3 NAFAS LIKAS (2014)

1 komentar
Rako Prijanto yang dulu lebih dikenal sebagai sutradara film-film komedi tasteless macam Benci Disko, D'Bijis, Pengantin Sunat dan masih banyak lagi, akhir-akhir ini seolah mulai "bertobat". Tiga film terakhirnya punya genre lebih serius dan digarap dengan lebih baik pula. Mulai dari Malaikat Tanpa Sayap hingga Sang Kiai jelas merupakan peningkatan kualitas dibanding film-film Rako sebelumnya, meski pencapaian Sang Kiai yang menjadi perwakilan Indonesia di ajang Oscar tahun lalu memang terasa kurang pantas. Kali ini Rako Prijanto kembali membuat film bermuatan sejarah dan perjuangan Indonesia di masa penjajahan dengan 3 Nafas Likas. Film ini diangkat dari kisah nyata dari kehidupan Likas Tarigan atau yang dikenal juga sebagai Likas Gintings. Cerita dalam film ini memebentang panjang dari zaman 1930-an sampai masa sekarang serta berlokasi di banyak tempat mulai dari Sumatera Utara, Jakarta sampai Ottawa. Terkesan ambisius memang saat sebuah film bertutur tentang cerita yang terjadi dalam jangka waktu panjang karena pasti akan banyak hal yang terjadi dan sebuah tantangan tersendiri untuk membuat rangkaian kisahnya tetap terfokus dan tergali dengan baik.

Likas kecil (Tissa Biani Azzahra) adalah perempan yang punya ambisi besar dalam hidupnya. Dia bercita-cita menjadi seorang guru meski sang ibu (Jajang C. Noer) menentang keras pilihan tersebut. Alasan penolakan sang ibu adalah karena ia tidak ingin kembali "kehilangan" anaknya setelah sang putera pertama, Mulia (Mario Irwnsyah) sudah lebih dulu merantau untuk menjadi polisi. Tapi berkat dukungan penuh sang ayah (Arswendi Nasution) cita-cita Likas akhirnya terpenuhi dan dia pergi menuntut ilmu di sekolah guru (disebut normal school). Sebuah keputusan yang sebenarnya juga berat bagi Likas karena untuk pertama kalinya ia harus hidup jauh dari keluarganya. Tapi semua pengorbanan itu ahirnya terbayar saat Likas dewasa (Atiqah Hasiholan) berhasil meraih cita-citanya sebagai guru. Pada masa itulah Likas bertemu dengan Djamin Gintings (Vino Bastian), seorang prajurti PETA yang sempat tinggal bersebelahan dengannya. Diam-diam keduanya mulai saling mencintai dan berhubungan lewat surat menyurat.Tapi hubungan keduanya harus mendapat tantangan besar disaat Djamin yang menjadi tentara harus berjuang di medan perang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun banyak tantangan besar dalam hidupnya Likas tidak pernah menyerah khususnya dalam memenuhi janji yang pernah ia ucapkan pada tiga orang yang paling berharga dalam hidupnya.
Seperti yang saya sebutkan diatas, tantangan terbesar dalam mengangkat cerita yang terbentang dalam jangka waktu lama adalah bagaimana membagi kepingan-kepingan kisahnya yang pasti amat banyak untuk bisa terasa maksimal tanpa harus terasa tumpang tindih. 3 Nafas Likas tidak bisa dibilang 100% berhasil melakukan hal tersebut tapi tidak bisa juga dibilang sepenuhnya gagal. Pada bagian awal, Rako Prijanto berhasil mengemas kisahnya dengan baik. Fase demi fase yang harus dijalani Likas kecil dalam usahanya menggapai impian tersaji dengan memuaskan. Ada simpati yang tecrcipta untuk sosok Likas dan berbagai konflik yang hadir pun cukup kuat. Drama yang muncul dari hubungan Likas dengan kedua orang tuanya yang mempunyai sikap begitu berbeda adalah keunggulan utama pada fase ini. Tapi kemudian saat film memasuki fase kedua yang ironisnya merupakan babak utama, kisahnya sedikit melemah. Muncul banyak momen yang datang dan pergi begitu cepat bahkan sebelum penonton berhasil diajak meresapi momen tersebut. Hal itu terjadi karena ada begitu banyak potongan cerita esensial dalam kehidupan Likas yang memang tidak bisa dihilangkan. Tapi durasi yang terlalu singkat untuk mengemas cerita sebanyak itu menjadikan banyak ceritanya tidak maksimal.

