Tampilkan postingan dengan label Jude Law. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jude Law. Tampilkan semua postingan

REVIEW - FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE

Belum lama ini diberitakan bahwa nasib film keempat dan kelima Fantastic Beasts belum resmi mendapat lampu hijau. Nasibnya bergantung pada pendapatan The Secrets of Dumbledore, alias ada kemungkinan seri ini berakhir sebagai trilogi saja. Digarap oleh J. K. Rowling dan Steve Kloves (penulis naskah hampir seluruh film Harry Potter), naskahnya pun menyesuaikan sebagai bentuk rencana cadangan.

Rencana cadangan yang dimaksud berupa "konklusi malu-malu". Cerita tokoh-tokohnya diberi closure sebagaimana akhir suatu saga. Tapi disebut "akhir" pun kurang tebat, karena konflik utama belum sepenuhnya usai. Terasa betul ada kebimbangan. Tidak mengejutkan, mengingat sejak awal, Fantastic Beasts selalu digerogoti kebingungan menentukan arah. 

The Secrets of Dumbledore masih sama. Konflik memang tak penuh sesak seperti The Crimes of Grindelwald (2018), namun krisis identitas nyata terlihat sepanjang 142 menit durasinya. Kecuali sosok separuh burung separuh naga (Snallygaster?) yang menolong Newt Scamander (Eddie Redmayne) di awal cerita, para fantastic beasts tidak lagi fantastis. Porsi menipis, signifikansi pun berkurang, dengan kemunculan yang makin jauh dari memorable. 

Memang ada Qilin, makhluk ajaib yang mampu melihat ke dalam jiwa manusia sehingga jadi rebutan protagonis dan antagonis, tapi perannya sekadar MacGuffin, yang sekali lagi, tidak memorable. Kalau bukan film tentang fantastic beasts, apakah cerita soal Newt? Walau screen time-nya paling banyak mengingat dialah jagoan utama seri ini, Newt tidak punya proses atau story arc apa pun. He's just.....there. 

Bagaimana dengan Albus Dumbledore (Jude Law) yang namanya dijadikan subjudul? Adegan pembuka The Secrets of Dumbledore menampilkan pertemuan Dumbledore dan Gellert Grindelwald (Mads Mikkelsen). Mereka berbincang, dan kedua aktor mampu menciptakan dinamika intens antara mantan kekasih yang mendapati diri mereka  berada di kubu berlawanan. Terutama Mikkelsen. Senyumnya getir, menyiratkan kompleksitas emosi Grindelwald. Sesuatu yang sulit dibayangkan dapat diberikan oleh Johnny Depp (yang sekarang).

Tersimpan potensi besar terkait konflik personal Dumbledore-Grindelwald, tapi naskahnya tidak cukup kompeten menangani itu. Eksplorasi kedua karakter dilupakan, sementara alur beralih ke petualangan membosankan yang tampil bak benang kusut (I'll talk about it later), pula sama sekali tidak "ajaib", apalagi untuk ukuran film yang jadi bagian brand bernama "Wizarding World". 

Di kursi penyutradaraan, David Yates masih piawai memvisualkan dunia sarat keajaiban. Bhutan selaku latar third act-nya misal, yang memadukan elemen magis dengan nuansa futuristik. Tapi Yates bukan penyihir. Dia tak mampu menyulap naskah buruk jadi hiburan kelas satu. Sebuah naskah yang tersesat, baik soal menentukan jati diri maupun menjalin penceritaan utuh. 

Ada banyak titik di mana penonton bakal kesulitan memahami apa yang karakternya lakukan beserta golnya. Dumbledore mencetuskan taktik untuk membuat membuat musuh kebingungan. Begitu sukses taktik itu, tidak cuma Grindelwald saja yang bingung, penonton pun demikian. Ya, seperti benang kusut, akibat Rowling sendiri tidak tahu ingin membuat film apa. Melihat bagaimana penokohan Credence (Ezra Miller) dikembangkan, saya pun ragu Rowling tahu arti kata "kontinuitas". Dan seperti biasa, ia tidak tahu cara membuat klimaks, lalu cuma muncul dengan sekuen aksi pendek yang mendadak berakhir.

