AMERICAN HORROR STORY - COVEN (2013)

2 komentar

 
Serial American Horror Story memasuki musim ketiganya setelah musim keduanya yang merupakan peningkatan drastis dari musim pertamanya itu. (Review season 1 dan season 2). Jadi setelah rumah hantu dan rumah sakit jiwa yang penuh kegilaan itu, serial buatan Ryan Murphy dan Brad Falchuk ini akan membawa kita ke sebuah dunia penuh penyihir dan ilmu hitam. Seperti judulnya, Coven adalah kisah tentang sebuah "perkumpulan" wanita yang berkedok sebuah sekolah tapi di sesungguhnya merupakan tempat untuk membimbing para penyihir muda yang masih berusaha mengendalikan potensi kekuatan mereka. Sekolah yang terletak di New Orleans ini dikepalai oleh Cordelia Foxx (Sarah Paulson). Cordelia sendiri adalah wanita yang baik dan begitu menyayangi murid-muridnya yang masih belum bisa mengendalikan kekuatan dan belum mengetahui bagaimana menyikapi jati diri mereka sebagai seorang penyihir. Meski Cordelia adalah kepala dari "sekolah" tersebut, sampai sekarang ia masih hidup di bawah bayang-bayang sang ibu, Fiona Goode (Jessica Lange) yang merupakan "Supreme" alias pemimpin dari Coven tersebut. "Supreme" adalah penyihir yang dianggap terkuat, dan menguasai tujuh kekuatan berbeda, dimana sebelum dipilih ia akan melalui tes yang bernama "The Seven Wonders". Meski bertugas melindungi kaumnya, Fiona adalah supreme yang egois dan hanya memikirkan kenikmatan hidup serta kekuasaannya sendiri.
The coven
Disaat sang supreme terlihat tidak mempedulikan para kaumnya, coven tersebut tengah terancam karena jumlah mereka semakin lama semakin berkurang. Selain Cordelia dan Fiona, di tempat itu hanya ada empat gadis lainnya. Para gadis yang tinggal disana memiliki berbagai macam kekuatan yang berbeda-beda. Zoe Benson (Taissa Farmiga) sang murid baru bisa membunuh semua orang yang berhubungan seks dengannya, termasuk pacarnya yang tewas mengenaskan saat berhubungan seks dengan Zoe. Ada juga Madison Montgomery (Emma Roberts), mantan aktris Hollywood yang kecanduan drugs punya kemampuan memindahkan benda dengan pikirannya. Queenie (Gabourey Sidibe) adalah human voodoo doll yang bisa memindahkan luka serta rasa sakit pada tubuhnya ke orang lain. Terakhir ada nan (Jamie Brewer), seorang gadis dengan down syndrome yang bisa mendengar isi pikiran orang lain. Mereka berempat seharusnya saling melindungi satu sama lain dalam kondisi coven yang tengah diterpa krisis seperti sekarang ini, tapi ego masing-masing dari mereka menghambat itu. Madison dengan segala keegoisan dan tingkah ala superstarnya selalu membuat masalah termasuk saat ia membunuh para remaja pria setelah ia diperkosa oleh mereka. Salah satu yang tewas adalah Kyle (Evan Peters), pria yang memendam perasaan pada Zoe, begitu juga sebaliknya. Konflik lain pun mulai muncul satu demi satu, mulai dari ancaman para witch hunter, pertempuran abadi dengan pengguna voodoo pimpinan Marie Laveau (Angela Bassett), bahkan ancaman dari dalam akibat ambisi Fiona untuk terus berkuasa sebagai supreme.
Super-crazy-bitch-witch

Seperti Asylum, sebenarnya Coven tidaklah dimulai dengan begitu meyakinkan. Bitchcraft yang merupakan episode pertamanya tidak berhasil memberikan "gedoran' horor seperti seharusnya. Bahkan episode pertama dari musim keduanya masih punya sentuhan horor yang lumayan dengan kemunculan Bloody Face. Sedangkan musim ketiga ini dibuka dengan biasa saja. Ada para penyihir dengan kemampuan yang unik tapi tidak ada cengkeraman horor seperti yang biasa dilakukan oleh episode-episode pembuka AHS sebelumnya. Barulah pada episode kedua Coven tancap gas. Setelah penemuan Madame Laurie beserta kisah masa lalunya yang penuh kesadisan, musim ketiga ini terus berjalan cepat bahkan terus melaju dengan berbagai kegilaan horornya yang menyenangkan. Pendapat penonton akan Coven memang terpecah. Ada yang menyebutnya sebagai musim terbaik, ada pula yang mencelanya sebagai sajian terburuk dari rangkaian kegemilangan AHS. Saya pun mengerti alasan perbedaan pendapat tersebut. Tidak seperti Asylum yang meski penuh dengan kegilaan serta darah dimana-mana namun tetap punya jalinan kisah yang kompleks dan bisa dibilang cerdas, Coven lebih berkonsentrasi menyajikan hiburan. Paruh pertama musimnya lebih terasa sebagai sebuah film eksploitasi yang campy dengan darah bermuncratan, tubuh yang dimutilasi dan berbagai momen gore lainnya. Bicara soal tingkat gore, musim ketiga AHS ini memang tidak tertandingi. Menonton Coven bagaikan gabungan dari torture porn macam Hostel dengan b-horor seperti Evil Dead dan Braindead-nya Peter Jackson.
New Orleans zombie chainsaw massacre!
Bahkan jika bicara tentang Evil Dead, episode kelima yang berjudul Burn, Witch. Burn! merupakan sebuah tribute yang menyenangkan lengkap dengan zombie dan gergaji mesin. Tentu saja bergalon-galon darah. Dari awal sampai akhir, Coven berjalan dengan begitu cepat, penuh ketegangan dan eksploitasi yang membuatnya tidak pernah terasa membosankan dan menjadi sebuah sajian horor yang luar biasa menghibur. Memang semua itu membuat musim ketiganya ini terasa mengorbankan keseramannya, tapi toh bukannya tidak ada horor sama sekali. Daripada horor yang membuat penontonnya ketakutan atau terhentak, Coven lebih mengarah kepada horor eksploitas yang disturbing, gory dan menyakitkan. Mungkin inilah yang membuat banyak orang menyebut musim ketiga sebagai yang terburuk. Tapi saya tidak masalah, karena toh semuanya masih sangat menyenangkan. Tapi jika ada hal negatif dari Coven sebenarnya itu adalah kekurangan dari AHS yang terus terulang dari musim pertama sampai ketiga ini, yaitu penyuguhan berbagai konflik yang begitu cepat muncul dan begitu cepat selesai. Banyak konflik yang terlihat sebagai sebuah ancaman major tiba-tiba saja terselesaikan dan kemudian langsung dipaksakan berlanjut ke konflik berikutnya yang mendapatkan perlakuan sama. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya cerita dalam AHS, dan penyelesaiannya yang cepat terasa disengaja supaya tidak terasa bertele-tele dan menjaga temponya supaya tidak melambat. Maksud yang bagus tapi sayangnya tidak berhasil dengan bagus pula.
The immortal racist bitch
Jika Murder House punya cerita yang cukup kompleks tapi tidak terlalu "sesak", beda halnya dengan Asylum dan Coven. Kisahnya nampak begitu kompleks dan rumit, begitu pula dengan hubungan antar karakternya. Saya yakin jika anda terlewat satu episode saja, anda akan kesulitan memahami apa yang terjadi serta hubungan yang terjalin antar karakternya. Menjaga tempo memang baik, tapi lebih penting lagi membuat penonton terikat dengan konfliknya. Sebenarnya Coven berhasil membuat saya terikat dengan tiap-tiap konfliknya, hanya saja konklusi yang mendadak dan terkesan menggampangkan membuatnya terasa mengecewakan. Saya suka konflik tentang Fiona, seorang karakter yang kompleks dan mirip dengan karakter yang dimainkan oleh Jessica Lange di musim-musim sebelumnya. Wanita yang bitchy, egois, mudah dibenci, tapi ada hal lain dalam dirinya yang bisa saja setiap saat mengambil simpati penonton. Saya selalu menyukai karakter yang ia perankan termasuk Fiona karena hal itu. Saya bisa membencinya, tapi juga bisa menyukainya. Kisah menarik lainnya adalah tentang Madame LaLaurie yang dimainkan oleh Kathy Bates yang fenomenal itu. Ada kisah redemption yang menarik, menyentuh sebelum akhirnya di-twist dengan "kejam' mendekati akhir musim. Bicara soal karakter, saya tentunya masih menyukai Lily Rabe yang kini berperan sebagai penyihir eksentrik bernama Misty yang bisa membangkitkan orang mati. Seperti musim sebelumnya, Lily Rabe menghadirkan karakter yang menggoda (I love her!)
The super-hot witch
Ya, tentu saja akan ada banyak twist gila yang tidak terduga disini. Kebanyakan twist-nya mengandung kesan tragis yang kelam, termasuk banyak konklusi pada finale-nya. Untuk finale-nya bagi saya pribadi adalah yang terbaik dibandingkan dua musim sebelumnya. Masih ada penyelesaian yang terburu-buru memang, tapi hadirnya banyak momen shocking membuatnya terasa lebih menggigit. Saya sebelumnya berharap akan ada pertempuran epic antara penyihir melawan voodoo atau pemburu penyihir sebelum akhirnya kedua konflik itu diselesaikan dengan...yah terburu-buru. Tapi ada kisah setimpal tentang The Seven Wonders yang sanggup membuat saya bisa tersenyum lebar. 
The Seven Wonders
Untuk teknisnya sendiri, Coven masih dihiasi scoring indah mulai dari La La La milik James Levine sampai Sarabande milik Handel. Masih ada juga opening sequence yang semakin gila dan kali ini mengambil setting outdoor. Secara keseluruhan Coven masih melanjutkan perjalanan brilian dari serial American Horror Story. Penuh dengan cerita serta karakter yang sinting dan twisted, jalinan cerita kompleks, dan kali ini tersaji dengan lebih cepat dan lebih campy. Tapi siapa peduli AHS menjadi campy selama masih ada kegilaan dan hiburan mengerikan yang asyik. Lagipula hal ini membuatnya terasa fresh.  I prefer Asylum, but Coven is better than Murder House, also the funniest one. Tidak sabar rasanya menantikan musim keempatnya yang bertajuk Freak Show.

2 komentar :

Comment Page:
Cella mengatakan...

Kemarin baru liat episode 1 nya aja, trus berasa agak bosen, . Harus dilanjutin dulu ya ke episode 2 baru ga bisa berhenti? hehe

Rasyidharry mengatakan...

Yap, episode 1 rada ngebosenin emang, tapi habis itu baru tancep gas :D