REVIEW - PESAN DI BALIK AWAN
Di antara tiga film Indonesia yang rilis 20 Agustus, Pesan di Balik Awan tampak paling kurang menarik. Paling klise. Walau perihal keklisean itu memang benar, romansa karya sutradara Dyan Sunu Prastowo (termasuk film ini, telah menelurkan tiga judul sepanjang 2021, yang semua tayang eksklusif di Klik Film) ini rupanya merupakan yang terbaik. Setidaknya paling layak tonton.
Pada mayoritas genre, kekurangan dalam penyutradaraan, naskah, dan lain-lain, sangat sulit (bisa juga mustahil) diselamatkan oleh cast. Tapi romansa lain cerita. Karena esensi dasarnya mengenai kisah cinta dua orang atau lebih. Selama penonton percaya karakternya saling mencintai, lalu mencintai mereka, berharap mereka bisa bersatu, segala kelemahan bisa dimaafkan.
Hanggini dan Refal Hady memenuhi syarat-syarat di atas. Hanggini, yang menegaskan bahwa 2021 jadi tahun breakout-nya, memerankan Kirana, yang putus dari pacarnya, Daffin (Thomas Sparringa), tepat di hari jadi mereka. Di tengah kesedihannya, Kirana menerima tantangan sang kakak, Binar (senang melihat Girindra Kara kembali sejak Ok-Jek), untuk sejenak melangkah dari zona nyaman penuh keteraturan.
Kirana menerbangkan balon berisi pesan. Jika jatuh ke tangan perempuan, akan ia jadikan sahabat, sementara kalau laki-laki, bakal menjadi kekasih. Selang dua hari, muncul email dari Awan (Refal Hady), si penerima balon. Keduanya sepakat melakukan tiga kali kencan, guna mencari tahu apakah mereka memang berjodoh. Salah satu kencannya berupa kunjungan ke rumah nenek Kirana, yang diperankan Djenar Maesa Ayu, dalam sebuah penampilan singkat namun berkesan.
Sekali lagi, memang klise. Kita tahu di mana kisahnya bermuara, kita tahu Kirana yang awalnya ragu akhirnya akan jatuh hati, kita tahu second act-nya ditutup oleh sebuah "obligatory break-up". Pun menyaksikan cara Dyan Sunu Prastowo mengarahkan filmnya (termasuk soal scoring manis dan/atau mengharu biru formulaik yang langsung terdengar tiap mencapai momen dramatis), pasti banyak penonton berujar, "FTV banget".
Tidak salah, namun sekali lagi, Hanggini dan Refal Hady menciptakan dua sosok yang mencuri hati, baik sebagai individu atau pasangan. Hanggini dengan pendekatan naturalnya, Refal yang berkarisma, memberi dinamika manis, dalam romansa tentang sepasang manusia yang berusaha keluar dari zona nyaman, baik untuk diri sendiri maupun pasangannya. Mereka memikat, bahkan saat beberapa dialog sukar didengar. Terkadang akibat buruknya tata suara, terkadang karena penempatan scoring dan lagu yang kurang tepat.
Pesan di Balik Awan hanya berdurasi sekitar 73 menit. Pendek, klise dan tak menawarkan perspektif baru, tapi ringan sekaligus manis. Menonton di bioskop butuh mengeluarkan uang serta tenaga yang tidak sedikit. Lain cerita untuk film di layanan streaming (apalagi yang berbiaya murah). Kadang kita mencari tontonan sekadar demi menghabiskan sedikit waktu, bersantai, atau menemani makan. Pesan di Balik Awan cocok untuk hal-hal tersebut.
Available on KLIK FILM
REVIEW - A PERFECT FIT
Pertemuan tak sengaja yang diawali oleh ramalan, percintaan yang terhalang takdir dan kehendak keluarga, sosok orang ketiga yang jauh lebih baik dari sang kekasih, semua adalah formula pokok, bahkan bisa disebut klise, dalam kisah romansa. Tokoh utama A Perfect Fit pun menyadari, nasibnya serupa dengan keklisean film.
Kata "klise" memang jarang disebut bersamaan dengan nama Garin Nugroho, yang menulis naskah A Perfect Fit, sementara Hadrah Daeng Ratu menjadi sutradara. Tapi patut diingat, belum lama ini Garin juga menulis naskah untuk 99 Nama Cinta (2019) buatan Danial Rifki. Sebuah film religi pop, yang menghadirkan sudut pandang berbeda, pula jauh lebih baik bila dibanding rekan-rekan sejawatnya. Mungkinkah A Perfect Fit bernasib sama?
Mengambil latar Bali yang identik dengan spiritualitas, Garin berupaya menautkan romansanya ke elemen tersebut. Bagaimana pertemuan dua insan merupakan wujud restu semesta, lalu sebaliknya, perpisahan (disebabkan ketidakcocokan weton misalnya) terjadi karena alam tidak mendukung. Sehingga saat Saski (Nadya Arina) diramal bakal menemukan "jalan baru" oleh Bu Hadrah (Christine Hakim), ramalan itu dimaknai sebagai perwakilan suara semesta.
