NOAH (2014)

2 komentar
Film Noah merupakan film adaptasi karya Darren Aronofsky dari kisah Noah dari alkitab atau lebih dikenal sebagai Nabi Nuh dalam Al Qur'an milik umat Islam. Tentu saja tidak perlu menjadi seorang yang taat beragaman untuk tahu setidaknya dasar cerita dari Noah. Hampir semua orang tahu tentang bahtera yang ia bangun untuk menampung umat dan para hewan dari banjir bandang raksasa yang diturunkan oleh Tuhan untuk menyapu para pendosa dari muka Bumi. Memang menarik menanti karya baru dari Aronofsky setelah Black Swan yang rilis empat tahun lalu, namun perilisan Noah tidak hanya menarik ditunggu karena sosok Aronofsky dan para bintangnya macam Russell Crowe, Anthony Hopkins, Jennifer Connelly hingga Emma Watson melainan juga karena kontroversi yang selalu mengiringi film ini. Baik umat Kristen maupun Islam sama-sama banyak memprotes pembuatan film ini, termasuk di Indoneia yang melarang perilisan film ini karena dianggap bisa mempengaruhi keimanan umat. Nyatanya kontroversi dan berbagai pencekalan yang ada tidak membuat ini ditinggalkan penonton, terbukti dengan keberhasilannya meraup pendapatan diatas $359 juta untuk peredarannya di seluruh dunia. Pertanyaannya adalah seberaa kontroversial sebenarnya film ini?

Noah (Russell Crowe) adalah keturunan ke-8 dari Adam atau lebih tepatnya keturunan dari Seth, salah satu anak dari Adam. Noah yang pada saat kecil menyaksikan sang ayah, Lamech (Marton Csokas) dibunuh oleh Tubal-cain (Ray Winstone) tumbuh menjadi seorang pria baik yang menikah dengan Naameh (Jennifer Connelly) dan dari pernikahan tersebut mempunyai tiga orang anak laki-laki. Noah adalah sosok orang yang begitu menghargai alam, kehidupan dan percaya bahwa ia mengemban tugas untuk melakukan perintah dari sang pencipta (baca: Tuhan). Suatu hari Noah mendapatkan sebuah mimpi yang ia yakini sebagai sebuah pertanda dari Sang Pencipta. Dalam mimpi itu Noah melihat pemandangan mengerikan saat dunia terendam air dan semua umat manusia tewas tenggelam. Dari mimpi itulah Noah percaya bahwa Sang Pencipta akan melakukan penghakiman pada umat manusia yang telah banyak berbuat dosa dan menghancurkan Bumi dengan cara melenyapkan seluruh umat manusia lewat banjir besar. Noah yang masih bingung harus melakukan apa memutuskan untuk menemui kakeknya, Methuselah (Anthony Hopkins). Pertemuan tersebut memberikan Noah petunjuk dan akhirnya memutuskan untuk membuat bahtera raksasa dengan bantuan para malaikat yang terjebak dalam tubuh raksasa batu bernama "The Watchers". Namun dalam prosesnya banyak konflik terjadi seperti perlawanan dari Tubal-cain sampai perselisihan antara Noah dan putera keduanya, Ham (Logan Lerman).
Saya bukan seseorang yang religius dalam artian tidak terlalu taat, tapi kisah Nuh dan karakternya sebagai seorang Nabi saya paham betul karena sudah berkali-kali membaca dan mendengar ceritanya entah itu dari Al Qur'an maupun Injil. Karena itulah saya bisa mengatakan bahwa Darren Aronofsky yang menulis naskahnya bersama Ari Handel termasuk sangat berani dan wajar saja jika memancing kontroversi. Ada beberapa perbedaan dibandingkan sumber literaturnya, tapi yang paling berani tentu saja berkaitan dengan karakterisasi Noah dan bagaimana peran Sang Pencipta/Tuhan dalam film ini. Dalam setiap filmnya, Aronofsky selalu menempatkan seseorang yang bisa dibilang "bermasalah" bahkan terganggu psikisnya. Kemudian berdasarkan sebuah kalimat di Injil yang menyatakan bahwa Noah sempat mabuk-mabukan setelah banjir menerjang dan terlibat pertikaian dengan salah seorang anaknya, Aronofsky pun mulai mengembangkan karakter Noah versinya berdasarkan pernyataan tersebut. Karakternya memang menjadi lebih kompleks dan manusiawi dibandingkan dengan yang ada di kitab suci berbagai agama, dan sesungguhnya ini adalah proses kreatif yang bebas dalam adaptasi, tapi tetap saja bagi saya yang tidak terlalu religius pun ada rasa "tidak nyaman" saat melihat karakter Noah disini. 