Satu-satunya hal positif dari Fantastic Beasts adalah lahirnya karakter Jacob Kowalski (Dan Fogler). Hanya dia karakter yang sejak film pertama konsisten mencuri perhatian, karena hanya dia yang punya tujuan jelas. Tujuan yang memiliki bobot emosi, yaitu berharap bisa bersatu kembali dengan Queenie (Alison Sudol). Bahkan berkat romansa Kowalski-Queenie, "konklusi malu-malu" tadi jadi memancarkan sedikit kehangatan. 

CAPTAIN MARVEL (2019)

Melalui Captain Marvel, Marvel Studios membuktikan penguasaan mereka terhadap formula pengenalan karakter. Dirilis tak sampai dua bulan sebelum Avengers: Endgame, salah satu tujuan utama film ini adalah memperkenalkan protagonis yang mudah penonton cintai, juga suar harapan bagi kompatriotnya sesama pahlawan super pasca Thanos menghapus separuh kehidupan alam semesta. Terkait tujuan tersebut, Captain Marvel melaksanakan tugasnya dengan baik.

Tapi film kedua puluh satu MCU ini justru menampakkan lubang franchise-nya. Sejak Avengers: Age of Ultron, Marvel Studios telah belajar untuk tidak menyulap judul standalone menjadi ladang menanam benih bagi sekuel. Rupanya masalah lain—yang bukan sepenuhnya baru—muncul di sini, di mana haram hukumnya bila “film individu” lebih, atau sama masifnya dibanding “film tim”.

Mengusung kisah berskala lokal (soal intrik di Wakanda), Black Panther terselamatkan dari kendala di atas, sementara Ant-Man and the Wasp terhindar karena sejak awal penciptaannya, seri Ant-Man memang khusus berkutat di skala kecil. Namun tatkala sebuah film menampilkan mantan pemimpin Avengers (di komik tentu saja) yang mempunyai level kekuatan tertinggi (“off the charts” jika meminjam pernyataan Kevin Feige), masalah tadi jadi menonjol.

Satu hal yang tak menyulut keluhan dalam benak saya adalah sosok Captain Marvel a.k.a. Carol Danvers (Brie Larson) sendiri. Carol merupakan anggota Starforce, unit militer milik Kree, ras alien dari planet Hala, yang telah sekian lama terlibat perang melawan Skrull, alien dengan kemampuan meniru wujud orang lain yang dipimpin Talos (Ben Mendelsohn). Carol berlatih di bawah bimbingan Yon-Rogg (Jude Law), yang selalu mengingatkannya agar tak membiarkan dirinya dikuasai letupan emosi. Sebab konflik batin tak pernah berhenti bergejolak dalam hati Carol. Dia kehilangan ingatan masa lalu, hanya melihat kilatan-kilatan memori berisi wajah-wajah serta kehidupan asing.

Kita tahu Carol berasal dari Bumi, dan saya makin tak sabar menantikannya pulang ketika first act filmnya tampil lemah. Hubungan guru-murid maupun persahabatannya dengan Yon-Rogg urung tampak meyakinkan, sedangkan deretan aksi yang berpusat pada pertempuran dua bangsa alien (buku Kree-Skrull War termasuk sumber adaptasi) dibungkus oleh pasangan sutradara Anna Boden-Ryan Fleck (Sugar, Mississppi Grind) lewat camerawork, mise-en-scène, plus koreografi yang menghalangi penontonnya melihat keseluruhan peristiwa. Pun seringkali, aksinya bergulir buru-buru bak pemenuh durasi semata.

Sampai fokusnya berpindah ke Bumi, barulah Captain Marvel menemukan pijakan. Aksinya membaik, meski jauh dari memorable. Setidaknya terselip paparan drama solid, pun akhirnya kita bertatap muka dengan Nick Fury (Samuel L. Jackson dalam balutan teknologi de-aging meyakinkan). Pertukaran kelakar antara Fury dengan Carol kerap melahirkan hiburan brilian berkat beberapa lelucon cerdik dalam naskah tulisan Anna Boden dan Ryan Fleck bersama Geneva Robertson-Dworet (Tomb Raider), termasuk kemunculan kucing menggemaskan bernama Goose yang bakal menjawab sebuah misteri kehidupan, “Mengapa hewan lucu satu ini sering bersikap aneh?”.

Akhirnya kita berkesempatan melihat Samuel L. Jackson memamerkan talenta bercelotehnya di film MCU secara layak, sedangkan Brie Larson menghadirkan performa yang mampu menampar telak para pembencinya. Pihak-pihak penebar komentar bernada miring soal pelitnya senyuman Captain Marvel silahkan berjongkok di sudut ruangan meratapi hidup kalian yang menyedihkan, sebab Brie Larson telah melahirkan salah satu pahlawan super dengan ekspresi paling kaya. Sang aktris piawai menangani humor baik verbal atau non-verbal, juga memiliki bobot akting dramatik yang berada di jajaran teratas di antara deretan pelakon MCU.

Terkait Carol Danvers selaku figur pahlawan, terdapat sebuah momen yang amat saya sukai ketika ia terlibat pembicaraan dengan Monica Rambeau (Akira Akbar)—puteri sahabatnya, Maria Rambeau (Lashana Lynch)—yang di komik sempat menyandang nama Captain Marvel sebelum Carol. Cara Brie menangani adegan itu, bagaimana ia tersenyum, bagaimana bahasa tubuhnya bicara, mencerminkan sosok pahlawan yang “dekat”, sehingga begitu gampang dicintai publik.

Sudah barang tentu elemen feminisme turut dialirkan dalam DNA kisahnya, yang membahas seringnya Carol, sebagai wanita, dianggap tak pantas berada di suatu tempat atau melakukan aktivitas tertentu. Sayang, alih-alih menjadi akar, elemen itu berakhir sebatas satu dari sekian banyak cabang, urung mengambil alih pusat sehingga terkesan sambil lalu. Biar demikian, secara khusus saya mengagumi sekuen kala Carol—dari berbagai fase kehidupannya—digambarkan acap kali terjatuh namun senantiasa kembali berdiri tegak.

Berangkat dari skena indie, kedua sutradara terbukti lebih solid mengharahkan momen drama low-key, seperti obrolan emosional Carol dan Maria. Tapi soal sekuen aksi lain cerita. Seperti telah disinggung sebelumnya, pekerjaan rumah mereka masih menumpuk. Hampir semua pertempuran takkan melekat lama di ingatan kecuali klimaks eksplosif penuh kilatan cahaya, yang meskipun sekali lagi stake-nya terlampau rendah, cukup efektif menegaskan peran Carol sebagai senjata pamungkas Avengers. Belum merasa cukup? Nantikan mid-credits scene yang seketika menggandakan ketidaksabaran menantikan Avengers: Endgame bulan depan.

FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD (2018)

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald adalah film yang harus disaksikan dalam format 4DX3D. Format ini memaksimalkan pendekatan David Yates—yang termasuk film ini, telah menyutradarai enam installment terakhir Wizarding World—terhadap sekuen aksi, di mana ia menghancurkan berbagai lokasi, entah lewat ilmu sihir atau amukan monster, menggerakkan kamera secara cepat, menampilkan kekacauan yang akan membuat penonton memegang erat kursi agar tak terjatuh. Sementara 3D-nya, walau tak memiliki kedalaman seberapa, dihiasi beberapa efek pop-up.

Apa jadinya jika film ini ditonton di format biasa? Anda akan tenggelam dalam usaha J. K. Rowling memuaskan penggemar seri Harry Potter memakai deretan fan service penuh referensi atau tokoh lama yang muncul acak tanpa urgensi, hanya agar para penggemar berujar “Whoaa ini kan si itu....”. Rowling tahu jika banyak dari mereka terobsesi akan keterkaitan tak terduga, memutuskan mengabulkan harapan tersebut hampir di tiap kesempatan, hingga membuat naskah tulisannya terasa bak fan fiction.

Berjudul The Crimes of Grindelwald, dan benar, sang “penyihir hitam” memang melakukan kejahatan-kejahatan, tapi sulit menampik kesan bahwa judulnya dipilih karena terdengar keren dan supaya Grindelwald (baca: Johnny Depp) jadi jualan utama. Tapi bukan masalah. Kelemahan fatal Rowling dalam bertutur bukan disebabkan tidak menjadikan kejahatan Grindelwald sebagai fokus, melainkan ketiadaan fokus.

The Crimes of Grindelwald dibuka oleh keberhasilan upaya Grindelwald kabur dari penjara berkat pengkhianatan seorang anggota kementrian sihir. Tentu saja pengkhianatan, identitas rahasia, sampai mata-mata ganda merupakan kejutan andalan Rowling, yang di titik ini tak lagi mengejutkan. Tapi jangan khawatir. Sang penulis menemukan cara baru, yang jauh lebih konyol (we’ll get there later).

Bagi si titular character, film ini mengisahkan prosesnya mengumpulkan pengikut sebanyak mungkin, namun target utamanya adalah Credence (Ezra Miller), antagonis film pertama yang rupanya mampu bertahan hidup, dan kini berada di sebuah kelompok sirkus bersama Nagini (Claudia Kim). Keduanya mengarungi perjalanann dengan tujuan menemukan siapa Credence sebenarnya, siapa orang tuanya, dan dari mana ia berasal.  Di paragraf ini saja saya sudah membahas dua subplot, dan belum menyentuh kisah si protagonis, Newt Scamander (Eddie Redmayne).

Newt ditugasi Dumbledore (Jude Law) meringkus Grindelwald, dan sekali lagi bertemu Jacob Kowalski (Dan Fogler), yang mengikuti Newt demi memenangkan lagi hati Queenie (Alison Sudol), yang kecewa akibat keengganan Jacob segera mengucap janji suci, lalu memilih mengunjungi kakaknya, Tina (Katherine Waterston), yang mana hatinya pun coba dimenangkan kembali oleh Newt. Tina sendiri tengah patah hati setelah melihat berita palsu soal pertunangan Newt dengan Leta Lestrange (Zoë Kravitz). Oh Tuhan, begitu banyak cerita. Kalau alasan kemarahan Tina terdengar bak sinetron, tunggu dulu. Anda belum melihat apa-apa.

Jajaran cast tampil baik. Sekali lagi Fogler bukan saja pengundang tawa, pula sumber hati. Konklusi film pertama mengharukan berkatnya, dan Rowling ingin memunculkan dampak serupa namun gagal. Fogler berbuat sebisanya, tapi emosi senantiasa hampa, sebab naskahnya urung menyuguhkan motivasi meyakinkan bagi keputusan salah satu karakternya (Anda akan tahu karakter yang mana). Sedangkan Jude Law sempurna memerankan Dumbledore, selain berkat kemiripan wajah dengan Michael Gambon (tanpa uban, rambut panjang, dan jenggot lebat), ia membuat saya percaya sedang melihat sosok penyihir terkuat di masa jayanya.

Lain halnya Depp. Dipandang dari segi karakterisasi, Voldemort bukan villain luar biasa, tapi pendekatan over-the-top Ralph Fiennnes menjadikannya antagonis menghibur. Sementara Depp mencoba interpretasi lebih serius, kejam, tenang, yang justru membuat Grindelwald membosankan, tak jauh beda dibanding mayoritas antagonis generik film-film blockbuster Hollywood. Eddie Redmayne sebagai Newt dengan mata lembut yang jarang menatap lawan bicaranya adalah protagonis likeable, namun ketidakfokusan naskah menghalangi penonton mencintanya lebih jauh. Newt hanya satu bidak di sebuah papan catur besar nan ramai yang di atasnya cuma terdiri atas bidak-bidak.

Rowling punya setumpuk ide yang cocok dituangkan dalam novel 700 halaman, namun bagi film berdurasi 134 menit, kisahnya bergerak liar tanpa kesan kesatuan. Pada beberapa poin, The Crimes of Grindelwald bagai midseason serial televisi yang meletakkan cabang-cabang narasi dan belum sempat menautkannya satu sama lain, sebelum ditutup oleh konklusi berbumbu kejutan khas opera sabun murahan. Saya takkan terkejut bila kelak terungkap jika rumah produksi di balik film ini adalah Sinemart dan Ezra Miller merupakan Glenn Alinskie yang menyamar.

Cara Rowling bertutur menunjukkan ketidaksiapan menulis naskah film. Rowling bergantung pada tuturan verbal, menyuruh karakternya bicara terlalu banyak, yang malah membuat alurnya bak benang kusut. The Crimes of Grindelwald adalah bentuk penceritaan amburadul. Jadi, sebagaimana Nolan menyarankan IMAX 70mm untuk Dunkirk, saya merekomendasikan 4DX3D, atau setidaknya 4DX guna menyamarkan kelemahan narasi. Aksi-aksi serunya bakal membuai, khususnya amukan Zouwu si kucing berukuran gajah dari Cina. Walau lagi-lagi, Rowling perlu memperbaiki penulisan klimaks, yang sejak era Harry Potter, selalu lebih kuat di pembangunan ketimbang payoff. Klimaks ciptaan Rowling acap kali bukan “puncak”, melainkan sekedar satu lagi aksi yang bahkan bukan spectacle terbesar di sepanjang cerita.

Dan bukankah serupa tajuknya, seri ini mestinya mengeksplorasi mitologi Fantastic Beasts? Mengapa makhluk-makhluk ajaib tersebut hanya berguna mengeskalasi aksi atau senjata komedi namun punya pengaruh minim pada plot? Entahlah. Alurnya datang dari penulis yang menyebut mitologi “Naga” berasal dari Indonesia. So, yeah.....

KING ARTHUR: LEGEND OF THE SWORD (2017)

King Arthur of Camelot. Demikian figur legendaris Kerajaan Inggris itu jamak disebut. Figur yang bukan saja tak diketahui pasti kapan eksistensinya, pun apakah ia benar-benar nyata atau cerita rakyat belaka. Ambiguitas tersebut dimanfaatkan benar oleh Guy Ritchie bersama Lionel Wigram dan Joby Harold untuk merangkai kisah fantasi berisi penyihir (karakter reguler mitologi Raja Arthur), siluman ular (atau belut?), sampai gajah dan ular raksasa. Bagus tidaknya layak diperdebatkan, tapi satu hal pasti, King Arthur: Legend of the Sword  yang rencananya merupakan film pertama dari enam seri  bukan tipikal suguhan medieval bergaya ortodoks. 

Film dibuka oleh serbuan penyihir bernama Mordred (Rob Knighton) terhadap kastil Camelot yang memberi garansi pengalaman menonton maksimal di layar raksasa (IMAX, Sphere X). Raja Uther Pendragon (Eric Bana) bersenjatakan pedang Excalibur sanggup meruntuhkan pasukan Mordred, meski tanpa diketahui, ancaman sesungguhnya datang dari ambisi kudeta sang adik, Vortigern (Jude Law). Pendragon tewas, Excalibur hilang, dan Vortigern naik tahta. Sampai beberapa tahun kemudian pedang itu muncul lagi bersama kabar keberadaan darah daging Pendragon, Arthur (Charlie Hunnam) yang selama ini hidup sebagai rakyat biasa di suatu rumah bordil. 
Bagaimana Guy Ritchie beserta segala gaya rock and roll-nya bersanding dengan nuansa masa lalu khas medieval? Sekilas kontradiktif, tapi toh Warner Bros. sepertinya memang bertujuan menghasilkan middle ages blockbuster bagi generasi millennial. Basa-basi Shakesperean dibuang jauh bersama penjabaran tumbuh kembang Arthur dari bocah pewaris tahta terbuang jadi pria begajulan jago berkelahi. Ritchie merangkum rentang masa belasan tahun itu ke dalam montage ditemani iringan musik industrial gubahan Daniel Pemberton yang cakap menggabungkan musik folk Britania Raya dann dentuman elektronik, hingga konsisten menghembuskan tenaga bagi tiap adegan. 

Keputusan di atas jelas meniadakan babak penting pengembangan karakter, namun King Arthur: Legend of the Sword memang cuma punya satu tujuan: terlihat asyik. Dan memang benar, film ini gemar mengumbar gaya asyik, bahkan untuk perbincangan sederhana Arthur dengan pasukan kerajaan yang dibungkus lontaran kalimat cepat, perpindahan adegan lincah (kalau bukan ngebut), plus comedic manner, kombinasi yang mengingatkan akan masa keemasan awal karir Ritchie. Jadi jangan harapkan pula ketepatan unsur sejarah, sebab ini adalah film ber-setting sekitar abad keenam atau kelima di mana para tokohnya mengucapkan "fuck" atau "dance floor". 
Kemudian tercipta masalah yang serba salah. Gaya Ritchie efektif hanya di beberapa kemunculan awal, berikutnya berujung repetitif nan melelahkan. Namun tanpanya, film kehilangan daya akibat bergantung pada cerita pun tokoh-tokoh medioker yang mudah terlupakan. Mencapai pertengahan durasi kala konflik mulai memanas, penulisan dialog tajam Ritchie hilang tak berbekas. Karakternya bertingkah terlampau serius, termasuk Arthur yang perlahan kehilangan aura bad boy, padahal Charlie Hunnam terbukti piawai menangani karakterisasi tersebut. Ketika bertarung, tak ada interaksi atau celotehan tokoh di mana mereka sekedar menebas pedang ke sana kemari. Hambar. 