Alhasil, sewaktu Saski berhenti di sebuah toko sepatu, sementara kamera menyorot sajen yang terletak di depannya, itu nampak bak kehendak alam, bukan kebetulan biasa. Kebetulan, Saski memerlukan sepatu baru guna menghadiri perayaan ulang tahun pacarnya, Deni (Giorgino Abraham). Rio (Refal Hady) selaku pemilik toko memilihkan sepasang sepatu, beralasan bahwa sepatu itu "sesuai dengan karakter Saski". Kenapa? Sayangnya tidak dijelaskan. Padahal penjabaran terkaitnya, akan memperkuat pemaknaan soal "a perfect fit".
Bisa ditebak, Saski dan Rio saling jatuh cinta, di saat sebenarnya, mereka telah "ditakdirkan" untuk bersama orang lain. Saski dan Deni telah bertunangan, pun Rio hendak dijodohkan dengan teman lamanya, seorang pebisnis sukses bernama Tiara (Anggika Bolsterli). Kita pun diajak menghabiskan paruh pertama, menyaksikan berkembangnya hubungan "terlarang" Saski dan Rio yang mulai diam-diam bertemu.
Apa yang menyenangkan dari A Perfect Fit (yang membuatnya bisa disebut "A Perfect Flirt) adalah aktivitas saling goda dua tokoh utama. Dua manusia yang sudah mengetahui perasaan satu sama lain, namun karena menyadari bahwa rasa itu tidak semestinya tumbuh, alih-alih mengutarakannya secara gamblang, mereka cuma saling melempar "tanda". Tidak hanya percintaan manis, sexual tension (salah satu ciri khas Garin) pun tersirat di antara mereka. That's what a fun affair feels like in real life.
Refal Hady makin berkarisma, memudahkan kita mendukung kemenangannya, pula mampu mengatasi beberapa rayuan gombal "puitis" yang tak jarang terdengar menggelikan (satu lagi ciri khas Garin, namun kali ini terasa tidak cocok diterapkan di sini). Sedangkan penampilan loveable Nadya Arina membuat saya berharap suatu hari ia mendapat peran di film komedi romantis. Sebelumnya ia pernah bermain di Love Reborn (2018), namun karakternya di situ cenderung serius. Begitu kuat dan menyenangkan chemistry Refal-Nadya, filmnya mengalami penurunan kualitas kala keduanya lebih sering berpisah di paruh kedua.
Proses pertunangan mereka terus berjalan, yang semestinya menambah dilema, tapi sayangnya A Perfect Fit terjebak dalam keklisean, di mana lawan asmara tokoh utama digambarkan sebagai antagonis. Beni adalah anak orang kaya sombong nan manja, pun Tiara merupakan bos yang semena-mena. Sebuah simplifikasi, yang membuat second act-nya melelahkan, sebab selain sudah mengetahui hasilnya, penonton tidak perlu terjebak dalam dilema dua protagonis. Kita tidak perlu ikut repot menentukan pilihan.
Mungkin Garin ingin menyelipkan kritik terhadap kekejaman kapitalisme yang diusung pengusaha rakus, yang mana sah saja, tapi mengapa mesti keduanya diberi penokohan tersebut? Khususnya Tiara, apalagi saat akhirnya kita diajak bersimpati padanya. Tanpa menjadikannya pengusaha keji, itu akan sepenuhnya berhasil, sebab Anggika Bolsterli, setelah absen hampir dua tahun (terakhir muncul di Eggnoid yang rilis Desember 2019), membuktikan bahwa ia masih pantas berada di jajaran aktris muda papan atas lewat kapasitasnya bermain emosi.
Kekurangan-kekurangan A Perfect Fit memang terkumpul di babak keduanya. Di penulisan, ada inkonsistensi terkait pesan, ketika di satu sisi Garin seolah ingin mengkritik seksisme dalam praktik pengecekan keperawanan di malam pertama, namun di sisi lain, malah memunculkan kalimat mengenai "perempuan harus menerima kodratnya". Di penyutradaraan, Hadrah yang karirnya mengkhawatirkan pasca membesut horor-horor produksi Baginda KKD, membuktikan masih punya sensitivitas menangani romantisme. Meski pada sebuah momen, gayanya terasa kurang cocok menerjemahkan naskah khas Garin.
Adegan yang dimaksud adalah sewaktu ibu Saski (Ayu Laksmi) yang mengalami sakit parah, melakukan gerakan pernapasan, sementara suaminya (I Made Sidia) membaca mantra/doa. Jika ditangani sendiri oleh Garin, kemungkinan besar musik tradisional bakal digunakan. Hadrah memakai orkestra mendayu, yang justru melucuti spiritualitas adegannya. Beruntung, setelah deretan kelemahan-kelemahan di atas, A Perfect Fit mampu menutup penceritaan secara romantis, lagi-lagi berkat kombinasi manis Refal Hady dan Nadya Arina.
