THE CROW (1994)
Rasyidharry
Agustus 17, 2014
Action
,
Brandon Lee
,
Dariusz Wolski
,
David Patrick Kelly
,
Ernie Hudson
,
horror
,
Lumayan
,
Michael Wincott
,
REVIEW
,
Sofia Shinas
Tidak ada komentar
Sebagai sebuah film yang sering disebut salah satu film adaptasi komik terbaik dan sukses mendapatkan penghasilan lebih dari $144 juta, The Crow nyatanya lebih dikenal sebagai film terakhir seorang Brandon Lee. Sebelum perilisannya, The Crow disebut bakal menjadi film yang menghantarkan Brandon Lee menuju gerbang kesuksesan. Memang pada akhirnya film ini sukses besar secara finansial, diakui kualitasnya bahkan menjadi sebuah cult movie. Performa Brandon Lee pun banyak mendapat pujian disini. Ya, andaikata tidak ada kecelakaan yang menewasknnya, film ini memang bakal menjadi pembuka kesuksesan bagi putera Bruce Lee tersebut. The Crow sendiri merupakan adaptasi dari komik berjudul sama karya James O'Barr yang terbit tahun 1989. Kesuksesan film pertamanya ini sayangnya tidak berhasil diikuti oleh tiga sekuel yang kesemuanya gagal total baik secara Box Office maupun kualitas (dua diantara dirilis langsung ke DVD). Sesungguhnya jika ditinjau dari segi cerita tidak ada yang spesial dari film ini, bahkan ada banyak kekurangan khususnya pada segi penggalian karakter, tapi atmosfer kelamnya lah yang sanggup menjadikan The Crow terasa spesial.
Sehari sebelum malam Halloween atau yang dikenal sebagai Devil's Night sepasang kekasih yang akan segera menikah diserang oleh sekelompok geng. Eric Draven (Brandon Lee), seorang gitaris band rock tewas setelah dijatuhkan dari lantai atas apartemen, sedangkan tunangannya, Shelly Webster (Sofia Shinas) yang juga diperkosa masih hidup saat polisi datang sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit. Pelaku penyerangan tersebut adalah sebuah geng berisikan empat orang preman yang dipimpin oleh T-Bird (David Patrick Kelly). Walaupun begitu sesungguhnya otak dibalik segala penyerangan dan pembakaran yang terjadi adalah Top Dollar (Michael Wincott), bos dunia hitam yang dahulu pertama memulai Devil's Night. Pihak kepolisian termasuk Sersan Albrecht (Ernie Hudson) yang sempat mengusut kasus tersebut kesulitan untuk menangkap para pelaku. Sampai akhirnya sebuah kejadian misterius terjadi di saat seekor burung gagak memberikan kekuatan supranatural yang membangkitkan Eric Draven dari kuburnya. Tidak hanya bangkit, ia juga tidak bisa dilukai. Kekuatan itulah yang ia pakai untuk menuntut balas terhadap para pembunuh dirinya dan Shelly.
Seperti yang sudah saya singgung diatas, The Crow tidaklah terlalu spesial jika ditinjau dari jalan cerita maupun eksplorasi karakternya. Kisah yang hadir merupakan kisah balas dendam biasa yang berjalan lurus tanpa ada kelokan berupa kejutan maupun selipan unsur lain yang membuat plotnya lebih dinamis dan variatif. Karakterisasinya pun termasuk dangkal, bahkan jika Eric Draven tidak berubah menjadi The Crow yang keren akan sulit bagi penonton untuk bersimpati pada kisah tragisnya. Kenapa? Karena tidak ada penggalian lebih dalam tentang kehidupan Eric sebelumnya. Kita tidak diajak untuk menengok lebih jauh tentang kebahagiaan yang dirasakan Eric dan Shelly sebelum maut merenggut keduanya. Saat filmnya dimulai kita sudah dibawa ke TKP dimana Shelly sudah sekarat dan Eric diceritakan sudah tewas. Saya sebut diceritakan karena bahkan mayatnya pun tidak tampak dan pertemuan pertama kita dengan Eric baru dimulai saat ia bangkit dari kubur. Beberapa flashback dimasukkan guna memberikan sentuhan drama dan penggalian hubungan Eric dan Shelly, tapi itu jelas tidak cukup. Belum lagi karakter pendukung lain macam Albrecht dan Sarah yang useless maupun Top Dollar yang sempat menarik diawal sebagai villain keji berdarah dingin sebelum akhirnya makin lama makin klise.
Untungnya Eric saat sudah menjadi The Crow adalah sosok anti-hero yang luar biasa keren. Lupakan fakta bahwa ia lebih memilih mengoleskan make-up daripada memakai topeng yang sudah ada tanpa alasan jelas. Melihat sosoknya yang tidak bisa dilukai serta tidak ragu untuk bertindak kejam pada korbannya sudah memberikan suatu hiburan yang luar biasa. Karakternya terasa keren karena intensinya menggunakan kekerasan serta tingkahnya yang nampak begitu santai bahkan cenderung "bercanda" saat mengeksekusi korbannya. Ditambah akting Brandon Lee, sosok Eric Draven/The Crow punya segala aspek yang menjelaskan mengapa anti-hero macam Batman jauh lebih mudah disukai daripada sosok superhero yang (nyaris) sempurna seperti Superman. Melihat Lee sebagai The Crow yang sekilas seperti psikopat tentu saja mengingatkan pada Heath Ledger sebagai Joker. Keduanya sama-sama memberikan performa terbaik mereka sebelum meninggal secara tragis dimana kedua karakter yang mereka mainkan sama-sama "gila", berambut panjang dan memakai make-up yang creepy.
Kelebihan lain dari film ini yang sanggup menutupi kelemahan pada naskahnya adalah aspek visualnya. Dengan rasa gothic yang kelam ditambah sinematografi brilian dari Dariusz Wolski yang didominasi kegelapan, The Crow terlihat begitu stylish. Lihat juga bagaimana hamparan kota Detroit di malam hari yang terlihat begitu megah sekaligus mengerikan. Tapi semua itu bukan hanya gaya-gayaan saja, karena pengemasan visualnya yang kelam turut mendukung suasana dalam ceritanya dimana digambarkan kota Detroit adalah kota yang dipenuhi kriminalitas. Pada Devil's Night para penjahat membabi buta melakukan pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan dimana para warga bahkan kepolisian tidak sanggup berbuat apapun. Melihat ini semua yang terjadi dalam film The Purge terasa begitu aman dan biasa saja. Sentuhan kekerasannya juga tidak main-main. Ada banyak darah dan adegan yang cukup sadis untuk ukuran film superhero tersaji disini. Lagi-lagi semua kekerasan tersebut bukanlah tanpa maksud dan berhasil dengan sempurna menggambarkan betapa keras dan kejamnya kehidupan di kota tersebut. Puas atau tidaknya anda dengan film ini tergantung apakah bagi anda kelebihan pada visual dan akting Brandon Lee bisa menutupi kekurangan pada naskahnya. Bagi saya bisa.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar