GEMINI MAN (2019)

1 komentar
Gemini Man membuat saya makin menghormati Ang Lee. Tidak banyak sutradara berstatus “auteur” menjajal blockbuster, gagal total, lalu kembali untuk kedua kali. Hulk 16 tahun lalu adalah bencana, kala Lee enggan mengalah pada hasrat membuat blockbuster kontemplatif ala arthouse. Dan di percobaan keduanya, Ang Lee berhasil. Bukan berarti ia mengorbankan ideologi. Justru ini bukti kematangan, ketika sineas mampu beradaptasi sesuai kebutuhan.

Film ini terjebak dalam development hell selama hampir 20 tahun, diawali proses di bawah naungan Walt Disney, namun berujung pembatalan akibat teknologi dianggap belum memadai. Teknologi tersebut diperlukan untuk memudakan wajah aktor, sebab di Gemini Man, ada dua Will Smith, di mana salah satunya merupakan versi sang aktor di usia 20an.

Sang aktor memerankan Henry Brogan, pembunuh bayaran yang dipekerjakan pemerintah untuk menghabisi nyawa para teroris berbahaya. Henry disebut sebagai pembunuh tanpa tanding. Bukan sebutan omong kosong, sebab ia sanggup menembak mati seseorang di dalam kereta yang sedang melacu dengan kecepatan maksimal. Tapi pilihan karir itu membuatnya kesepian, didera mimpi buruk, serta rasa bersalah telah merenggut 72 nyawa manusia. Henry memutuskan pensiun.

Tapi serupa protagonis film aksi lain, masa pensiun Henry takkan berlangsung mulus. Pemerintah mengirimkan seorang agen, Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) guna memata-matainya. Bahkan setelah Henry mengetahui rahasia di balik misi terakhirnya, pihak pemerintah mulai memburunya. Sampai Clay Varris (Clive Owen), kepala proyek GEMINI, mengutus kloning Henry yang berusia 30 tahun lebih muda, yang selama ini diam-diam ia rawat bak anak sendiri.

Naskahnya—ditulis pertama kali oleh Darren Lemke (Shrek Forever After, Goosebumps) sebelum ditulis ulang oleh banyak nama termasuk David Benioff (Troy, X-Men Origins: Wolverine) dan Billy Ray (The Hunger Games, Captain Phillips, Overlord) , di mana ketiganya mendapatkan kredit penulisan—tampil sederhana, dibumbui drama soal kemelut batin melalui sederet obrolan antar tokoh, yang jadi sarana Ang Lee menerapkan nuansa kontemplatif khasnya.

Kali ini penempatannya tepat guna. Di tangan Ang Lee, obrolan di tengah film aksi yang biasanya sekadar obligasi, jadi mengandung bobot. Henry mengaku tak mampu menatap sosoknya di cermin, tapi ironisnya, dia malah bertatap muka dengan sosoknya sendiri secara nyata. Kalimat yang Henry lontarkan kepada versi mudanya di katakomba terdengar bak luapan katarsis. Kelemahan naskah yang juga gagal diperbaiki Ang Lee adalah soal humor, yang seperti ditulis kemudian divisualisasikan oleh orang-orang kaku. Dingin, garing. Bahkan Benedict Wong pun tak kuasa menyelamatkannya.

Walau versi HFR (High Frame Rate) urung dirilis di Indonesia, permainan visual bergaya Ang Lee dan sinematografer Dion Beebe (Chicago, Memoirs of a Geisha, Mary Poppins Returns) masih terasa, baik yang (agak) substansial seperti lanskap-lanskap cantik, hingga yang patut dipertanyakan (penggunaan fisheye beberapa detik untuk menangkap gerakan kereta). Setidaknya, kolaborasi mereka berhasil melahirkan barisan aksi seru.

Awalnya saya ragu. Perkelahian tangan kosong di paruh awal kala Gemini Man menerapkan teknik quick cuts layaknya suguhan laga medioker kebanyakan. Bahkan lebih buruk, akibat buruknya detail kontinuitas pada potongan-potongan singkat baku hantamnya, yang menciptakan disorientasi. Sampai tiba saatnya dua Will Smith beradu, dan sepeda motor pun disulap bukan saja sebagai sarana kebut-kebutan, pula senjata untuk menghajar seseorang. Klimaksnya pun sukses memaksimalkan konsep “double team”, melalui threesome memukau dibungkus pergerakan kamera dinamis, meski di beberapa titik, lemahnya CGI agak mengganggu.

Kualitas CGI Gemini Man memang inkonsisten, termasuk perihal wajah muda Will Smith, yang sepenuhnya hasil kreasi CGI, bukan teknologi de-aging sebagaimana mulai menjamur belakangan ini. Pencapaian terbaiknya adalah saat Junior (begitu versi muda Henry dipanggil) terlibat perdebatan dengan Clay. Akting emosional Will Smith mampu tersaji sepenuhnya, tanpa berkurang dampaknya akibat polesan digital. Tapi jelang film usai, saat Ang Lee memakai close-up di siang bolong, efeknya mencapai titik nadir. Wajah Junior bagai karakter kartun. Ejekan Junior mengenai wajah Henry jadi terdengar seperti self-mocking. Beruntung kekurangan itu dapat termaafkan, karena sebelumnya Gemini Man tampil memuaskan lewat banyak aksi yang memfasilitasi kharisma Smith, serta memberi kesempatan Mary Elizabeth Winstead agar tidak berakhir sebagai pemanis belaka.

1 komentar :

Comment Page:
Badminton Battlezone mengatakan...

Akhirnya memutuskan nonton ini,setelah baca review disini. Dan menurutku ga jelek2 amat. Untuk yang hanya sekedar having fun tanpa crita berat...film ini recommended.

Hanya saja pas adegan kuliah,efek mukanya jadi lucu hahaha.ada yg aneh.tapi beruntung film ini diperankan will smith