Tampilkan postingan dengan label Refal Hady. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refal Hady. Tampilkan semua postingan

REVIEW - PESAN DI BALIK AWAN

Di antara tiga film Indonesia yang rilis 20 Agustus, Pesan di Balik Awan tampak paling kurang menarik. Paling klise. Walau perihal keklisean itu memang benar, romansa karya sutradara Dyan Sunu Prastowo (termasuk film ini, telah menelurkan tiga judul sepanjang 2021, yang semua tayang eksklusif di Klik Film) ini rupanya merupakan yang terbaik. Setidaknya paling layak tonton. 

Pada mayoritas genre, kekurangan dalam penyutradaraan, naskah, dan lain-lain, sangat sulit (bisa juga mustahil) diselamatkan oleh cast. Tapi romansa lain cerita. Karena esensi dasarnya mengenai kisah cinta dua orang atau lebih. Selama penonton percaya karakternya saling mencintai, lalu mencintai mereka, berharap mereka bisa bersatu, segala kelemahan bisa dimaafkan.

Hanggini dan Refal Hady memenuhi syarat-syarat di atas. Hanggini, yang menegaskan bahwa 2021 jadi tahun breakout-nya, memerankan Kirana, yang putus dari pacarnya, Daffin (Thomas Sparringa), tepat di hari jadi mereka. Di tengah kesedihannya, Kirana menerima tantangan sang kakak, Binar (senang melihat Girindra Kara kembali sejak Ok-Jek), untuk sejenak melangkah dari zona nyaman penuh keteraturan. 

Kirana menerbangkan balon berisi pesan. Jika jatuh ke tangan perempuan, akan ia jadikan sahabat, sementara kalau laki-laki, bakal menjadi kekasih. Selang dua hari, muncul email dari Awan (Refal Hady), si penerima balon. Keduanya sepakat melakukan tiga kali kencan, guna mencari tahu apakah mereka memang berjodoh. Salah satu kencannya berupa kunjungan ke rumah nenek Kirana, yang diperankan Djenar Maesa Ayu, dalam sebuah penampilan singkat namun berkesan. 

Sekali lagi, memang klise. Kita tahu di mana kisahnya bermuara, kita tahu Kirana yang awalnya ragu akhirnya akan jatuh hati, kita tahu second act-nya ditutup oleh sebuah "obligatory break-up". Pun menyaksikan cara Dyan Sunu Prastowo mengarahkan filmnya (termasuk soal scoring manis dan/atau mengharu biru formulaik yang langsung terdengar tiap mencapai momen dramatis), pasti banyak penonton berujar, "FTV banget". 

Tidak salah, namun sekali lagi, Hanggini dan Refal Hady menciptakan dua sosok yang mencuri hati, baik sebagai individu atau pasangan. Hanggini dengan pendekatan naturalnya, Refal yang berkarisma, memberi dinamika manis, dalam romansa tentang sepasang manusia yang berusaha keluar dari zona nyaman, baik untuk diri sendiri maupun pasangannya. Mereka memikat, bahkan saat beberapa dialog sukar didengar. Terkadang akibat buruknya tata suara, terkadang karena penempatan scoring dan lagu yang kurang tepat.

Pesan di Balik Awan hanya berdurasi sekitar 73 menit. Pendek, klise dan tak menawarkan perspektif baru, tapi ringan sekaligus manis. Menonton di bioskop butuh mengeluarkan uang serta tenaga yang tidak sedikit. Lain cerita untuk film di layanan streaming (apalagi yang berbiaya murah). Kadang kita mencari tontonan sekadar demi menghabiskan sedikit waktu, bersantai, atau menemani makan. Pesan di Balik Awan cocok untuk hal-hal tersebut. 


Available on KLIK FILM

REVIEW - A PERFECT FIT

Pertemuan tak sengaja yang diawali oleh ramalan, percintaan yang terhalang takdir dan kehendak keluarga, sosok orang ketiga yang jauh lebih baik dari sang kekasih, semua adalah formula pokok, bahkan bisa disebut klise, dalam kisah romansa. Tokoh utama A Perfect Fit pun menyadari, nasibnya serupa dengan keklisean film. 

Kata "klise" memang jarang disebut bersamaan dengan nama Garin Nugroho, yang menulis naskah A Perfect Fit, sementara Hadrah Daeng Ratu menjadi sutradara. Tapi patut diingat, belum lama ini Garin juga menulis naskah untuk 99 Nama Cinta (2019) buatan Danial Rifki. Sebuah film religi pop, yang menghadirkan sudut pandang berbeda, pula jauh lebih baik bila dibanding rekan-rekan sejawatnya. Mungkinkah A Perfect Fit bernasib sama?

Mengambil latar Bali yang identik dengan spiritualitas, Garin berupaya menautkan romansanya ke elemen tersebut. Bagaimana pertemuan dua insan merupakan wujud restu semesta, lalu sebaliknya, perpisahan (disebabkan ketidakcocokan weton misalnya) terjadi karena alam tidak mendukung. Sehingga saat Saski (Nadya Arina) diramal bakal menemukan "jalan baru" oleh Bu Hadrah (Christine Hakim), ramalan itu dimaknai sebagai perwakilan suara semesta.

Alhasil, sewaktu Saski berhenti di sebuah toko sepatu, sementara kamera menyorot sajen yang terletak di depannya, itu nampak bak kehendak alam, bukan kebetulan biasa. Kebetulan, Saski memerlukan sepatu baru guna menghadiri perayaan ulang tahun pacarnya, Deni (Giorgino Abraham). Rio (Refal Hady) selaku pemilik toko memilihkan sepasang sepatu, beralasan bahwa sepatu itu "sesuai dengan karakter Saski". Kenapa? Sayangnya tidak dijelaskan. Padahal penjabaran terkaitnya, akan memperkuat pemaknaan soal "a perfect fit".

