandang film ini meresahkan atau tidak. Bukan hanya soal setuju atau tidak setuju, tapi perihal tanggung jawab sebuah film terhadap target pasarnya.

Apabila Tari memang mencintai sang suami, maka perjuangannya patut didukung, sebab bukan bentuk pemenuhan kewajiban istri sebagai “pelayan suami”. Apalagi jika ternyata Sarah punya keburukan yang sukar ditoleransi, yang gagal Bian lihat akibat dibutakan cinta. Kalau memang demikian, perjodohan dua karakterya masih pantas dijustifikasi. Saya tak bisa membocorkan semua jawabannya secara detail, kecuali bahwa saya gagal dibuat memihak Wedding Agreement sepenuhnya.

Ada dua pernyataan berbahaya terkait religiusitas di sini. Pertama, bahwa perceraian dipicu oleh bisikan setan. Saya tidak sedang mendukung perceraian, namun di beberapa kasus, itu memang diperlukan, khususnya dalam lingkup target pasar Wedding Agreement, di mana kuku patriarki masih kuat menancapkan kekuasaan dan kerap menghasilkan pernikahan abusive. Berbahaya jika seorang istri dalam kondisi pernikahan tersebut menonton film ini, dan nekat bertahan demi menghindari tudingan “teman setan”.

Kedua, tatkala Bian bebas pergi sesuka hati tanpa pamit dan segalanya baik-baik saja, tetapi tatkala Tari melakukan itu, perjalanannya berantakan, seolah Tuhan turun tangan melempar azab. Mau sampai kapan istri-istri Indonesia beranjak dari status “bawahan suami” kalau persepsi seperti ini masih diagungkan? Bukan sepenuhnya kekeliruan Archie Hekagery (Lo Gue End) selaku sutradara sekaligus penulis naskah, mengingat ini merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Mia Chuz yang turut terjun menulis naskah bersamanya.

Biar begitu, berbeda dibanding mayoritas film religi lain, fakta-fakta di atas tak memancing amarah. Saya justru sedih, karena di luar persoalan itu, Wedding Agreement adalah sajian romansa memikat. Buktinya, meski dihadapkan pada banyak elemen problematik, saya tetap mendukung bersatunya Tari dan Bian.

Interaksi keduanya hidup, utamanya berkat chemistry solid Indah dan Refal. Begitu mereka mulai menjalani masa-masa bahagia, lalu sama-sama tersenyum, saya bisa merasakan cinta. Sebuah cinta yang hangat. Terlebih Indah, lewat aksi olah rasa mumpuni yang seketika merenggut perasaan, otomatis membuat saya berharap Tari memperoleh keinginannya. Indah bagai perwujudan kebaikan hati, yang menjadikan perubahan sikap Bian bisa dipercaya.

Penampilan Aghniny Haque juga jadi faktor penentu agar penonton semakin mendukung Tari. Bukan karena ia berakting luar biasa, sebaliknya, begitu buruk performa Aghniny, berat rasanya merelakan Bian berakhir menikahi Sarah. Seolah sang aktris melakukan pengambilan gambar sambil membaca naskah dengan pikiran kosong. Bahkan Ria Ricis sebagai Ami, sahabat Tari, yang tampil mengolok-olok personanya selaku YouTuber, jauh lebih nyaman disaksikan.

Rasa milik Wedding Agreement menguat, berkat pemahaman Archie perihal memunculkan rasa manis bahkan kesan magis kala jatuh cinta, dalam pengadeganannya. Berbekal ketepatan bermain tempo plus musik gubahan Andhika Triyadi (Warkop DKI Reborn, Dilan 1990, My Stupid Boss 2), momen kala kedua protagonis akhirnya sungguh-sungguh “berbagi kamar” terasa indah nan sakral. Begitu pula klimaksnya, yang secara cerdik mengiklankan MRT sebagai pilihan transformasi penangkal macet. Saya tidak merasa Wedding Agreement harus melucuti seluruh elemen agamanya, tapi menambahkan humanisme niscaya bakal membuat kualitasnya melambung.  

10 komentar :

Comment Page:
aryo mengatakan...

Premisnya buat saya ga menarik blass

Yolana mengatakan...

Berarti sebab kenapa bian tak bisa menikahi sarah tak dijelaskan ya mas? Kalo di novel sih ada... Padahal bagian penting itu.

Rasyidharry mengatakan...

Dijelasin kok. Karena ibunya nggak setuju kan? Dan karena ibunya kanker. Tapi kenapa ibunya nggak setuju? Ada hal jelek apa di Sarah? Kalau nggak ada ya nggak bisa dikustifikasi.

Panca mengatakan...

Gregetan sama aktingnya Sarah yg kayak di hipnotis karena suka pasang tatapan kosong dan kurang natural sebagai orang ketiga. Filmnya dari awal udah kebaca tapi tetap worth it buat ditonton.

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Apakah ini mirip film2 religi di Indosiar produksi MKF demenan emak ane bang?

Jackman mengatakan...

Kalau saya sih suka banget sama filmnya
Walau sekilas premis nya seperti FTV
Tapi penggarapan adegannya bagus dan menarik
Bikin senyum2
Cuma endingnya aja yang kurang bombastis
Lebih baper nonton film ini ketimbang Dilan yang malah bikin kesel
Hehehe...

Rasyidharry mengatakan...

Ya jauh bagusan ini dong 😁

Rasyidharry mengatakan...

Oh iya, kalau urusan drama-romance emang bagus ini. Punya rasa. Religinya yang agak-agak

walfara mengatakan...

Justru adegan masuk kamar itu bang yg bikin saya kerut. Kok tari mau2nya gitu sblm ada kepastian bian bakal milih siapa. Toh agreementnya juga masih berjalan kan.

inikah? mengatakan...

Bagus filmnya. Ada unsur religi dan positif. Di saat banyak film yang nilainya kurang atau sekedar komedi garing