Tampilkan postingan dengan label Keira Knightley. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keira Knightley. Tampilkan semua postingan

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS (2018)

Andai The Nutcracker and the Four Realms bersedia memberi lebih banyak balet serupa sumbernya—pertunjukan balet dua babak The Nutcracker karya Marius Petipa yang mengadaptasi cerita The Nutcracker and the Mouse King buatan E. T. A. Hoffmann—atau setidaknya menyelipkan nomor musikal, film ini bakal jadi salah satu favorit saya tahun ini. Saya bukan tengah mengkritisi film karena tidak menjadi hal yang saya harapkan dan bukan tujuannya, tapi sulit disangkal bahwa sekuen balet di tengah (plus satu di kredit) juga kemeriahan visual warna-warni miliknya mampu menutupi kelemahan narasinya.

Formula klasik Disney mengenalkan kita pada tokoh utamanya. Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) sedang berduka, menolak menikmati malam Natal, selepas kematian ibunya, Marie (Anna Madeley). Hubungan dengan sang ayah (Matthew Macfadyen) pun merenggang, sebab Clara merasa, Mr. Stahlbaum hanya peduli soal reputasi alih-alih perasaan sang puteri. Awalnya ia menolak ajakan pesta malam Natal, tapi demi bertemu ayah baptisnya, Drosselmeyer (Morgan Freeman), yang diyakini menyimpan kunci untuk membuka hadiah dari mendiang ibunya (sebuah telur misterius), Clara pun datang.

Syukurlah dia bersedia, karena begitu tiba di lokasi pesta, kita langsung disambut oleh tari ballroom memesona, diisi orang-orang dengan gaun glamor, ruangan mewah, serta orkestra megah. Sebuah keindahan audiovisual yang bagi saya dapat sekuat elemen naratif perihal mengolah emosi. Tapi daya pikat artistiknya belum berhenti. Ketimbang langsung memberikan kuncinya, Drosselmeyer membagikan hadiah pada para hadirin dengan meminta mereka menyusuri tali masing-masing. Tali Clara menuntunnya ke Four Realm, dunia fantasi di mana sang ibu dahulu menjadi Ratu.

Bersama Kapten Phillip Hoffman (Jayden Fowora-Knight), si prajurit nutcracker penjaga jembatan, Clara dibawa menuju kerajaan tempat Marie dahulu memerintah guna menemui tiga dari empat penguasa alam: Sugar Plum (Keira Knightley) dari Land of Sweets, Hawthorne (Eugenio Derbez) dari Land of Flowers, dan Shiver (Richard E. Grant) dari Land of Snowflakes. Kembali kita disuguhi setting serta kostum fantasi pemikat mata. Meski suara bernada tinggi kepunyaan Keira Knightley mungkin kerap terdengar mengganggu, rambut arum manisnya adalah sentuhan apik yang membuat sosoknya penuh daya tarik.

Satu penguasa lain adalah Mother Ginger (Helen Mirren) dari Land of Amusement yang konon jadi penyebab pecahnya perang antara keempat alam akibat usahanya menghancurkan semua yang Marie bangun. Land of Amusement sendiri, seperti ketiga alam lain, diisi makhluk-makhluk berpenampilan unik, walau Mouse King dan lima “Badut Matryoshka” mungkin akan jadi mimpi buruk bagi beberapa orang.

Daripada menerapkan flashback, naskah buatan Ashleigh Powell menuturkan backstory lewat balet. Diawali tribute bagi Fantasia (1940), pertunjukkan yang memasang pebalet Misty Copeland selaku figur sentral ini tak pernah berhenti memukau. Tata setting properti yang mengusung kejayaan dan kemeriahan teater musikal hingga yang sempurna ditangkap oleh kamera Linus Sandgren (La La Land, First Man) versi anyar untuk musik ikonik buatan Pyotr Ilyich Tchaikovsky yang digubah oleh James Newton Howard (King Kong, Batman Begins, The Hunger Games), jadi penyusun capaian artistik fantasi yang amat membuai, dan saya berharap sekuen ini takkan usai.

Balet tersebut saya yakin digarap oleh Lasse Hallström (What’s Eating Gilbert Grape, Hachi: A Dog’s Tale, Dear John), yang berbagi kredit penyutradaraan dengan Joe Johnston (Jumanji, Jurassic Park III, Captain America: The First Avenger), yang mengambil alih proses pengambilan gambar ulang selama sebulan. Kemungkinan besar Johnston diberi tanggung jawab merangkai sekuen aksi, yang sayangnya kurang memikat. Masih dibungkus visual cantik, namun pertarungan antara Mouse King melawan ratusan prajurit mainan timah, atau aksi Helen Mirren melempar pecut, semestinya tersaji seru, bukan aneh dan canggung.

Mackenzie Foy adalah aktris muda berbakat yang sanggup menjadikan Clara sesosok jagoan lovable yang perjalanannya menyenangkan disimak, sehingga mudah menggaet dukungan penonton dalam upayanya menggapai tujuan.....andai saja tujuan yang film ini berikan padanya jelas. Naskahnya kebingungan menentukan garis akhir serta bagaimana cara mencapainya, yang berakibat hambarnnya dampak emosi.

Konflik awal Clara adalah duka ditambah pemikiran bahwa sang ayah tidak mempedulikannya. Masalah dengan ayah tuntas di paruh awal saat Clara belajar melihat dari perspektif berbeda. Sementara dukanya berubah jadi ketidakpercayaan diri. Clara merasa tak sehebat sang ibu. The Nutcracker and the Four Realms kelabakan menyatukan beragam persoalan itu, lalu bersembunyi di balik pesan dari Marie, jika SEMUA yang Clara butuhkan ada dalam telur pemberiannya. Alhasil, SEMUA problematika pun tuntas begitu Clara memahami makna hadiah tersebut. Di tengah kerancuan narasinya, sulit menampik harapan kalau film ini menyelipkan lebih banyak elemen terkuatnya.

PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR'S REVENGE (2017)

Berbarengan dengan Jack Sparrow yang ditelan Kraken pada akhir Dead Man's Chest, daya pikat Pirates of the Caribbean turut lenyap, bak ikut terbenam di Davy Jones' Locker. Ketika At World's End merupakan petualangan terlalu panjang yang melucuti pesona tokoh-tokohnya, On Stranger Tides menjadi installment yang demikian mudah terlupakan. Namun franchise ini mesti berlanjut. Selain didorong terus meningkatnya pendapatan tiap seri, sang bintang utama, Johnny Depp butuh kendaraan solid pasca rentetan film gagal, image buruk akibat kasus kekerasan terhadap Amber Heard, serta kesulitan finansial yang perlahan mendera karena gaya hidup super mewah yang konon memakan biaya $2 juta tiap bulan.

Melanjutkan tren film-film sebelumnya, Salazar's Revenge (berjudul Dead Men Tell No Tales untuk peredaran di Amerika Utara) menyertakan mitologi yang telah dikenal masyarakat, yakni segitiga Bermuda (disebut Devil's Triangle di sini) dan Trisula Poseidon. Alkisah, Kapten pasukan angkatan laut Spanyol bernama Armando Salazar (Javier Bardem) terjebak di Devil's Triangle akibat perbuatan Jack Sparrow. Bersama para awak kapalnya, Salazar pun dikutuk menjadi hantu, menanti saat balas dendam tiba. Demi melawan Salazar, Jack, dibantu oleh Henry Turner (Brenton Thwaites) yang ingin membebaskan sang ayah, Will Turner (Orlando Bloom) dari kutukan Flying Dutchman dan Carina Smyth (Kaya Scodelario), ahli astronomi yang dituduh penyihir.
Salazar's Revenge diniati sebagai awal petualangan baru berisi darah baru, di mana Henry dan Carina ditugaskan mengikuti jejak Will dan Elizabeth (Keira Knightley). Namun sejatinya poros cerita berkutat di formula familiar. Tidak peduli apa bentuk harta buruan, petualangan berlangsung serupa, seolah ada ketakutan jika menghilangkan satu saja unsur, kutukan bakal menghampiri. Terlihat pada naskah Jeff Nathanson yang walau tak banyak menambah sub-plot dan menjaga alur dari kesan penuh sesak macam film ketiga, masih mengikutsertakan angkatan laut dalam peran kurang penting. Momen penutup klimaks yang dimaksudkan menambah bobot emosi urung berdampak, sebab di tahap ini penonton tahu, baik kematian atau kutukan dapat diakali melalui beragam cara. Pun post-credit scene yang meski berpotensi memuaskan penggemar atas siratan kembalinya tokoh lama, membuktikan franchise ini enggan berlayar jauh, memilih berputar di lautan yang sama.

Setelah 14 tahun, tentu Jack Sparrow sudah menyatu, muncul bagai naluri dalam diri Johnny Depp. Namun daripada performa alamiah, penonton justru disuguhi penampilan sang aktor yang terlihat tanpa tenaga, entah dipengaruhi usianya yang tak lagi muda (53 tahun) atau Depp memang sudah malas dan kembali semata-mata demi bayaran besar. Hilang gerak lincah hingga tindak tanduk tak terduga sang kapten. Di film kelimanya, Jack Sparrow sekedar hiasan yang ada hanya karena merupakan maskot franchise. Depp justru mengesankan tatkala beberapa menit tampil sebagai Jack versi muda yang lebih tenang, menebar pesona melalui senyum penuh percaya diri. 
Saat Brenton Thwaites kekurangan karisma, Kaya Scodelario meniupkan semangat memberontak sebagaimana Keira Knightley dahulu menghidupkan seorang wanita kuat pendobrak tradisi. Geoffrey Rush sebagai Barbossa tidak segila dulu yang mana bukan kekeliruan sang aktor, melainkan tuntutan naskah. Barbossa tanpa teriakan "You bloomin' cockroaches!" memang kurang lengkap. Untungnya Bardem (disempurnakan balutan CGI tepat guna) menyajikan penampilan mengerikan sebagai Salazar, hantu kejam yang enteng melakukan pembantaian, juga intimidatif kala berbicara. Setiap kata terucap dari mulut makhluk kegelapan ini, secercah cahaya menyinari filmnya, memberi kekuatan. 

Kursi penyutradaraan ditempati duet Joachim Rønning dan Espen Sandberg (Kon-Tiki), meramaikan jumlah sineas independen yang berkesempatan menggarap blockbuster. Beberapa set-piece "kelas menengah" digarap baik, sebutlah pencurian brankas (atau bank) yang ibarat Fast Five versi masa lampau, di mana mobil mewah digantikan barisan kuda. Adegan sewaktu Jack terjebak dalam guillotine berputar pun seru sekaligus sanggup mengocok perut. Dua contoh sequence tersebut  seperti mayoritas adegan aksi terbaik Pirates of the Caribbean  dikemas bagai wahana taman hiburan: atraktif, menyenangkan, imajinatif. Sementara sisanya (termasuk klimaks) memperlihatkan kesulitan keduanya menangani aksi berbasis CGI. Gubahan musik Geoff Zanelli efektif membangun tensi (pula catchy), tapi Rønning dan Sandberg bak kebingungan menyusun gelaran aksi yang hilang arah di tengah terjangan badai efek visual.


Ralat: Jack Sparrow muda bukan diperankan oleh Johnny Depp, tapi Anthony De La Torre.

ANNA KARENINA (2012)

Sutradara Joe Wright memang telah dikenal lewat kemampuannya dalam membuat film period drama. Hal itu bisa dilihat dari dua film yang melambungkan namanya, yakni Pride and Prejudice dan Atonement. Setelah dua non-period drama yakni The Soloist dan Hanna, Joe Wright kembali ke spesialisasinya lewat Anna Karenina, sebuah adaptasi dari novel klasik berjudul sama karangan Leo Tolstoy yang terbit pada 1877. Ini bukanlah kali pertama Anna Karenina diangkat menjadi sebuah film. Sebelumnya sudah ada sekitar sembilan film yang kisahnya merupakan adaptasi dari novel tersebut. Dalam film ini Joe Wright juga kembali berkolaborasi dengan aktris Keira Knightley yang selalu bermain dalam film period drama yang ia buat sebelum ini. Saya sendiri tidak terlalu menyukai film-film period drama karena kisah dan dialognya yang sering terkesan bertele-tele karena memang punya setting waktu bukan di zaman sekarang. Tapi film yang disutradarai oleh Joe Wright memang sayang untuk dilewatkan. Apalagi kabarnya Anna Karenina dibuat dengan teknik yang cukup unik dimana mayoritas filmnya dibuat diatas panggung besar dan membuat konsep filmnya seperti sebuah pertunjukkan teater.

Kisahnya berlatar di Rusia pada tahun 1847 dimana Anna Karenina (Keira Knightley) sedang melakukan perjalanan dari St. Petersburgh menuju Moscow untuk mengunjungi kakaknya, Oblonsky (Matthew McFadyen) yang saat itu tengah menglamai permasalahan dengan sang istri. Di kereta, Anna bertemu dengan Countess Vronskaya (Olivia Williams) yang kemudian mengenalkan Anna dengan puteranya, Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson). Perkenalan tersebut ternyata menjadi awal benih cinta yang terjalin antara Anna dan Vronsky. Tapi kisah cinta tersebut tentunya tidak mudah terwujud, bahkan bisa dibilang terlarang, karena saat itu Anna sudah menikah dengan Alexei Karenin (Jude Law), seorang politisi sekaligus orang yang sangat dihormati di St. Petersburgh. Sedangkan Vronsky sendiri tengah menjalin hubungan dengan Kitty (Alicia Vikander) yang tidak lain adalah adik dari istri Oblonsky. Tapi Anna Karenina  tidak hanya menyoroti kisah cinta Anna belaka, karena film ini ini juga akan menceritakan tentang kisah Konstatin Levin (Domhnall Gleeson), seorang land owner yang cintanya ditolak oleh Kitty.

Anna Karenina adalah sebuah film yang ambisius. Ambisius dilihat baik dari sisi konsep bagaimana filmnya dikemas dan ambisius dilihat dari konten cerita yang coba disampaikan. Seperti yang sudah saya singgung diawal, Joe Wright cukup berani dalam mengemas film ini layaknya sebuah drama panggung. Menonton Anna Karenina di beberapa bagiannya serasa seperti menonton pertunjukkan teater di panggung raksasa dengan setting panggung yang luar biasa mewah. Jujur saya menyukai pengemasan tersebut. Terasa unik dan menyenangkan melihat satu setting berganti dengan yang lain secara manual layaknya pentas teater dan para aktornya yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara kontinyu seperti diatas panggung. Joe Wright pantas mendapat pujian karena mampu mengemas konsep yang unik ini dengan begitu rapih. Namun sayangnya secara keseluruhan penggunaan konsep ini saya rasa masih setengah-setengah. Ada beberapa adegan yang tidak terasa suasana panggungnya. Jika memang ingin memakai teknik ini kenapa tidak sekalian saja semua adegan dikemas begitu? Jika alasannya adalah tidak semua adegan bisa mendapat perlakuan seperti itu saya rasa sebaiknya sekalian saja tidak memakai konsep seperti ini. 
Selain mengincar keunikan dalam proses kreatifnya, manfaat penggunaan konsep ini juga kurang terasa. Kelebihan pementasan teater dibanding film adalah semuanya berjalan secara langsung sehingga emosi para aktor terasa begitu nyata. Dalam film, salah satu cara yang sering dipakai adalah penggunaan continous shot yang akan membuat rangkaian adegan yang satu dengan yang lain terasa nyata dan mengalir dengan alami. Teknik seperti ini sebenarnya sudah pernah digunakan oleh Joe Wright dalam Atonement, namun sayangnya dia tidak mengeksplorasi lagi teknik ini dalam Anna Karenina. Padahal jika continous shot diterapkan dalam konsep drama panggung film ini saya yakin hasil akhirnya akan lebih maksimal. Tapi biar bagaimanapun apa yang ditampilkan oleh Joe Wright dalam film ini sudah memberikan keunikan tersendiri. Apalagi tiap-tiap adegan punya sinematografi yang begitu indah yang terlihat mulai dari desain panggung hingga bagaimana para aktor baik utama ataupun figuran bergerak diatas panggung. Jika ada pementasan teater dengan tata panggung dan properti semacam ini saya akan dengan senang hati merogoh kocek dalam untuk menontonnya.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, Anna Karenina juga terasa ambisius ditengok dari cerita yang coba disajikan. Keseluruhan ceritanya berkisah tentang cinta, namun apa saja yang coba diangkat dari sebuah tema cinta tersebut begitu banyak, begitu juga konflik dan karakter yang tersaji dalam keseluruhan kisahnya. Anna Karenina berkisah tentang sebuah pertentangan antara cinta sejati dan nafsu yang pada akhirnya berujung pada perselingkuhan. Film ini menyoroti bagaimana sifat dasar manusia yang tidak pernah puas terhadap apa yang ia miliki termasuk dalam urusan percintaan. Tema yang kedengarannya sederhana tersebut bisa menjadi begitu kompleks dan membingungkan jika tokoh yang terlibat terlalu banyak. Hal itulah yang terjadi dalam Anna Karenina. Tidak hanya kisah Anna dan perselingkuhannya yang disorot, tapi film ini juga kadang berpindah dan ganti menyoroti perjuangan cinta dan pencarian kebahagiaan hidup dari Konstatin Levin. Kisahnya menjadi tidak fokus dan akhirnya saya tidak merasa terlalu terikat dan tersentuh dengan kisah tragedi percintaan ini. Disaat saya sudah mulai terbawa oleh ceritanya, tiba-tiba film ini berganti fokus kepada kisah yang lain.

Selain itu, dengan banyaknya kisah yang coba diangkat, film ini menjadi terasa terlalu lama. Andai kisah seputar Konstatin Levin tidak terlalu diangkat, mungkin filmnya bisa "menghemat" sekitar 10 menit durasi, bahkan mungkin lebih. Pada akhirnya durasi hampir mencapai 130 menit menjadi terasa terlalu panjang. Karya terbaru Joe Wright ini memang pada akhirnya terasa tanggung dan kurang maksimal, tapi setidaknya dengan tata produksi yang unik, dasar cerita yang punya kedalaman emosi dan akting para pemainnya yang bagus khususnya Keira Kngihtley masih membuat Anna Karenina menjadi tontonan yang masih cukup menarik diikuti. Kemudian dari empat nominasi Oscar yang didapat, setidaknya untuk kategori Best Production Design dan Best Costume Desgin film ini hampir pasti mengunci kemenangannya.