Bisa ditebak, Saski dan Rio saling jatuh cinta, di saat sebenarnya, mereka telah "ditakdirkan" untuk bersama orang lain. Saski dan Deni telah bertunangan, pun Rio hendak dijodohkan dengan teman lamanya, seorang pebisnis sukses bernama Tiara (Anggika Bolsterli). Kita pun diajak menghabiskan paruh pertama, menyaksikan berkembangnya hubungan "terlarang" Saski dan Rio yang mulai diam-diam bertemu.

Apa yang menyenangkan dari A Perfect Fit (yang membuatnya bisa disebut "A Perfect Flirt) adalah aktivitas saling goda dua tokoh utama. Dua manusia yang sudah mengetahui perasaan satu sama lain, namun karena menyadari bahwa rasa itu tidak semestinya tumbuh, alih-alih mengutarakannya secara gamblang, mereka cuma saling melempar "tanda". Tidak hanya percintaan manis, sexual tension (salah satu ciri khas Garin) pun tersirat di antara mereka. That's what a fun affair feels like in real life. 

Refal Hady makin berkarisma, memudahkan kita mendukung kemenangannya, pula mampu mengatasi beberapa rayuan gombal "puitis" yang tak jarang terdengar menggelikan (satu lagi ciri khas Garin, namun kali ini terasa tidak cocok diterapkan di sini). Sedangkan penampilan loveable Nadya Arina membuat saya berharap suatu hari ia mendapat peran di film komedi romantis. Sebelumnya ia pernah bermain di Love Reborn (2018), namun karakternya di situ cenderung serius. Begitu kuat dan menyenangkan chemistry Refal-Nadya, filmnya mengalami penurunan kualitas kala keduanya lebih sering berpisah di paruh kedua.

Proses pertunangan mereka terus berjalan, yang semestinya menambah dilema, tapi sayangnya A Perfect Fit terjebak dalam keklisean, di mana lawan asmara tokoh utama digambarkan sebagai antagonis. Beni adalah anak orang kaya sombong nan manja, pun Tiara merupakan bos yang semena-mena. Sebuah simplifikasi, yang membuat second act-nya melelahkan, sebab selain sudah mengetahui hasilnya, penonton tidak perlu terjebak dalam dilema dua protagonis. Kita tidak perlu ikut repot menentukan pilihan. 

Mungkin Garin ingin menyelipkan kritik terhadap kekejaman kapitalisme yang diusung pengusaha rakus, yang mana sah saja, tapi mengapa mesti keduanya diberi penokohan tersebut? Khususnya Tiara, apalagi saat akhirnya kita diajak bersimpati padanya. Tanpa menjadikannya pengusaha keji, itu akan sepenuhnya berhasil, sebab Anggika Bolsterli, setelah absen hampir dua tahun (terakhir muncul di Eggnoid yang rilis Desember 2019), membuktikan bahwa ia masih pantas berada di jajaran aktris muda papan atas lewat kapasitasnya bermain emosi.

Kekurangan-kekurangan A Perfect Fit memang terkumpul di babak keduanya. Di penulisan, ada inkonsistensi terkait pesan, ketika di satu sisi Garin seolah ingin mengkritik seksisme dalam praktik pengecekan keperawanan di malam pertama, namun di sisi lain, malah memunculkan kalimat mengenai "perempuan harus menerima kodratnya". Di penyutradaraan, Hadrah yang karirnya mengkhawatirkan pasca membesut horor-horor produksi Baginda KKD, membuktikan masih punya sensitivitas menangani romantisme. Meski pada sebuah momen, gayanya terasa kurang cocok menerjemahkan naskah khas Garin. 

Adegan yang dimaksud adalah sewaktu ibu Saski (Ayu Laksmi) yang mengalami sakit parah, melakukan gerakan pernapasan, sementara suaminya (I Made Sidia) membaca mantra/doa. Jika ditangani sendiri oleh Garin, kemungkinan besar musik tradisional bakal digunakan. Hadrah memakai orkestra mendayu, yang justru melucuti spiritualitas adegannya. Beruntung, setelah deretan kelemahan-kelemahan di atas, A Perfect Fit mampu menutup penceritaan secara romantis, lagi-lagi berkat kombinasi manis Refal Hady dan Nadya Arina. 


Available on NETFLIX

REVIEW - TARIAN LENGGER MAUT

Pernahkah kalian merasa kesal, karena saat ulang tahun, pacar/gebetan terus menebar sinyal-sinyal bakal menghadiahkan kejutan luar biasa, namun ujungnya tidak terjadi apa-apa? Begitulah rasanya menonton Tarian Lengger Maut, yang sepanjang durasi menyiratkan "payoff besar", tapi akhirnya tak memberi apa pun. 

Bukankah kalau demikian kesalahan terletak pada ekspektasi penonton, akibat mengharapkan sesuatu yang memang tidak berniat film itu beri? Kasusnya berbeda. Tarian Lengger Maut jelas secara sengaja menggiring ekspektasi penonton ke satu arah, lalu mengkhianatinya. Bahkan bagaimana pun anda memasang ekspektasi, filmnya tetap mengecewakan, sebab tak menawarkan payoff sedikitpun. Padahal tersimpan segunung potensi di sini. Tarian Lengger Maut berpotensi jadi salah satu horor lokal terbaik sekaligus menyegarkan dalam beberapa tahun terakhir, sebelum menghancurkannya sendiri.

Di awal, kita melihat dr. Jati (Refal Hady dengan wig yang kadang meyakinkan, tapi lebih sering menggelikan), yang baru ditugaskan di Desa Pagar Alas, tengah mengoperasi pasien. Bukan operasi biasa, karena dia adalah seorang dokter pembunuh, yang menculik warga desa guna diambil jantungnya hidup-hidup. Sementara itu, kembang desa bernama Sukma (Della Dartyan) sedang dalam proses menjadi penari lengger. Keduanya kerap berpapasan, jantung dr. Jati berdegup kencang, sementara Sukma menatap penuh tanda tanya. Ada apa?

Ya, "Ada apa di antara mereka?" merupakan pertanyaan yang menyelimuti, dipakai oleh naskah buatan Natalia Oetama sebagai pondasi misteri terbesar. Dar situ bibit-bibit potensi mulai tumbuh. Tarian Lengger Maut dapat menjadi banyak hal, sebutlah eksplorasi mistisisme Indonesia, studi psikologis mengenai trauma dan psikopatologi, atau kalau mau mengambil pendekatan lebih ringan, membenturkan elemen slasher dengan horor supernatural pun bisa dilakukan. 

Tidak satu pun (berhasil) dilakukan. 

Lupakan sejenak kesan menipu yang muncul dari judulnya (benar ada "tarian lengger", dan "maut" banyak menimpa karakternya, tapi menyatukannya, sama saja seperti humor "manusia kepala rusa" milik Warkop DKI). Kegagalan Tarian Lengger Maut menyuguhkan kengerian sebagai horor, maupun ketegangan sebagai thriller, jauh lebih meresahkan. 

Durasi yang cuma sekitar 71 menit bukan melahirkan tontonan padat dengan dinamika terjaga, malah mengesankan film ini diproduksi menggunakan naskah draft pertama, yang bahkan belum selesai ditulis. Segelintir flashback ala kadarnya mengenai masa lalu dr. Jati tak memperkaya karakternya, alhasil menyulitkan penonton memahami motivasinya, apalagi bersimpati. Penampilan Refal Hady yang lebih berfokus pada merendahkan suaranya pun tidak membantu, walau memang mustahil bagi aktor mana pun menghidupkan naskah sedangkal ini. 

Bagaimana soal misteri di balik hubungan dua protagonis? Mungkin naskahnya hendak menyampaikan perihal kompleksitas hati sosok pembunuh berdarah dingin, khususnya bagaimana ia menangani perasaan jatuh cinta. Tapi akibat naskah dangkal, ketimbang thought-provoking, kesan konyol justru lebih dominan. Apa pula guna tease mengenai mistis tari lengger, lewat beberapa shot misterius atau obrolan singkat tokoh-tokohnya? Tarian Della Dartyan cukup menghipnotis, yang merupakan salah satu kelebihan filmnya selain beberapa elemen artistik (pemakaian warna merah di adegan tari jelang klimaks punya hawa mistis yang kuat), walau kembali lagi, naskahnya menyia-nyiakan kapasitas sang aktirs.

Teror macam apa yang coba dibangun Yongki Ongestu melalui debutnya di kursi sutradara ini? Sebagai catatan, mustahil membangun horor/thriller psikologis memakai naskah lemah. Deretan pembedahan yang dr. Jati lakukan juga tampil jinak (demi menghindari sensor, sehingga bisa dimaklumi), jadi gore bukanlah pilihan. 

Sebenarnya terdapat peluang membangun teror berdasarkan histeria massa. Sesekali kita mengunjungi warung kopi, mendengarkan keresahan warga akibat meningkatnya kasus orang hilang. Sayangnya momen ini sebatas numpang lewat. Belum lagi timbul pertanyaan. Jika sudah begitu banyak warga hilang, kenapa para polisi tidak mengusutnya? Menulis naskah yang solid memang sulit, kawan. 

WEDDING AGREEMENT (2019)

Apakah dunia lebih baik tanpa agama? Saya ragu, tapi untuk film ini, dengan mantap saya menjawab, “YA!”. Wedding Agreement  adalah romansa bernyawa yang jadi bermasalah akibat perspektif agama—yang kebenaran interpretasinya pun layak diperdebatkan—yang tampak kolot pada era sekarang, di mana kesadaran akan isu gender serta kesejahteraan dalam pernikahan.

Premisnya sendiri memancing setumpuk pertanyaan. Alkisah, Bian (Refal Hady) dan Tari (Indah Permatasari) terpaksa menjalani proses perjodohan. Ketika Tari ikhlas menerima dan berusaha menjadi istri sebaik mungkin, Bian justru menawarkan perjanjian berisi persetujuan bahwa keduanya akan bercerai setelah setahun. Alasan utamanya, ia masih mencintai mantan tunangannya, Sarah (Aghniny Haque).

Apakah Tari coba menyelamatkan pernikahan ini karena sungguh mencintai Bian atau sekadar obligasi? Mengapa Bian tak menikahi Sarah? Apakah Sarah bukan wanita baik? Jawaban bagi deretan pertanyaan itu sifatnya signifikan guna menentukan apakah sudut pandang film ini meresahkan atau tidak. Bukan hanya soal setuju atau tidak setuju, tapi perihal tanggung jawab sebuah film terhadap target pasarnya.

Apabila Tari memang mencintai sang suami, maka perjuangannya patut didukung, sebab bukan bentuk pemenuhan kewajiban istri sebagai “pelayan suami”. Apalagi jika ternyata Sarah punya keburukan yang sukar ditoleransi, yang gagal Bian lihat akibat dibutakan cinta. Kalau memang demikian, perjodohan dua karakterya masih pantas dijustifikasi. Saya tak bisa membocorkan semua jawabannya secara detail, kecuali bahwa saya gagal dibuat memihak Wedding Agreement sepenuhnya.

Ada dua pernyataan berbahaya terkait religiusitas di sini. Pertama, bahwa perceraian dipicu oleh bisikan setan. Saya tidak sedang mendukung perceraian, namun di beberapa kasus, itu memang diperlukan, khususnya dalam lingkup target pasar Wedding Agreement, di mana kuku patriarki masih kuat menancapkan kekuasaan dan kerap menghasilkan pernikahan abusive. Berbahaya jika seorang istri dalam kondisi pernikahan tersebut menonton film ini, dan nekat bertahan demi menghindari tudingan “teman setan”.

Kedua, tatkala Bian bebas pergi sesuka hati tanpa pamit dan segalanya baik-baik saja, tetapi tatkala Tari melakukan itu, perjalanannya berantakan, seolah Tuhan turun tangan melempar azab. Mau sampai kapan istri-istri Indonesia beranjak dari status “bawahan suami” kalau persepsi seperti ini masih diagungkan? Bukan sepenuhnya kekeliruan Archie Hekagery (Lo Gue End) selaku sutradara sekaligus penulis naskah, mengingat ini merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Mia Chuz yang turut terjun menulis naskah bersamanya.

Biar begitu, berbeda dibanding mayoritas film religi lain, fakta-fakta di atas tak memancing amarah. Saya justru sedih, karena di luar persoalan itu, Wedding Agreement adalah sajian romansa memikat. Buktinya, meski dihadapkan pada banyak elemen problematik, saya tetap mendukung bersatunya Tari dan Bian.

Interaksi keduanya hidup, utamanya berkat chemistry solid Indah dan Refal. Begitu mereka mulai menjalani masa-masa bahagia, lalu sama-sama tersenyum, saya bisa merasakan cinta. Sebuah cinta yang hangat. Terlebih Indah, lewat aksi olah rasa mumpuni yang seketika merenggut perasaan, otomatis membuat saya berharap Tari memperoleh keinginannya. Indah bagai perwujudan kebaikan hati, yang menjadikan perubahan sikap Bian bisa dipercaya.

Penampilan Aghniny Haque juga jadi faktor penentu agar penonton semakin mendukung Tari. Bukan karena ia berakting luar biasa, sebaliknya, begitu buruk performa Aghniny, berat rasanya merelakan Bian berakhir menikahi Sarah. Seolah sang aktris melakukan pengambilan gambar sambil membaca naskah dengan pikiran kosong. Bahkan Ria Ricis sebagai Ami, sahabat Tari, yang tampil mengolok-olok personanya selaku YouTuber, jauh lebih nyaman disaksikan.

Rasa milik Wedding Agreement menguat, berkat pemahaman Archie perihal memunculkan rasa manis bahkan kesan magis kala jatuh cinta, dalam pengadeganannya. Berbekal ketepatan bermain tempo plus musik gubahan Andhika Triyadi (Warkop DKI Reborn, Dilan 1990, My Stupid Boss 2), momen kala kedua protagonis akhirnya sungguh-sungguh “berbagi kamar” terasa indah nan sakral. Begitu pula klimaksnya, yang secara cerdik mengiklankan MRT sebagai pilihan transformasi penangkal macet. Saya tidak merasa Wedding Agreement harus melucuti seluruh elemen agamanya, tapi menambahkan humanisme niscaya bakal membuat kualitasnya melambung.  

DILAN 1991 (2019)

Alasan materi promosi Dilan 1991 menjual filmnya sebagai “fotokopi” Dilan 1990, yang murni bergantung pada keeksentrikan si tokoh tituler serta rayuan unik (atau aneh?) miliknya, bisa dimengerti. Formula tersebut lebih dari sekadar sukses. Adaptasi novel karya Pidi Baiq itu pantas disebut fenomena budaya populer. Kalimat-kalimat maupun adegannya melahirkan jutaan meme sekaligus menjadi film lokal terlaris kedua sepanjang masa. Saya yakin Dilan 1991 bakal mengulang, bahkan bisa melebihi kesuksesan itu. Silahkan tengok jumlah penonton hari pertama yang akan dengan gampang menghempaskan rekor Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 (313 ribu).

Apabila anda tak tahan dengan pendekatan film pertamanya, mudah untuk memandang rendah apa yang trailer-nya tampilkan. Bahkan saya yang mampu menoleransi puisi gombal Dilan, merasa pesimis dan memasang ekspektasi rendah. Dilan 1991 dibuka lewat pemandangan yang sesuai ekspektasi tersebut. Dilan (Iqbaal Ramadhan) dan Milea (Vanesha Prescilla) yang telah resmi berpacaran, sedang berboncengan di bawah guyuran hujan. Tentu saja sepanjang perjalanan, Dilan sibuk membombardir telinga sang kekasih dengan baris-baris kalimat ajaib yang membuat saya merinding geli.

Sampai beberapa lama, naskah garapan Titien Wattimena (Salawaku, Dilan 1990, Aruna & Lidahnya) dan Pidi Baiq (juga merangkap sutradara) masih belum beranjak dari jalur tersebut. Walau cukup melelahkan, saya akui gestur “ciuman tangan” Dilan-Milea akan melahirkan hal ikonik baru di kalangan remaja. Tapi begitu konflik bermunculan, Dilan 1991 memperlihatkan wajah aslinya sebagai romansa remaja dengan hati.

Konfliknya tidak baru maupun kompleks, masih mondar-mandir seputar dua muda-mudi dimabuk cinta yang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Kini Milea, yang sudah merasa mempunyai hak bicara sebagai kekasih, mulai berani vokal mengutarakan ketidaksukaan perihal bergabungnya Dilan dalam geng motor. Milea khawatir, suatu hari aktivitas itu bakal menempatkan Dilan di tengah situasi berbahaya. Kekhawatiran yang akhirnya terbukti tepat.

Masalah di atas sederhana, namun relatable. Keinginan Milea masuk akal, tapi Dilan dengan hatinya yang sekeras batu menolak dikekang. Tersimpan potensi yang sayangnya urung naskahnya jamah, yakni soal penggalian sisi personal Dilan. Menyelami isi hati terdalamnya, mengeksplorasi dinamika psikis atau rasanya, bisa membuat penonton memahami Dilan dengan sendirinya, daripada harus diberitahu secara verbal oleh dialog-dialog.

Dengan begitu, Dilan bukan saja sesosok mesin puisi, tapi manusia sungguhan. Walau belum maksimal, setidaknya kini kita dapat sekilas melihatnya, ketika tak semua interaksi Dilan-Milea diisi buaian gombal. Adegan Milea menyuapi roti menunjukkan wajah percintaan yang lebih membumi sekaligus memberi Iqbaal kesempatan menampilkan akting natural sesuai bakatnya. Beruntung bagi Vanesha, karakterisasi Milea memfasilitasi kapasitas akting dramatiknya. Bersenjatakan tangisan yang ampuh menusuk hati, bahkan kalimat klise macam “Aku sayang kamu, Dilan” terdengar menyentuh.

Perjalanan Milea menciptakan drama emosional bagi penonton turut dibantu kehadiran dua sosok wanita: Bunda Dilan (Ira Wibowo) dan Ibu Milea (Happy Salma). Bunda lebih aktif dan lantang, sedangkan Ibu penuh kelembutan. Keduanya saling melengkapi, sama-sama sosok wanita mengagumkan, dan senantiasa menebarkan kehangatan kasih sayang ibu tiap kali muncul di layar.

Faktor lain di balik peningkatan pesat bobot emosinya dibanding film pertama adalah makin apiknya pengarahan Pidi Baiq dan Fajar Bustomi (Jagoan Instan, Surat Kecil untuk Tuhan, Dilan 1990) dalam meramu momen menyentuh, meski anda takkan menemukan kesubtilan dari pengadeganan mereka. Sementara lagu-lagu seperti Rindu Sendiri dan Dulu Kita Masih SMA yang telah mengakar di benak penonton turut berkontribusi melahirkan suasana manis. Saya tak malu mengakui bahwa di beberapa kesempatan, termasuk montase saat Milea mengenang memori di Bandung (adegan “kenangan” dalam film adalah kelemahan saya), air mata nyaris mengalir.

Penceritaan Dilan 1991 tak sepenuhnya mulus. Progresi ceritanya disusun lewat gaya episodik dan durasi 121 menit jelas terlampau panjang. Banyak poin minim substansi, seperti kemunculan kembali Kang Adi (Refal Hady) hingga subplot tentang Pak Dedi (Ence Bagus) si guru genit bisa dibuang tanpa merusak intisari kisah. Saya pun terganggu oleh dekorasi bioskop, yang meski telah mendesain ulang loket penjualan tiket, secara keseluruhan nampak begitu kekinian. Sisanya saya tak bisa banyak berkomentar karena tak mengetahui detail kondisi Bandung awal 90-an.

Memiliki sederet kekurangan tadi, Dilan 1991 jelas jauh dari sempurna. Tapi apabila sebuah romansa mampu melahirkan protagonis likeable (khususnya Milea), bahkan mengaduk-aduk perasaan, bagi saya itu sudah cukup. Dilan 1991 merupakan sekuel memuaskan yang tampil superior dibanding pendahulunya dan menyulut ketertarikan akan film berikutnya: Milea.

PS: Terdapat post-credits scene, namun sangat pendek dan tak seberapa penting kecuali bagi penggemar berat.

ANTOLOGI RASA (2019)

“Selamat datang di kehidupan cinta gue yang berantakan”, sapa Keara (Carissa Perusset) pada penonton. Dan memang pernyataan itu paling pas, sebab Antologi Rasa sungguh menghadirkan kisah cinta segiempat luar biasa rumit nan berantakan. Begitu berantakan, pesan yang filmnya hendak sampaikan soal hubungan pun bak hilang ditelan keruwetannya. Atau memang tiada pesan apa pun? Ketika pikiran para karakter semakin jernih jelang kisah berakhir, tidak demikian halnya penonton.

Tapi jika anda memandang Antologi Rasa hanya sebagai satu lagi film tentang betapa resahnya mencintai seseorang yang tak dapat dimiliki, adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa ini sesungguhnya bekerja cukup baik. Saya bisa memahami mayoritas rasa sakit karakternya, bahkan nyaris menitikkan air mata tatkala konflik lagi-lagi dibawa menuju resolusi di bandara, yang mana telah dipakai menutup ribuan drama romantika.

Keara, Harris (Herjunot Ali), Ruly (Refal Hady), dan Denise (Atikah Suhaime) adalah sahabat yang mencari nafkah di satu kantor, bahkan sama-sama datang terlambat di hari pertama bekerja. Ada persamaan lain di antara mereka, di mana masing-masing saling memendam cinta. Harris mencintai Keara yang mencintai Ruly yang mencintai Denise yang sudah menikah. Rumit memang. Antologi Rasa seperti antologi hal-hal menyakitkan yang terjadi saat cinta bertepuk sebelah tangan.

Begitu banyak hal menyakitkan muncul membuat paling tidak ada satu-dua peristiwa yang pernah penonton alami, sehingga merasa terikat terhadapnya. Cukup ambil contoh perasaan Harris. Dia terjebak di friendzone, terlanjur jadi tempat Keara mencurahkan isi hati soal pria lain yang ia cintai. Fisik sang gadis amat dekat, namun tidak hatinya, yang digambarkan oleh suatu malam di Singapura, kala Keara berbaring di perut Harris, sementara si pria hidung belang mengaku sudah menemukan wanita yang sempurna baginya. Tentu Keara tak tahu bahwa wanita itu adalah dirinya.

Paruh pertama, yang menjabarkan perjalanan Keara dan Harris ke Singapura untuk menyaksikan balapan F1 (Ruly membatalkan keikutsertaannya demi menemani Denise), merupakan bagian paling bernyawa berkat keberhasilan Junot sejenak mengesampingkan persona “cowok cool” yang lekat padanya (AKHIRNYA!). Kepribadian unik dan cerianya membawa energi serta getaran menyenangkan, bukan hanya dalam hidup Keara, juga bagi pengalaman menonton kita. Walau sewaktu dipaksa melakoni adegan serius, kecanggungan kaku khasnya kembali lagi.

Carissa, dalam penampilan layar lebar perdana, menunjukkan kualitas yang hanya bisa dideskripsikan melalui kalimat Ruly untuk Keara berikut: “Efek lo ke cowok itu luar biasa”. Bukan cuma soal paras cantik. Ada aura menghipnotis yang memancing ketertarikan. Sesuatu yang mustahil dilatih, dan kelak bakal menjadikannya bintang besar selama jeli memilih peran. Di situasi dramatik, konsistensi Carissa perlu diperbaiki, tapi caranya menghantarkan kalimat emosional di “adegan bandara” cukup membuktikan potensinya. Sebuah kalimat yang lama saya nantikan keluar dari mulut karakter saat menghadapi perpisahan. Kalimat kuat yang bertindak selaku ungkapan perasaan jujur, sehingga saya memaafkan bagaimana Antologi Rasa tenggelam dalam kerumitannya sendiri.

Fase berikutnya, yang menampilkan perjalanan bisnis Keara bersama Ruly ke Bali, sayangnya tak seberapa menarik. Refal membuktikan kapasitasnya memerankan pria baik kharismatik, tapi fakta bahwa Ruly adalah pria kalem yang kurang jago menyegarkan suasana lewat lelucon seperti Harris, menjadkan interaksinya dengan Keara seringkali hampa. Terlalu banyak kekosongan di paruh kedua Antologi Rasa.

Film ini disutradarai Rizal Mantovani (Kuldesak, 5 cm, Eiffel...I’m In Love 2), yang saya percaya, senantiasa memiliki visi ciamik perihal merangkai gambar cantik meski pengadeganannya kekurangan sensitivitas (itu sebabnya kebanyakan horor Rizal berakhir buruk). Rizal tak kuasa mengangkat bobot emosi adegan, tapi lebih dari mampu untuk membuatnya nampak elegan sekaligus mewah. Dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (Sang Kiai, My Stupid Boss, Target), semua selalu terlihat cantik, baik pemandangan (Singapura, Bali, bahkan nuansa malam Jakarta) maupun tokoh-tokohnya. Walau akan lebih baik andai Rizal tak terlalu bergantung pada jajaran pemain atau benih-benih yang ditanam naskah buatan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh) dan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur).

ORANG KAYA BARU (2019)

Orang Kaya Baru disutradarai oleh Ody C. Harahap (Kapan Kawin?, Sweet 20, Me vs Mami) yang sekali lagi membuktikan kapasitasnya menggarap tontonan berdaya hibur tinggi. Tapi sebenarnya film ini lebih terasa sebagai pengingat tentang betapa bagusnya penulisan komedi seorang Joko Anwar. Saya tertawa lepas sepanjang durasi, karena selain kreatif, humornya begitu nyata. Joko merangkai absurditas berdasarkan realita yang teramat dekat.

Kisahnya menampilkan sebuah keluarga yang (harus) makan bersama tiap malam demi penghematan. Penghasilan Bapak (Lukman Sardi) di bengkel tak seberapa, demikian pula hasil dagangan kue Ibu (Cut Mini). Ketiga anak mereka pun mesti pontang-panting. Tika (Raline Shah) dituntut mengerjakan tugas kuliah arsitekturnya memakai barang bekas, Duta (Derby Romero) hanya bisa bermimpi membuat pementasan teater megah, sedangkan si bungsu Dodi (Fatih Unru) sering jadi bahan olok-olok di sekolah akibat sepatu bututnya.

Di tengah kondisi ekonomi serba kekurangan tersebut, mereka justru memperoleh hal yang lebih bernilai ketimbang uang: kebersamaan dan kehangatan keluarga. Selepas Bapak meninggal, kondisi berbalik. Rupanya ia berasal dari keluarga kaya yang menyembunyikan hartanya karena ingin keluarganya menghargai hasil kerja keras. Kini seluruh tabungan tersebut diwariskan kepada istri serta anak-anaknya.

Seperti jamaknya stereotip orang kaya baru yang kita kenal, mereka “kaget” dan menghambur-hamburkan uang tersebut. Secepat kilat mereka mendapatkan apa yang selama ini tak dimiliki, walau tanpa sadar, di saat bersamaan mereka pun kehilangan hal penting yang dimiliki. Sekarang mereka sibuk berbelanja sendiri-sendiri, mampu makan di luar rumah, dan jalan-jalan sesuka hati. Tidak perlu lagi ada penghematan dengan cara makan bersama.

Joko memposisikan meja makan selaku hati film ini. Hampir seluruh momen emosional Orang Kaya Baru bertempat di sana, sebutlah “pertemuan keluarga mendadak” pasca penguburan Bapak, lamunan Dodi kala duduk sendirian merindukan kehangatan keluarga, hingga saat si bungsu itu menumpahkan segala keluh kesahnya. Fatih Unru melanjutkan pencapaian gemilangnya di Petualangan Menangkap Petir tahun lalu sebagai salah satu aktor cilik paling menjanjikan di negeri ini.

Babak kedua film ini sejatinya sebatas kompilasi momen komedik yang menyoroti kekonyolan perilaku para orang kaya baru. Pilihan ini berisiko membuat alurnya jalan di tempat dan monoton, tapi beruntung, humor tulisan Joko selalu segar, timing pengadeganan Ody sempurna, dan performa jajaran pemain senantiasa menyuntikkan energi, khususnya kedua pelakon wanita utama. Di luar glamoritas yang membuatnya layak memperoleh peran di sekuel Crazy Rich Asians, Raline Shah memamerkan sisi lain sekaligus penampilan terbaik sepanjang karir, kala mulus melakoni tingkah norak Tika. Begitu pula Cut Mini dengan gaya histerikal yang tak pernah gagal mengocok perut. Hampir setiap baris kalimat maupun kelakuan sang aktris berujung momen komedi emas.

Naskahnya memperhatikan pengembangan cerita serta karakter. Gesekan konfliknya jelas: Walau para orang kaya baru tahu cara berfoya-foya, mereka belum siap menghadapi hal-hal yang datang seiring bertambahnya isi tabungan. Tika dan kehidupan sosial ditambah romansanya dengan Banyu (Refal Hady), Duta dengan tanggung jawab menangani pertunjukan berskala besar, Ibu dengan hal-hal berbau hukum dan legalitas. Semuanya asing bagi mereka. Alhasil, alasan di balik kesulitan tokoh-tokohnya bisa dipahami, termasuk saat mereka jatuh ke titik terendah masing-masing. Orang Kaya Baru punya presentasi elemen sebab-akibat mumpuni yang mana kerap dilupakan penulis naskah kita.

Sayang, naskahnya sedikit tersandung di paruh konklusi yang berpotensi membingungkan bagi sebagian penonton, akibat dituturkan secara terburu-buru, datang dan pergi begitu saja sehingga melemahkan dampak dramatik yang semestinya muncul guna mengakhiri cerita. Tapi toh berbekal segala kekuatannya, Orang Kaya Baru bakal berdiri tegak sebagai salah satu hiburan terkuat  tahun ini.

SUSAH SINYAL (2017)

Apakah Ernest Prakasa kelelahan? Atau ia belum menemukan formula mengolah kisah di luar sentilan kultur Cina yang kali ini hanya muncul sekelebat sebagai balutan humor sesaat? Masih menggunakan perpaduan drama keluarga dan komedi "acak" serupa Ngenest dan Cek Toko Sebelah, kedua unsur tersebut sesekali tersampaikan, namun tak jarang luput dari sasaran, kurang mulus pula dikawinkan. Koneksi dengan penonton timbul tenggelam, kadang lancar, kadang terganggu. Sepertinya film ini tengah mengalami susah sinyal. 

Seperti kebanyakan drama serupa, hubungan berjarak antara orang tua dan anak film ini disebabkan urusan pekerjaan. Ellen (Adinia Wirasti), pengacara sukses sekaligus ibu tunggal, jarang meluangkan waktu bersama puterinya, Kiara (Aurora Ribero), yang lebih terikat dengan kehidupan media sosial dan sang nenek, Agatha (Niniek L Karim). Di suatu malam, sepulang kerja, Ellen berusaha terlibat pembicaraan tentang film favorit Kiara, Moana, tapi justru menyebut Lilo & Stitch. Nenekmu lebih tahu film yang kamu cintai daripada ibumu, yang notabene jarang memberi perhatian. Tentu menyakitkan. 
Alhasil, wajar Kiara amat terpukul saat nenek meninggal. Mengetahui itu, Ellen mengabulkan keinginan Kiara berlibur ke Sumba, sembari berharap menemukan sinyal yang terputus di antara mereka. Tapi liburan ke tempat di mana Asri Welas, Arie Kriting, Abdur Arsyad, Ge Pamungkas, sampai Chew Kin Wah yang menikahi Selfi KDI berkumpul, jelas takkan berlangsung normal. Ernest menyediakan panggung melucu seliar mungkin. Asri yang lebih kalem tetap mengocok perut kala memperagakan capoeira, pun Ge sebagai tokoh penuh trauma yang memfasilitasi gaya ekspresifnya. 

Keliaran komedi, yang acap kali tak terkait alur utama, berhasil sebagai bumbu penyedap dalam Cek Toko Sebelah. Susah Sinyal memunculkan kesan berbeda. Menulis naskahnya bersama sang istri, Meira Anastasia, Ernest bagai menabur bumbu terlalu banyak demi menutupi kekurangan di bahan pokok, alias alur yang tipis. Kelakar Arie dan Abdur misalnya. Menggelitik, namun seketika kehilangan daya bunuh sewaktu hadir berkepanjangan. Titik tertinggi komedi film ini terletak pada guyonan sekilas dengan kesempurnaan timing, seperti Asri Welas yang cenderung serius sehingga dampaknya berlipat ganda saat celotehan yang dinanti tiba, atau absurditas Dodit Mulyanto yang mengisi sesuai kebutuhan, tak dieksploitasi.
Ellen berharap perjalanan ke Sumba merekatkan hubungannya dengan Kiara. Kita menghabiskan sepertiga durasi di sana, melewati berbagai peristiwa, termasuk ketertarikan Kiara pada karyawan hotel bernama Abe (Refal Hady), sayangnya itu semua bukan quality time. Terlampau sering distraksi hadir, keduanya telah menemukan kembali sinyal yang terputus sebelum penonton sempat direnggut oleh gesekan yang terjadi. Film ini membawa karakternya ke Sumba, lalu seolah bingung mesti berbuat apa pada mereka. Aspek teknis pun gagal membantu, baik pilihan shot ala kadarnya (Ernest pernah melahirkan gambar luar biasa kuat berupa Chew Kin Wah bersandar di tiang toko kosong dalam Cek Toko Sebelah) maupun transisi kasar musik selaku cue emosi. 

Untungnya Susah Sinyal punya Adinia Wirasti, seorang aktris langka yang sanggup menyulap obrolan kasual jadi menarik. Bersama debut memikat Aurora Ribero dalam gaya sinis yang menjadikan ketakutan Ellen mendekatinya terasa masuk akal, Adinia menghembuskan nyawa, menghindarkan filmnya dari kehampaan total. Susah Sinyal is a step back. Tapi bukan kemunduran jauh, apalagi suguhan buruk. Ernest selalu belajar, dan itu membuat kepercayaan saya padanya tidak luntur. 

CRITICAL ELEVEN (2017)

Sambut Critical Eleven, adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa yang mulai sekarang semestinya jadi patokan perihal kualitas berbagai sisi drama romantika sinema Indonesia. Cukup manis pula cantik dipandang sebagai suguhan pop, cukup kuat pula kisahnya selaku studi soal karakter dan dinamika pernikahan serta keluarga. Patut dicatat, ini bukan semata-mata cerita lama pertemuan dua sejoli yang seiring waktu sama-sama jatuh hati, lalu berusaha mengalahkan setumpuk rintangan guna menyatukan cinta mereka. Berbeda, karena tak sampai 15 menit durasi, kedua tokoh utama telah bersatu. Masalahnya, pasca persatuan itu diterjang badai, bagaimana membangunnya lagi?

Anya (Adinia Wirasti) kerap dan gemar bepergian menaiki pesawat karena tuntutan pekerjaan. Demikian juga Ale (Reza Rahadian) yang bekerja di oil rig, memaksanya sering bolak-balik ke luar negeri. Pertemuan pertama pada penerbangan menuju Sidney meyakinkan bahwa keduanya adalah pasangan sempurna bagi masing-masing. Mereka menikah, kemudian tinggal di New York agar Anya tidak perlu hidup jauh dari Ale yang tengah bertugas di Meksiko. Kehamilan Anya membawa pasangan ini menuju kebahagiaan hidup terbesar, sampai sebuah insiden memutarbalikkan kondisi 180 derajat, menghadirkan tanya mengenai cinta akibat timbulnya luka.
Poin terpenting film percintaan ada di karakter utama. Bisa tidaknya cerita beserta pesan tersalurkan tergantung seberapa besar penonton mencintai pasangan yang saling mencinta di layar. Reza-Adinia membangun hubungan nyata, alhasil mudah percaya jika Ale dan Anya telah menjalin asmara demikian lama. Rasanya bagai melihat sepasang sahabat (namun dengan perasaan lebih) yang terkoneksi hati sekaligus cocok kala bertukar pikiran sehingga interaksinya nikmat diikuti. Kemesraan memancing senyum, canda memancing tawa, pertengkaran mengoyak hati. Reza dan Adinia mengikuti jejak pasangan klasik macam Slamet Rahardjo-Christine Hakim atau yang agak modern, Nicholas Saputra-Dian Sastrowardoyo, dalam keluwesan chemistry kuat nan natural.

Penonton ingin kisah berakhir bahagia, di situ bentuk keberhasilan yang dicapai Critical Eleven. Tentu penulisan naskah dari Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny, dan Ika Natassa turut berjasa. Berfokus seputar gesekan pasutri, Ale dan Anya punya alasan kuat dalam bersikap yang amat bisa dimaklumi. Simpati terbagi rata, sebab tidak ada yang lebih dirugikan, sama-sama manusia yang terluka luar biasa. Bahkan bukan mustahil penonton terhanyut membayangkan berada dalam kondisi sama, kemudian menyadari bahwa bisa jadi bakal bersikap serupa. Naskahnya juga tepat membagi timing transisi kehidupan tokohnya, menciptakan kontradiksi dua sisi (bahagia dan sedih) yang efektif mengguncang emosi.
Di samping observasi problematika pelik rumah tangga, Critical Eleven makin tinggi derajatnya saat keluarga Ale tak dikesampingkan. Konsep soal pernikahan adalah bentuk penyatuan bukan saja suami-istri, pun keluarga ditekankan betul. Kita mendapati Ayah (Slamet Rahardjo), Ibu (Widyawati Sophiaan), sampai kakak dan adik Ale (Revalina S. Temat dan Refal Hady) berkontribusi, berusaha menengahi sesuai kapasitas, membantu tanpa interupsi berlebihan. Para tokoh pendukung ditempatkan sesuai hakikatnya, mendukung poros penceritaan ketimbang mencuri sorotan maupun pasif menjadi hiasan pemanis di belakang. Momen terbaik film ini pun terbentuk sewaktu unsur kekeluargaan menyeruak masuk.

Momen tersebut yakni dua pembicaraan di tempat berbeda (Ale-Ayah dan Anya-Ibu) yang oleh sutradara Monty Tiwa dan Robert Ronny jeli ditampilkan bergantian, terkesan selaras dan saling mengisi. Momen ini memikat di berbagai tatanan. Pertama, mengukuhkan peran keluarga yang didorong rasa cinta berusaha membantu sang anak  baik kandung atau menantu  menemukan jalan keluar. Kedua, menyampaikan soal saling terima suami istri, poin yang film ini nyatakan jadi kunci pemersatu. Ketiga, tentu saja akting. Setelah pemeran muda unjuk gigi, giliran pelakon senior bersinar. Melalui sepintas peristiwa saja, Widyawati dan Slamet Rahardjo menuangkan sensitivitas, penuh rasa menuturkan cinta antara ayah dan ibu. Mereka berada di tempat (dan mungkin waktu) berbeda namun bak berkomunikasi hati ke hati. Menariknya, selain sekuen ini ayah dan ibu tak pernah saling mengungkapkan cinta secara langsung, seolah menyatakan seiring keberhasilan mengarungi cobaan plus waktu, tak perlu lagi cinta gamblang dinyatakan supaya dirasa dan dipercaya.
Kekurangan Critical Eleven terletak pada penyertaan adegan kurang substansial yang mendorong durasi terlampau panjang, mencapai 132 menit. Mayoritas hal tidak perlu itu berbentuk kontemplasi karakter. Mereka diam, meratap kosong, terkadang menangis. Menjadi tidak perlu karena kekuatan akting Reza dan Adinia sudah cukup mewakili isi hati karakter meski hanya diperlihatkan sesekali, tanpa harus sebanyak itu. Paruh pertengahan tatkala kesedihan menghampiri memang menurunkan tensi. Ale dan Anya tak lagi ceria, daya cengkeram film pun ikut meredup. Kekurangan ini sejatinya dapat dihindari andai tuturannya dipadatkan. Benar titik ini signifikan, tapi bukan berarti mesti berlarut-larut.

Critical Eleven merupakan keindahan luar dalam. Di luar, terkait tampilan, polesan sinematografi Yudi Datau membuat hampir tiap adegan memukau mata, mulai New York yang gemerlapan di malam dan bermandikan sinar matahari sore romantis, hingga bentangan langit luas di lepas samudera tempat Ale bekerja. Sedangkan di dalam, film ini menjadi keindahan tutur mengenai penerimaan dipenuhi ekspresi cinta di sana-sini. Ceritanya nampak sederhana tetapi begitu bernilai. Dekat namun terasa segar sebab jarang sekali romansa kita menyinggung percintaan bersenjatakan kepekaan ditambah kedalaman seperti ini. Tangis akan tumpah, bukan produk manipulasi air mata yang terus diumbar, melainkan dipicu tersampaikannya ekspresi cinta kasih. Indah.