Disini Noah sempat mengalami dilema dan tekanan yang berat dalam menjalankan perintah dari Sang Pencipta. Hal itu membuatnya terlihat seperti orang gila dan obsesif yang terasa tidak mempedulikan nyawa keluarganya. Seperti yang saya sebutkan, hal itu membuat karakternya lebih manusiawi, tapi apakah perlu membuat sosok Noah menjadi lebih manusiawi? Boleh saja membuat Noah lebih manusiawi tapi jangan sampai melupakan aspek bahwa dia adalah orang yang dipilih oleh Tuhan dari ratusan juta umat manusia dan banyak orang baik pada saat itu. Harus ada sesuatu yang menonjol dan menjadikannya lebih spesial. Menjadikannya manusiawi bukan serta merta menghilangkan sisi spesial dalam diri Noah. Sebuah pernyataan dari karakter Ila (Emma Watson) di akhir film yang mengatakan bahwa Noah dipilih karena rasa belas kasih yang ia punyai tidak cukup untuk menggambarkan itu semua. Belas kasih yang ditunjukkan Noah sepanjang film hanyalah belas kasih "normal" yang dimiliki oleh hampir semua umat manusia. Bagi saya disitulah lubang terbesar film ini yang ironisnya justru hadir dari sesuatu yang biasanya menjadi kekuatan utama Darren Aronofsky, yakni karakter yang kompleks dan kelam. Sosok Tuhan atau Sang Pencipta juga malah terkesan buruk disini. Dia mengembangkan tugas besar dan berat pada Noah tapi tidak memberikan petunjuk yang benar-benar jelas kepadanya. Tentu saja saya yakin jika ditanya hal itu, baik Aronofsky maupun Ari Handel akan mengatakan bahwa itu semua karena Tuhan peraya dan yakin pada Noah. 
Untuk karakter lain, film ini juga coba membuat semuanya terasa abu-abu. Bahkan Tubal-cain selaku antagonis utama juga punya berbagai alasan yang cukup kuat untuk menentang Noah. Tapi penggunaan karakter abu-abu seperti ini biasanya akan membuat karakter yang pada awalnya jelas hitam atau putih akan menjadi semakin kompleks dan abu-abu seiring dengan semakin digalinya karakterisasi mereka. Sehingga pada akhirnya penonton tidak akan menemukan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Tapi yang terjadi di Noah adalah hampir semua karakter utama khususnya Noah dan Tubal-cain "berlomba" untuk jadi yang paling buruk. Terkadang mereka terlihat simpatik tapi mayoritas benar-benar seperti orang brengsek. Tentu saja lagi-lagi yang paling terasa adalah Noah. Alih-alih menjadi kompleks, Noah terlihat seperti orang yang benar-benar brengsek dan tidak perlu melihat dari sudut pandang agama untuk menilai bahwa adaptasi karakter yang dilakukan Aronofsky tidak berhasil. Sosok Russell Crowe sendiri terasa miscast disini. Memang dari tampang dan aktingnya ia tepat sebagai seorang pria yang terganggu dan Crowe sudah melakukan yang terbaik, tapi sama sekali tidak terpancar sosok spesial dalam dirinya. Perpaduan antara karakterisasi yang keliru dan casting yang tidak tepat, begitulah sosok Noah disini.

Dari segi teknis khususnya visual tentu saja Noah memuaskan dengan bujetnya yang mencapai $125 juta. Polesan efek CGI saat peperangan hingga banjir bandang disajikan dengan cukup memukau. Aspek visual lain yang memuaskan adalah sinematografi garapan sinematografer langganan Aronofsky, Matthew Libatique. Ada banyak sekali gambar-gambar indah yang menghiasi sepanjang film ini. Salah satu gambar favorit saya adalah disaat Noah dan Nameeh saling berbincang di malam hari dengan hanya siluet mereka yang diperlihatkan. Tapi sayangnya hanya itu, tidak ada aspek lainnya yang benar-benar bisa dibanggakan dari film ini. Bahkan jika saya mengesampingkan segala karakterisasinya yang mengecewakan itu, jalinan cerita dalam film ini juga kurang menarik dan lebih sering terasa membosankan. Ada usaha yang tanggung antara membuat film ini menjadi sebuah sajian filosofis/religius dan film epic yang bombastis ala Hollywood. Pada akhinya Noah tidak bisa menjadi tontonan yang memuaskan meski ditinjau dari segi mana pun diantara keduanya. Noah tidak cocok dengan Aronofsky dengan segala ciri khasnya, itu saja yang pada akhirnya justru membuat film ini menjadi karya terburuk dari Darren Aronofsky bagi saya.

2 komentar :

Comment Page:
Niken mengatakan...

Di luar segi cerita yang mungkin berbeda, tapi menurutku ini adalah pendekatan lain dalam melihat cerita nabi Nuh dari sisi yang beda. Sebenarnya yang kerap bermasalah adalah bagaimana memanusiawikan seorang Nabi yang dianggap tidak bercela - dimana itu tidak mungkin. Namanya manusiawi pasti akan ada keburukan, dan cerita nabi-nabi selalu mengeliminir "keburukan-keburukan" nabi, supaya ceritanya makin masuk akal... Itulah kenapa sosok nabi Nuh di sini jadi kontroversi, karena dia jadi kelihatan agak "brengsek", karena ada unsur manusiawinya.

Rasyidharry mengatakan...

Yap, bener banget itu, dan Aronofsky emang doyan eksplorasi hal-hal begitu. Tapi sepengen apapun bisa nikmati film ini tetep berasa ada ganjalan :)