Keengganan mengendurkan urat tatkala konflik tereskalasi memang logis tapi bak mengkhianati tujuan awal filmnya yang tak mempedulikan akal sehat termasuk soal pengembangan karakter atas nama hiburan mengasyikkan. Setidaknya Ritchie masih memiliki visi jelas soal kemasan "seenaknya". Meski akhirnya ditutup oleh klimaks penuh CGI yang secara intensitas pula kreativitas justru paling lemah dibanding gelaran aksi-aksi sebelumnya, King Arthur: Legend of the Sword masih dua jam spectacle sepintas lalu yang layak coba. Bagai mabuk, anda mungkin lupa mayoritas poin di dalamnya begitu usai, namun ingat kalau baru saja menghabiskan waktu yang menyenangkan. Karena kapan lagi kita mendapati pengalaman trippy Raja Arthur berhalusinasi, melihat monster di penjuru hutan? 

ANNA KARENINA (2012)

Sutradara Joe Wright memang telah dikenal lewat kemampuannya dalam membuat film period drama. Hal itu bisa dilihat dari dua film yang melambungkan namanya, yakni Pride and Prejudice dan Atonement. Setelah dua non-period drama yakni The Soloist dan Hanna, Joe Wright kembali ke spesialisasinya lewat Anna Karenina, sebuah adaptasi dari novel klasik berjudul sama karangan Leo Tolstoy yang terbit pada 1877. Ini bukanlah kali pertama Anna Karenina diangkat menjadi sebuah film. Sebelumnya sudah ada sekitar sembilan film yang kisahnya merupakan adaptasi dari novel tersebut. Dalam film ini Joe Wright juga kembali berkolaborasi dengan aktris Keira Knightley yang selalu bermain dalam film period drama yang ia buat sebelum ini. Saya sendiri tidak terlalu menyukai film-film period drama karena kisah dan dialognya yang sering terkesan bertele-tele karena memang punya setting waktu bukan di zaman sekarang. Tapi film yang disutradarai oleh Joe Wright memang sayang untuk dilewatkan. Apalagi kabarnya Anna Karenina dibuat dengan teknik yang cukup unik dimana mayoritas filmnya dibuat diatas panggung besar dan membuat konsep filmnya seperti sebuah pertunjukkan teater.

Kisahnya berlatar di Rusia pada tahun 1847 dimana Anna Karenina (Keira Knightley) sedang melakukan perjalanan dari St. Petersburgh menuju Moscow untuk mengunjungi kakaknya, Oblonsky (Matthew McFadyen) yang saat itu tengah menglamai permasalahan dengan sang istri. Di kereta, Anna bertemu dengan Countess Vronskaya (Olivia Williams) yang kemudian mengenalkan Anna dengan puteranya, Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson). Perkenalan tersebut ternyata menjadi awal benih cinta yang terjalin antara Anna dan Vronsky. Tapi kisah cinta tersebut tentunya tidak mudah terwujud, bahkan bisa dibilang terlarang, karena saat itu Anna sudah menikah dengan Alexei Karenin (Jude Law), seorang politisi sekaligus orang yang sangat dihormati di St. Petersburgh. Sedangkan Vronsky sendiri tengah menjalin hubungan dengan Kitty (Alicia Vikander) yang tidak lain adalah adik dari istri Oblonsky. Tapi Anna Karenina  tidak hanya menyoroti kisah cinta Anna belaka, karena film ini ini juga akan menceritakan tentang kisah Konstatin Levin (Domhnall Gleeson), seorang land owner yang cintanya ditolak oleh Kitty.

Anna Karenina adalah sebuah film yang ambisius. Ambisius dilihat baik dari sisi konsep bagaimana filmnya dikemas dan ambisius dilihat dari konten cerita yang coba disampaikan. Seperti yang sudah saya singgung diawal, Joe Wright cukup berani dalam mengemas film ini layaknya sebuah drama panggung. Menonton Anna Karenina di beberapa bagiannya serasa seperti menonton pertunjukkan teater di panggung raksasa dengan setting panggung yang luar biasa mewah. Jujur saya menyukai pengemasan tersebut. Terasa unik dan menyenangkan melihat satu setting berganti dengan yang lain secara manual layaknya pentas teater dan para aktornya yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara kontinyu seperti diatas panggung. Joe Wright pantas mendapat pujian karena mampu mengemas konsep yang unik ini dengan begitu rapih. Namun sayangnya secara keseluruhan penggunaan konsep ini saya rasa masih setengah-setengah. Ada beberapa adegan yang tidak terasa suasana panggungnya. Jika memang ingin memakai teknik ini kenapa tidak sekalian saja semua adegan dikemas begitu? Jika alasannya adalah tidak semua adegan bisa mendapat perlakuan seperti itu saya rasa sebaiknya sekalian saja tidak memakai konsep seperti ini. 
Selain mengincar keunikan dalam proses kreatifnya, manfaat penggunaan konsep ini juga kurang terasa. Kelebihan pementasan teater dibanding film adalah semuanya berjalan secara langsung sehingga emosi para aktor terasa begitu nyata. Dalam film, salah satu cara yang sering dipakai adalah penggunaan continous shot yang akan membuat rangkaian adegan yang satu dengan yang lain terasa nyata dan mengalir dengan alami. Teknik seperti ini sebenarnya sudah pernah digunakan oleh Joe Wright dalam Atonement, namun sayangnya dia tidak mengeksplorasi lagi teknik ini dalam Anna Karenina. Padahal jika continous shot diterapkan dalam konsep drama panggung film ini saya yakin hasil akhirnya akan lebih maksimal. Tapi biar bagaimanapun apa yang ditampilkan oleh Joe Wright dalam film ini sudah memberikan keunikan tersendiri. Apalagi tiap-tiap adegan punya sinematografi yang begitu indah yang terlihat mulai dari desain panggung hingga bagaimana para aktor baik utama ataupun figuran bergerak diatas panggung. Jika ada pementasan teater dengan tata panggung dan properti semacam ini saya akan dengan senang hati merogoh kocek dalam untuk menontonnya.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, Anna Karenina juga terasa ambisius ditengok dari cerita yang coba disajikan. Keseluruhan ceritanya berkisah tentang cinta, namun apa saja yang coba diangkat dari sebuah tema cinta tersebut begitu banyak, begitu juga konflik dan karakter yang tersaji dalam keseluruhan kisahnya. Anna Karenina berkisah tentang sebuah pertentangan antara cinta sejati dan nafsu yang pada akhirnya berujung pada perselingkuhan. Film ini menyoroti bagaimana sifat dasar manusia yang tidak pernah puas terhadap apa yang ia miliki termasuk dalam urusan percintaan. Tema yang kedengarannya sederhana tersebut bisa menjadi begitu kompleks dan membingungkan jika tokoh yang terlibat terlalu banyak. Hal itulah yang terjadi dalam Anna Karenina. Tidak hanya kisah Anna dan perselingkuhannya yang disorot, tapi film ini juga kadang berpindah dan ganti menyoroti perjuangan cinta dan pencarian kebahagiaan hidup dari Konstatin Levin. Kisahnya menjadi tidak fokus dan akhirnya saya tidak merasa terlalu terikat dan tersentuh dengan kisah tragedi percintaan ini. Disaat saya sudah mulai terbawa oleh ceritanya, tiba-tiba film ini berganti fokus kepada kisah yang lain.

Selain itu, dengan banyaknya kisah yang coba diangkat, film ini menjadi terasa terlalu lama. Andai kisah seputar Konstatin Levin tidak terlalu diangkat, mungkin filmnya bisa "menghemat" sekitar 10 menit durasi, bahkan mungkin lebih. Pada akhirnya durasi hampir mencapai 130 menit menjadi terasa terlalu panjang. Karya terbaru Joe Wright ini memang pada akhirnya terasa tanggung dan kurang maksimal, tapi setidaknya dengan tata produksi yang unik, dasar cerita yang punya kedalaman emosi dan akting para pemainnya yang bagus khususnya Keira Kngihtley masih membuat Anna Karenina menjadi tontonan yang masih cukup menarik diikuti. Kemudian dari empat nominasi Oscar yang didapat, setidaknya untuk kategori Best Production Design dan Best Costume Desgin film ini hampir pasti mengunci kemenangannya.


CONTAGION (2011)

Steven Soderbergh kembali menampilkan banyak bintang besar dalam film filmnya setelah dulu membentuk super team dalam trilogi Ocean. Kali ini malah lebih luar biasa lagi karena yang muncul adalah bintang-bintang kelas Oscar macam Matt Damon, Marion Cotillard, Gwyneth Paltrow dan Kate Winslet. Ada juga nama Jude Law, Laurence Fisburne, sampai John Hawkes. "Contagion" menceritakan mengenai penyebaran sebuah virus tak dikenal yang mencakup seluruh dunia dan menyebabkan kematian puluhan juta jiwa hanya dalam waktu singkat. Awal penyebaran virus ini bermula dari jatuh sakitnya Beth (Gwyneth Paltrow) yang baru saja pulang dari urusan bisnis di Chicago.

Beth yang awalnya mengira hanya terkena flu tiba-tiba saja mengalami kejang-kejang saat berada dirumah bersama suaminya, Mitch (Matt Damon). Beth yang dibawa kerumah sakit nyawanya tak tertolong. Bahkan putera mereka juga akhirnya meninggal disaat Mitch baru kembali dari rumah sakit. Virus itu mulai menyebar dengan amat cepat ke seluruh dunia dan mulai banyak menimbulkan kasus yang berujung kematian. Dr. Cheever (Laurence Fishburne) mendapat tugas meneliti wabah ini dan memutuskan mengirim Dr. Erin Mears (Kate Winslet) untuk meneliti dan mencari tahu dari siapakah asal mula wabah ini. Dr. Leonora (Marion Cotillard) dari WHO juga turut menyelidiki virus ini di Hong Kong, tempat Beth singgah transit saat pulang. Di lain pihak, Alan (Jude Law) yang merupakan seorang blogger menulis banyak posting kontroversial mengenai wabah itu dan menuduh adanya konspirasi dari berbagai pihak untuk menyembunyikan vaksin.
"Contagion" sama sekali bukanlah film yang mencoba menyuguhkan efek penyebaran virus secara berlebihan dan menggambarkan post-apocalyptic. Daripada itu, film ini tampil layaknya sebuah film tentang kesehatan. Kita akan disuguhi berbagai macam fakta kesehatan dan istilah-istilah didalamnya. Tapi jangan salah, pembabaran dari Soderbergh tidak akan membuat kita pusing dan bosan, tapi justru akan mengangguk-anggukan kepala setelah menemui berbagai pengetahuan baru dari film ini.
Saya angkat jempol untuk naskah yang ditulis Scott Z. Burns ini yang dengan begitu baik mampu merangkum drama dari tiap-tiap karakter yang diteror oleh virus dengan berbagai pengetahuan-pengetahuan ilmu kesehatan. Bermacam isu sosial politik juga tidak lupa diangkat, seperti bagaimana respon pemerintah dalam menanggapi penyebaran virus, kisah mengenai konspirasi bahwa orang dalam dan orang terdekat merekalah yang mendapat pertolongan terlebih dahulu bila terjadi wabah dan semacamnya, sampai mengenai isu dan berita-berita yang heboh namun kadang tidak pasti dari internet. Semua itu ada dalam dunia nyata sehingga membuat film ini lebih realistis.

Tapi cara film ini bercerita memang agak kurang bersahabat bagi penonton yang mencari film mengenai wabah penyakit mengerikan dan mengutamakan ketegangan daripada drama. Saya sendiri merasa film ini agak kurang dalam menyajikan ketegangannya. Selain itu beberapa karakter porsinya agak kurang, dan sayangnya Marion Cotillard yang notabene aktris favorit saya justru mendapat peran yang bisa dibilang kurang penting. Untungnya tiap kemunculannya dia selalu bisa membuat saya terpaku karena seperti biasa dia tampil cantik dan anggun. Akting para pemain lain juga bagus khususnya pada Kate Winslet dan Jude Law dimana mereka berdua juga punya karakterisasi yang menarik khususnya Jude Law.

Secara keseluruhan "Contagion" adalah sebuah film yang menarik dalam pemaparannya dan banyak memberikan pengetahuan baru pada penonton meskipun agak kurang dalam membangun keteganga. Steven Soderbergh juga kembali berhasil menyatukan berbagai bintang besar dengan cukup baik tanpa ketimpangan yang berarti. Sebuah film tentang penyebaran wabah yang memang ditampilkan secara cerdas tapi jika urusan ketegangan sayangnya tidak begitu. Tapi film ini tetap memberikan efek bagi penontonnya yang mungkin akan berpikir dua kali untuk menyentuh wajahnya, bahkan untuk sekedar batuk saat menonton film ini dalam bioskop.