RETROSPECTIVE REVIEW - PIETA (2012)
Ini bukan pertama kali saya menonton ulang sebuah film, karena beberapa film pun sampai saya tonton lima kali bahkan lebih karena saya begitu menyukai film tersebut (ex: Pulp Fiction, (500) Days of Summer). Tapi baru kali ini saya menonton ulang sebuah film untuk mendapatkan sudut pandang baru terhadap film tersebut dan menuliskan lagi reviewnya di blog ini. Sekitar tujuh bulan yang lalu saya menonton Pieta, film garapan Kim Ki-duk yang berhasil memenangi Golden Lion di Venice Film Festival, atau dengan kata lain menjadi film terbaik di festival tersebut dan menandai sejarah sebagai sutradara Korea pertama yang filmnya berhasil menajdi yang terbaik di satu dari tiga festival film paling prestisius (Cannes, Venice, Berlin). Saat itu dengan antusiasme dan ekspektasi tinggi saya menonton Pieta. Harapannya saya akan mendapati film-film indah penuh perenungan ala Ki-duk yang bisa ditemui dalam 3-Iron ataupun Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring. Tapi ternyata Kim Ki-duk menghadirkan film terbarunya tersebut secara lebih sederhana, lebih "kotor" dan keras. Memang kekerasan tidak pernah lepas dari film-filmnya, tapi keindahan serta pemaknaan mendalam yang saya harapkan tidak saya temui di Pieta yang nampak seperti revenge movie standar Korea. Saya pun kecewa pada saat itu.
Beberapa waktu terakhir ini saya sedang banyak menonton film-film Kim Ki-duk termasuk banyak diantaranya film-film lama sang sutradara yang rilis pada akhir 90-an sampai awal tahun 2000-an. Dari situ saya mulai menemui berbagai sisi lain dari Kim Ki-duk. Jika sebelumnya saya hanya memandang Kim sebagai sutradara dengan film-film indah yang mengalun nyaris tanpa dialog, apa yang ia tampilkan di awal karir ternyata cukup berbeda. Tingkat kekerasan yang sudah saya lihat di beberapa filmnya berada dalam porsi yang lebih banyak dan lebih kasar di era awal Kim Ki-duk. Karakter yang ada lebih kasar dan tidak selalu bisu. Gambar-gambar indah sedikit berkurang diganti dengan gambar-gambar penuh ironi dan atmosfer kelam yang entah bagaimana terasa indah. Saya pun teringat Pieta yang mempunyai gaya lebih mirip dengan awal karir Kim dibandingkan sebelum ia vakum pada 2009 dan 2010. Saya mulai berpikir, apakah sebenarnya Pieta jauh lebih baik daripada yang saya anggap saat pertama kali menontonnya? Apakah penilaian saya waktu itu murni karena ekspektasi yang sangat tidak terpenuhi? Kenyataan yang berbeda dengan ekspektasi entah itu dari segi kualitas ataupun tipikal film sudah sering saya rasakan tapi baru kali ini hal tersebut membuat saya menonton ulang film tersebut. Alasannya jelas: Ini Kim Ki-duk.
Menengok kembali Pieta saya pun merasa keliru memandang film ini pada waktu pertama kali. Pieta memang berkaitan dengan balas dendam, dan paruh keduanya berisikan hal tersebut yang pada akhirnya berujung pada sebuah twist. Sebuah twist yang bagi saya tidak terlalu mengejutkan. Pada kesempatan menonton yang kedua kalinya saya makin menyadari bahwa sebenarnya ada begitu banyak hint yang ditebarkan oleh Kim Ki-duk berkaitan dengan twist tersebut. Dari situlah saya akhirnya sadar bahwa apa yang coba diperlihatkan oleh Kim bukanlah sebuah twist yang sakit dan mengejutkan. Hal itu saya anggap sebagai bonus, namun hal utamanya adalah kedalaman karakter yang ada. Kim memilih mengorbankan kerahasiaan twist-nya demi karakterisasi yang lebih mendalam dari sosok Jang Mi-sun entah itu dari dialog yang ia ucapkan maupun dari beberapa perilaku yang ia perbuat sebelum twist itu datang. Kim nampaknya sadr jika ia lebih memilih kerahasiaan akan kejutannya, twist yang muncul bisa jadi terasa dipaksakan dan membohongi penonton. Untuk itulah beberapa hint disebar supaya karakter Jang Mi-sun bisa lebih mendalam lagi.
Tapi meski anda berhasil menebak twist-nya, cara Kim merangkum kejutan serta ending akan selalu terasa mengejutkan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa film-film Kim Ki-duk akan berakhir jika tidak dengan ambigu, adegan penuh simbol ataupun dengan adegan shocking yang dieksekusi dengan begitu indahnya. Biasanya adegan itu akan berisi sebuah keputusan ekstrim dari karakternya yang akan membuat ending-nya terasa menyentak. Sekali lagi hal tersebut juga kembali muncul di Pieta. Dengan iringan musik yang indah, sebuah mobil pick-up berjalan lambat di pagi buta sambil meninggalkan jejak darah yang mengalir di sepanjang jalan yang telah dilalui. Lagi-lagi sebuah momen yang akan membuat penontonnya terpaku. Selain itu, melihat Pieta untuk kedua kalinya membuat saya lebih bisa merasakan emosi-emosi yang muncul pada saat karakter Kang-do dan Mi-sun saling berinteraksi. Ya, kembali sebuah kisah cinta yang aneh ditampilkan oleh Kim disini. Momen bahagia yang terjalin singkat antara mereka berdua terasa semakin indah kali ini, dan momen akhir yang mengenaskan itu semakin terasa menyentuh sekarang. Momen-momen seperti saat Kang-do ingin "kembali" kedalam vagina Mi-sun terasa lebih menyakitkan saat saya tonton sekarang. Atmosfer filmnya terasa lebih depresi namun saya jadi lebih bisa menangkap segala emosi yang ditawarkan oleh ceritanya.
Mungkin benar bahwa Pieta merupakan salah satu film Kim Ki-duk yang paling mudah ditonton. Tidak ada adegan seksua vulgar juga tidak ada adegan kekerasan yang ditampilkan dengan begitu gamblang. Namun di samping kedua hal tersebut, Pieta punya caranya sendiri untuk tetap terasa menyakitkan, karena kisah cinta aneh yang ditampilkan Ki-duk kali ini bukan hanya sekedar sepasang kekasih melainkan ibu dan anak. Pieta makin memperjelas bahwa Kim Ki-duk tengah memasuki fase ketiga dalam karirnya sebagai sutradara yang sudah 17 tahun dan tahun ini ia akan segera merilis filmnya yang ke-19 dengan judul Moebius. Fase pertama karirnya dimulai dari Crocodile (1996) hingga The Coast Guard (2002) yang berisi film-film penuh kekerasan dan terasa lebih raw. Fase kedua adalah Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring (2003) hingga Dream (2008) yang lebih banyak berisi perenungan dan film-film minim dialog namun berisi gambar-gambar indah meski tetap dipenuhi kekerasan dan seks. Fase kedua bisa saja bertahan hingga akhir karirnya jika tidak ada insiden kecelakaan di lokasi syuting Dream yang membuatnya mengasingkan diri. Arirang (2011) bisa dibilang adalah transisi menuju fase ketiga yang dimulai oleh Amen (2011), sebuah fase yang nampaknya menggabungkan ciri dua fase pertamanya namun lebih kental unsur fase pertama. Maka jangan heran jika Moebius nantinya lebih terasa seperti Bad Guy daripada Samaritan Girl misalkan.
Menonton Pieta untuk kedua kalinya saya mendapatkan beberapa hal abru yang membuat filmnya terasa lebih bagus di mata saya. Pada akhirnya saya pun tertarik menonton ulang beberapa film Kim Ki-duk yang berakhir tidak terlalu memuaskan seperti Amen dan Time. Untuk membaca review lengkap dari Pieta bisa klik disini karena dalam tulisan ini saya tidak menuliskan beberapa aspek yang sudah saya bahas di review yang pertama.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar