HEAVEN IS FOR REAL (2014)

Tidak ada komentar
Surga merupakan sebuah konsep yang tidak mudah dijelaskan dan diterima oleh banyak orang bahkan oleh para pemeluk agama yang dalam ajarannya meyakini keberadaan surga sekalipun. Seperti apa bentuknya? Ada apa saja disana? Tapi mungkin pertanyaan paling mendasar adalah "apa surga benar-benar ada?" Pada akhirnya surga memang masih menjadi suatu konsep yang abstrak dijelaskan secara nalar. Lalu apa jadinya jika ada orang yang mengaku pernah "mampir" ke surga? Pasti banyak yang akan menyebutnya gila atau sekedar cari perhatian. Tapi apa jadinya jika yang mengaku pernah ke surga adalah seorang anak kecil berusia 4 tahun yang tentunya masih amat polos? Hal itulah yang terjadi dalam Heaven is For Real garapan sutradara Randall Wallace ini. Kisahnya diangkat dari buku berjudul sama tulisan Pastur Todd Burpo dan penulis Lynn Vincent. Buku itu sendiri ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Todd Burpo disaat suatu hari puteranya yang masih berusia 4 tahun, Colton mengalami near-death experience saat tengah dioperasi dan begitu sadaar ia mengaku sempat berada di surga bahkan duduk di pangkuan Yesus. 

Tentu saja pada awalnya tidak mudah bagi Todd dan istrinya, Sonja untuk percaya pada cerita puternya yang bagaikan sebuah dongeng imajinasi dari isi pikiran anak-anak tersebut. Tapi kemudian saat Colton mulai bercerita tentang hal-hal yang seharusnya tidak ia ketahui seperti apa yang dilakukan orang tuanya saat ia sedang menjalani operasi, Todd mulai memikirkan cerita anaknya tersebut. Bahkan kepercayaan Todd mulai digoncang saat Colton mulai bertutur tentang hal-hal lain yang ia lihat di surga. Ironis memang, bagi Todd yang selama ini selalu berkhotbah di Gereja, cerita sang anak tentang surga ia rasa mustahil, tapi disisi lain Colton terasa amat jujur saat bercerita. Hal itulah yang membuat Todd mulai sering membahas kisah "kunjungan" Colton ke surga dalam tiap khotbahnya, suatu hal yang tidak terlalu disukai oleh para jemaat dan pengurus gereja. Bagi mereka cerita tentang surga itu terlalu mengada-ada dan hanyalah dongeng semata yang tidak pantas untuk diceritakan dalam sebuah khotbah. Dilema yang dialami Todd pun semakin berat saat disatu sisi ia harus berusaha memperbaiki kondisi finansial keluarganya tapi disisi lain kisah yang ia ceritakan itu mulai membuat jemaat-jemaatnya tidak lagi menyukai Todd.
Tidak hanya bagi mereka yang tidak religius apalagi tidak percaya akan agama, bagi mereka yang taat sekalipun saya yakin kisah tentang Colton yang melihat surga itu akan terasa sulit untuk dipercaya. Alasan yang paling mudah tentu saja karena bagaimana mungkin seseorang yang masih hidup (Colton tidak pernah dinyatakan meninggal dalam catatan medis) bisa berada di surga? Tapi dibalik itu, kisah tentang Colton ini akan menguji kepercayaan dalam diri tiap-tiap orang yang memeluk agama dengan kepercayaan akan surga di dalamnya. Film ini memperlihatkan dengan baik bagaimana sisi ironis dari mereka yang (mengaku) religius dan selalu taat beribadah namun disaat harus menghadapi sesuatu yang diluar nalar seperti keajaiban tentang kepercayaan tersebut mereka justru meragukannya. Mereka cenderung berpikir secara logis dan mengkritisi kejadian itu daripada coba merenung dan menggali makna dari "keajaiban" tersebut. Sedangkan dari sisi Todd akan ada observasi tentang seorang Pastur, tentang seorang pemimpin umat yang kepercayaannya goyah, dan ironisnya kegoyahan itu hadir karena sebuah kejadian yang sesungguhnya spiritual. Todd yang selalu bicara tentang agama dan surga selalu berada di posisi sebagai orang yang lebih menguasai tentang agama harus goyah saat ia dibuat tidak tahu apa-apa di hadapan anaknya sendiri yang baru 4 tahun.
Meskipun punya unsur Kristiani yang kental tapi naskah tulisan Randall Wallace dan Christopher Parker ini tetaplah terasa universal. Tentu saja masih ada berbagai gimmick tentang Kristen, tapi tidak akan membuat mereka yang memeluk agama lain termasuk saya merasa tersesat, terasing apalagi tidak terima karena ajarannya berbeda. Heaven is For Real sesungguhnya adalah kisah tentang bagaimana sebuah kepercayaan yang goyah, tentang ironi dalam diri para pemeluk agama dan tentang sebuah keajaiban.Sayang dala pengemasannya, Randall Wallace gagal membuat film ini terasa menggugah sekaligus ajaib. Saya paham maksud Wallace yang tidak mengemas ini denga berbagai adegan fantasi khususnya yang menampilkan kunjungan Colton ke surga karena hal itu akan menyebabkan film ini terasa terlalu fantasi dan bagaikan dongeng. Padahal esensi sesungguhnya dari film ini adalah tentang kisah layaknya dongeng yang (bisa jadi) merupakan kejadian nyata. Bujet yang hanya $12 juta pun jadi salah satu pertimbangan untuk tidak memakai banyak CGI. Jadi keputusan untuk mengemasnya menjadi serealistis mungkin adalah keputusan yang tepat. Tapi sayangnya Randall Wallace gagal untuk tetap membuat filmny ini terasa magical tanpa harus menambahkan banyak unsur fantasi.

Kegagalan tersebut memang sering membuat Heaven is For Real terasa datar, tapi untungnya berkat naskah yang pada dasarnya sudah kuat, film ini tidak menjadi sebuah drama yang buruk. Masih ada berbagai adegan yang menarik, bahkan momen akhir di Gereja itu terasa cukup mengharukan. Akting bagus dari para aktor khususnya Greg Kinnear sebagai Todd dan Connor Corum sebagai Colton juga turut memperkuat sajian dramanya. Khusus untuk Connor Corum jelas akting bocah cilik ini paling menarik perhatian. Disatu sisi ia terlihat sebagai seorang anak kecil polos yang lucu, tapi saat harus bercerita tentang pengalamannya di surga dan bertemu Yesus ia begitu meyakinkan. Saya bisa melihat sosok seorang bocah cilik polos yang menceritakan sesuatu dengan apa adanya. Ditambah lagi terpancar juga sedikit perubahan dalam diri Colton setelah ia mengalami perjalanan spritiual itu dimana ia nampak sedikit lebih dewasa bahkan terkadang lebih bijak tanpa harus dibuat-buat. Pada akhirnya Heaven is For Real memang gagal menjadi sebuah drama yang menginspiratif dan menggugah, tapi tetaplah berhasil menyajikan tontonan yang menarik untuk disimak. Durasinya yang tidak sampai 100 menit pun membuatnya tidak terasa membosankan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: