ANNA KARENINA (2012)
Rasyidharry
Februari 22, 2013
Aaron Taylor-Johnson
,
Allicia Vikander
,
Cukup
,
Domhnall Gleeson
,
Drama
,
Joe Wright
,
Jude Law
,
Keira Knightley
,
Matthew McFadyen
,
Olivia Williams
,
REVIEW
,
Romance
1 komentar
Sutradara Joe Wright memang telah dikenal lewat kemampuannya dalam membuat film period drama. Hal itu bisa dilihat dari dua film yang melambungkan namanya, yakni Pride and Prejudice dan Atonement. Setelah dua non-period drama yakni The Soloist dan Hanna, Joe Wright kembali ke spesialisasinya lewat Anna Karenina, sebuah adaptasi dari novel klasik berjudul sama karangan Leo Tolstoy yang terbit pada 1877. Ini bukanlah kali pertama Anna Karenina diangkat menjadi sebuah film. Sebelumnya sudah ada sekitar sembilan film yang kisahnya merupakan adaptasi dari novel tersebut. Dalam film ini Joe Wright juga kembali berkolaborasi dengan aktris Keira Knightley yang selalu bermain dalam film period drama yang ia buat sebelum ini. Saya sendiri tidak terlalu menyukai film-film period drama karena kisah dan dialognya yang sering terkesan bertele-tele karena memang punya setting waktu bukan di zaman sekarang. Tapi film yang disutradarai oleh Joe Wright memang sayang untuk dilewatkan. Apalagi kabarnya Anna Karenina dibuat dengan teknik yang cukup unik dimana mayoritas filmnya dibuat diatas panggung besar dan membuat konsep filmnya seperti sebuah pertunjukkan teater.
Kisahnya berlatar di Rusia pada tahun 1847 dimana Anna Karenina (Keira Knightley) sedang melakukan perjalanan dari St. Petersburgh menuju Moscow untuk mengunjungi kakaknya, Oblonsky (Matthew McFadyen) yang saat itu tengah menglamai permasalahan dengan sang istri. Di kereta, Anna bertemu dengan Countess Vronskaya (Olivia Williams) yang kemudian mengenalkan Anna dengan puteranya, Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson). Perkenalan tersebut ternyata menjadi awal benih cinta yang terjalin antara Anna dan Vronsky. Tapi kisah cinta tersebut tentunya tidak mudah terwujud, bahkan bisa dibilang terlarang, karena saat itu Anna sudah menikah dengan Alexei Karenin (Jude Law), seorang politisi sekaligus orang yang sangat dihormati di St. Petersburgh. Sedangkan Vronsky sendiri tengah menjalin hubungan dengan Kitty (Alicia Vikander) yang tidak lain adalah adik dari istri Oblonsky. Tapi Anna Karenina tidak hanya menyoroti kisah cinta Anna belaka, karena film ini ini juga akan menceritakan tentang kisah Konstatin Levin (Domhnall Gleeson), seorang land owner yang cintanya ditolak oleh Kitty.
Anna Karenina adalah sebuah film yang ambisius. Ambisius dilihat baik dari sisi konsep bagaimana filmnya dikemas dan ambisius dilihat dari konten cerita yang coba disampaikan. Seperti yang sudah saya singgung diawal, Joe Wright cukup berani dalam mengemas film ini layaknya sebuah drama panggung. Menonton Anna Karenina di beberapa bagiannya serasa seperti menonton pertunjukkan teater di panggung raksasa dengan setting panggung yang luar biasa mewah. Jujur saya menyukai pengemasan tersebut. Terasa unik dan menyenangkan melihat satu setting berganti dengan yang lain secara manual layaknya pentas teater dan para aktornya yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara kontinyu seperti diatas panggung. Joe Wright pantas mendapat pujian karena mampu mengemas konsep yang unik ini dengan begitu rapih. Namun sayangnya secara keseluruhan penggunaan konsep ini saya rasa masih setengah-setengah. Ada beberapa adegan yang tidak terasa suasana panggungnya. Jika memang ingin memakai teknik ini kenapa tidak sekalian saja semua adegan dikemas begitu? Jika alasannya adalah tidak semua adegan bisa mendapat perlakuan seperti itu saya rasa sebaiknya sekalian saja tidak memakai konsep seperti ini.
Selain mengincar keunikan dalam proses kreatifnya, manfaat penggunaan konsep ini juga kurang terasa. Kelebihan pementasan teater dibanding film adalah semuanya berjalan secara langsung sehingga emosi para aktor terasa begitu nyata. Dalam film, salah satu cara yang sering dipakai adalah penggunaan continous shot yang akan membuat rangkaian adegan yang satu dengan yang lain terasa nyata dan mengalir dengan alami. Teknik seperti ini sebenarnya sudah pernah digunakan oleh Joe Wright dalam Atonement, namun sayangnya dia tidak mengeksplorasi lagi teknik ini dalam Anna Karenina. Padahal jika continous shot diterapkan dalam konsep drama panggung film ini saya yakin hasil akhirnya akan lebih maksimal. Tapi biar bagaimanapun apa yang ditampilkan oleh Joe Wright dalam film ini sudah memberikan keunikan tersendiri. Apalagi tiap-tiap adegan punya sinematografi yang begitu indah yang terlihat mulai dari desain panggung hingga bagaimana para aktor baik utama ataupun figuran bergerak diatas panggung. Jika ada pementasan teater dengan tata panggung dan properti semacam ini saya akan dengan senang hati merogoh kocek dalam untuk menontonnya.
Seperti yang saya tulis sebelumnya, Anna Karenina juga terasa ambisius ditengok dari cerita yang coba disajikan. Keseluruhan ceritanya berkisah tentang cinta, namun apa saja yang coba diangkat dari sebuah tema cinta tersebut begitu banyak, begitu juga konflik dan karakter yang tersaji dalam keseluruhan kisahnya. Anna Karenina berkisah tentang sebuah pertentangan antara cinta sejati dan nafsu yang pada akhirnya berujung pada perselingkuhan. Film ini menyoroti bagaimana sifat dasar manusia yang tidak pernah puas terhadap apa yang ia miliki termasuk dalam urusan percintaan. Tema yang kedengarannya sederhana tersebut bisa menjadi begitu kompleks dan membingungkan jika tokoh yang terlibat terlalu banyak. Hal itulah yang terjadi dalam Anna Karenina. Tidak hanya kisah Anna dan perselingkuhannya yang disorot, tapi film ini juga kadang berpindah dan ganti menyoroti perjuangan cinta dan pencarian kebahagiaan hidup dari Konstatin Levin. Kisahnya menjadi tidak fokus dan akhirnya saya tidak merasa terlalu terikat dan tersentuh dengan kisah tragedi percintaan ini. Disaat saya sudah mulai terbawa oleh ceritanya, tiba-tiba film ini berganti fokus kepada kisah yang lain.
Selain itu, dengan banyaknya kisah yang coba diangkat, film ini menjadi terasa terlalu lama. Andai kisah seputar Konstatin Levin tidak terlalu diangkat, mungkin filmnya bisa "menghemat" sekitar 10 menit durasi, bahkan mungkin lebih. Pada akhirnya durasi hampir mencapai 130 menit menjadi terasa terlalu panjang. Karya terbaru Joe Wright ini memang pada akhirnya terasa tanggung dan kurang maksimal, tapi setidaknya dengan tata produksi yang unik, dasar cerita yang punya kedalaman emosi dan akting para pemainnya yang bagus khususnya Keira Kngihtley masih membuat Anna Karenina menjadi tontonan yang masih cukup menarik diikuti. Kemudian dari empat nominasi Oscar yang didapat, setidaknya untuk kategori Best Production Design dan Best Costume Desgin film ini hampir pasti mengunci kemenangannya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:We recently posted a review of this film on our site and our reviewer hated this even more than you did.
I stopped by to check out your site, as I saw you had recently joined the Lamb and I wanted to say welcome aboard.
Posting Komentar