Available on NETFLIX
REVIEW - TARIAN LENGGER MAUT
Pernahkah kalian merasa kesal, karena saat ulang tahun, pacar/gebetan terus menebar sinyal-sinyal bakal menghadiahkan kejutan luar biasa, namun ujungnya tidak terjadi apa-apa? Begitulah rasanya menonton Tarian Lengger Maut, yang sepanjang durasi menyiratkan "payoff besar", tapi akhirnya tak memberi apa pun.
Bukankah kalau demikian kesalahan terletak pada ekspektasi penonton, akibat mengharapkan sesuatu yang memang tidak berniat film itu beri? Kasusnya berbeda. Tarian Lengger Maut jelas secara sengaja menggiring ekspektasi penonton ke satu arah, lalu mengkhianatinya. Bahkan bagaimana pun anda memasang ekspektasi, filmnya tetap mengecewakan, sebab tak menawarkan payoff sedikitpun. Padahal tersimpan segunung potensi di sini. Tarian Lengger Maut berpotensi jadi salah satu horor lokal terbaik sekaligus menyegarkan dalam beberapa tahun terakhir, sebelum menghancurkannya sendiri.
Di awal, kita melihat dr. Jati (Refal Hady dengan wig yang kadang meyakinkan, tapi lebih sering menggelikan), yang baru ditugaskan di Desa Pagar Alas, tengah mengoperasi pasien. Bukan operasi biasa, karena dia adalah seorang dokter pembunuh, yang menculik warga desa guna diambil jantungnya hidup-hidup. Sementara itu, kembang desa bernama Sukma (Della Dartyan) sedang dalam proses menjadi penari lengger. Keduanya kerap berpapasan, jantung dr. Jati berdegup kencang, sementara Sukma menatap penuh tanda tanya. Ada apa?
Ya, "Ada apa di antara mereka?" merupakan pertanyaan yang menyelimuti, dipakai oleh naskah buatan Natalia Oetama sebagai pondasi misteri terbesar. Dar situ bibit-bibit potensi mulai tumbuh. Tarian Lengger Maut dapat menjadi banyak hal, sebutlah eksplorasi mistisisme Indonesia, studi psikologis mengenai trauma dan psikopatologi, atau kalau mau mengambil pendekatan lebih ringan, membenturkan elemen slasher dengan horor supernatural pun bisa dilakukan.
Tidak satu pun (berhasil) dilakukan.
Lupakan sejenak kesan menipu yang muncul dari judulnya (benar ada "tarian lengger", dan "maut" banyak menimpa karakternya, tapi menyatukannya, sama saja seperti humor "manusia kepala rusa" milik Warkop DKI). Kegagalan Tarian Lengger Maut menyuguhkan kengerian sebagai horor, maupun ketegangan sebagai thriller, jauh lebih meresahkan.
Durasi yang cuma sekitar 71 menit bukan melahirkan tontonan padat dengan dinamika terjaga, malah mengesankan film ini diproduksi menggunakan naskah draft pertama, yang bahkan belum selesai ditulis. Segelintir flashback ala kadarnya mengenai masa lalu dr. Jati tak memperkaya karakternya, alhasil menyulitkan penonton memahami motivasinya, apalagi bersimpati. Penampilan Refal Hady yang lebih berfokus pada merendahkan suaranya pun tidak membantu, walau memang mustahil bagi aktor mana pun menghidupkan naskah sedangkal ini.
Bagaimana soal misteri di balik hubungan dua protagonis? Mungkin naskahnya hendak menyampaikan perihal kompleksitas hati sosok pembunuh berdarah dingin, khususnya bagaimana ia menangani perasaan jatuh cinta. Tapi akibat naskah dangkal, ketimbang thought-provoking, kesan konyol justru lebih dominan. Apa pula guna tease mengenai mistis tari lengger, lewat beberapa shot misterius atau obrolan singkat tokoh-tokohnya? Tarian Della Dartyan cukup menghipnotis, yang merupakan salah satu kelebihan filmnya selain beberapa elemen artistik (pemakaian warna merah di adegan tari jelang klimaks punya hawa mistis yang kuat), walau kembali lagi, naskahnya menyia-nyiakan kapasitas sang aktirs.
Teror macam apa yang coba dibangun Yongki Ongestu melalui debutnya di kursi sutradara ini? Sebagai catatan, mustahil membangun horor/thriller psikologis memakai naskah lemah. Deretan pembedahan yang dr. Jati lakukan juga tampil jinak (demi menghindari sensor, sehingga bisa dimaklumi), jadi gore bukanlah pilihan.
Sebenarnya terdapat peluang membangun teror berdasarkan histeria massa. Sesekali kita mengunjungi warung kopi, mendengarkan keresahan warga akibat meningkatnya kasus orang hilang. Sayangnya momen ini sebatas numpang lewat. Belum lagi timbul pertanyaan. Jika sudah begitu banyak warga hilang, kenapa para polisi tidak mengusutnya? Menulis naskah yang solid memang sulit, kawan.