CLASSIC AGAIN (2020)

6 komentar
Sebagai remake, Classic Again tak memberi warna baru, apalagi mengobrak-abrik pondasi yang disusun oleh The Classic (2003), yang menampilkan Son Ye-jin, Jo In-sung, dan Cho Seung-woo di jajaran pemeran utamanya. Hal itu menciptakan dua sisi. Pertama, value film ini jelas tak setinggi pendahulunya. The Classic (kemudian diteruskan oleh A Moment to Remember) merupakan pionir gelombang melodrama Korea Selatan, sedangkan Classic Again muncul 17 tahun kemudian tatkala formula serupa entah sudah berapa kali kita saksikan.

Sisi kedua (sisi yang lebih positif), adalah, lewat kesetiaannya mengadaptasi, debut penyutradaraan Thatchaphong Suphasri ini mampu menghadirkan nostalgia bagi penggemar. Classic Again memahami momen-momen ikonik film aslinya, guna melakukan reka ulang dengan baik. Ketika dua tokoh utamanya berlari di bawah hujan dengan hanya sebuah jaket melindungi kepala mereka, sambil diiringi lagu One Memory (versi Thailand dari Me to You, You to Me), anda akan tersenyum merenungi masa-masa indah cinta pertama dahulu.

Ranchrawee Uakoolwarawat melanjutkan jejak Son Ye-jin memerankan dua karakter, Bota dan ibunya, Dala, di mana kisah cinta keduanya saling bersinggungan meski terpisah puluhan tahun, seolah menegaskan ungkapan “love will find a way”. Tinggal sendirian di Thailand sementara sang ibu berada di Korea (salah satu reference terhadap The Classic selain kemunculan posternya), Bota kerap menenggelamkan diri membaca surat-surat cinta ibunya. Lalu kisahnya bergerak maju-mundur, sesekali melempar kita ke masa sekitar lima dekade lalu, ketika romansa Dalah dan Kajorn (Thitipoom Techaapaikhun) berlangsung.

Bota menuangkan surat-surat tersebut ke dalam naskah pertunjukan teater, di mana Non (Sutthirak Subvijitra) menjadi pemeran utama pria. Bota diam-diam menyukai Non, tapi sebagaimana Dalah yang telah dijodohkan dengan sahabat Kajorn, Tanil (Samitpong Sakulponghcai), Bota pun mengalami dilema, sebab sahabatnya juga menyukai Non, bahkan menjadi pemeran utama wanita di pertunjukan tersebut. Menyusul selanjutnya adalah perjalanan yang menunjukkan betapa takdir bergerak secara misterius dalam campur tangannya pada pertemuan dua hati, yang penuh kejutan.

Classic Again begitu setia kepada film aslinya sampai anda bisa membuat checklist berisi adegan-adegan penting mana saja yang disertakan lagi. Dan checklist itu bakal terisi penuh. Sayangnya, sesekali proses memenuhi checklist itu menjadikan filmnya seolah hanya menjalankan kewajiban ketimbang menyajikan rangkaian cerita organik. Alhasil pergerakannya kerap buru-buru (walau seperti The Classic, permainan temponya cenderung lambat bila dibandingkan banyak romansa modern), dan beberapa momen signifikan berlalu begitu saja tanpa kesan berarti. Contohnya sebuah keputusan mencengangkan dari salah satu karakter, yang semestinya berperan penting dalam pengambilan keputusan protagonis, lalu menciptakan titik balik dalam kisahnya.

Tapi kelemahan di atas tak serta-merta menjadikan Classic Again sebuah remake inferior, khususnya saat ada poin-poin yang dipresentasikan lebih baik daripada pendahulunya. Sebutlah penokohan Tanil. Tidak seperti Tae-soo di The Classic yang begitu konyol sehingga kurang seimbang sebagai pesaing cinta Joon-ha, Tanil lebih dekat ke sosok remaja bengal, tanpa menanggalkan unsur tindak kekerasan yang ia terima dari sang ayah.

Memasuki babak akhir, Classic Again pun unggul perihal melahirkan paralel, dengan menampilkan potongan-potongan peristiwa serupa antara dua kisah cinta beda zamannya, yang membuat dampak emosinya semakin kuat, walau soal melukiskan romantisme menyentuh dalam seuatu momen, Thatchaphong Suphasri belum selihai Kwak Jae-yong (sutradara The Classic). Terkait latar waktu, tidak ada masalah dalam pemindahan lokasi dari Korea Selatan ke Thailand. Selain terlibat aktif di Perang Vietnam, tahun 70an pun sama-sama merupakan masa penuh kemelut bagi kedua negara, ketika deretan pergerakan serta demonstrasi kerap terjadi.

Di jajaran pemain, Ranchrawee Uakoolwarawat melakoni debut layar lebar yang takkan mengejutkan bila berujung melambungkan status kebintangannya. Sang aktris memerankan dua figur ibu-anak yang serupa tapi tak sama. Dalah maupun Bota tidak banyak bicara, tapi tutur kata dan perilaku sang ibu lebih tertata, sedangkan puterinya cenderung akrab dengan kecanggungan.


Available on NETFLIX

6 komentar :

Comment Page:
Ashbar mengatakan...

Ada adegan Kajorn pergi bertempur di medan perang. Pertannyaan, dgn siapa pasukan Thailand bwrperang. Perasaan Thailand gak punya musuh di negara manapun.

Rasyidharry mengatakan...

Poin ini udah dibahas di review. Kan Thailand juga terlibat Perang Vietnam

Ferdy mengatakan...

kajorn meninggal karena apa?

Putra mengatakan...

Tidak dijelaskan. Namun ketika kajorn dan bota bertemu. Sepertinya kajorn mengalami kebutaan akibat perang

Putra mengatakan...

Pertanyaan saya.
Kondisi tanil setelah menemani bota untuk menemui kajorn itu gimana ya? Tanil sudah menikah atau belum?

Newwiee mengatakan...

Mungkin yang di maksud dala bukan bota, tanil kan akhirnya menikah sama dala terus mereka punya anak namanya bota