Nampaknya orang-orang dibalik film ini khawatir jika 3 Nafas Likas berjalan selama dua jam atau bahkan lebih penonton akan menjadi lelah dan bosan. Memang benar jika film sepanjang itu tidak bertutur dengan baik hasil akhirnya akan membosankan, tapi Rako Prijanto sudah membuktikan ia bisa bercerita dengan baik disini, jadi apabila durasi ditambah untuk memberikan porsi lebih banyak pada eksplorasi cerita saya yakin film ini tidak akan terasa membosankan, justru sebaliknya akan semakin kuat. Saya suka cerita Likas dengan kedua orang tuanya, dan tidak ada masalah dengan itu. Yang terasa kurang justru eksplorasi hubungan Likas dengan Djamin. Sosok Djamin yang literally sering pergi meninggalkan Likas untuk ke medan perang ironisnya juga membuat karakter dan hubungannya dengan Likas kurang tereksplorasi. Kita dipaksa untuk langsung meyakini bahwa perkenalan singkat keduanya sudah menumbuhkan benih-benih cinta sejati dan tahu-tahu mereka sudah bertunangan lalu menikah. Sangat disayangkan karena sosok Djamin adalah kepingan terbesar dan paling penting dalam hidup Likas dan walaupun bagian pertengahan dan akhir hubungan mereka digarap cukup baik, pembangunan yang lemah diawal membuat kisah keduanya kurang kuat, kurang menyentuh.
Untungnya walaupun banyak aspek cerita yang kurang maksimal, akting bagus dari masing-masing pemainnya menolong bagian dramanya menjadi tidak jatuh. Meski Tissa Biani dan Arswendi Nasution tampil bagus di paruh pertama, yang paling mencuri perhatian saat itu tentu saja Jajang C. Noer sebagai seorang ibu yang over protective. Tapi berkat karakterisasi yang apik dan akting yang bagus, penonton berhasil dibuat memahami rasa takut luar biasa akan kehilangan orang tercintalah yang membuatnya bersikap seperti itu. Kemudian pada paruh kedua, beban giliran ditanggung oleh duo Atiqah Hasiholan dan Vino Bastian. Diluar karakternya yang kurang tergali, Vino Bastian sebenarnya sudah terlihat maksimal khususnya dengan logat yang ia gunakan, hanya saja pelafalan dialognya terasa dipaksakan dan seringkali mengganggu, permasalahan yang sesungguhnya bukan pertama kali ia alami. Sedangkan Atiqah berhasil menyajikan kapasitas akting yang tidak hanya paling mencuri perhatian dalam film ini tapi juga merupakan salah satu akting terbaik sepanjang karirnya. Dia begitu total disini mulai dari ekspresi, gestur hingga emosi semuanya total, menjadikan adegan yang sebenarnya tidak terlalu kuat menjadi begitu dramatis bahkan beberapa terasa menyentuh berkat aktingnya. 

3 Nafas Likas memang terasa keteteran dalam mengemas begitu banyak cerita kedalam film berdurasi hanya 107 menit, menjadikan potensi cerita yang begitu besar gagal termaksimalkan. Tapi film ini tetaplah sebuah presentasi yang memuaskan berkat pengemasan yang baik dari Rako Prijanto, aspek setting dan pengemasan artistik lainnya yang cukup maksimal, serta akting kuat dari para pemainnya dengan Atqiah Hasiholan sebagai yang terbaik. Yang paling menyenangkan sekaligus melegakan bagi saya adalah fakta bahwa film ini tidak hanya menjual pesan moral dan perjuangan seperti yang biasa dipakai banyak film lokal lainnya, bersembunyi dibalik moral dan budaya untuk menyembunyikan kualitasnya yang kurang, seperti film Rako Prijanto sebelumnya, Sang Kiai. 3 Nafas Likas bertutur tentang banyak hal seperti alasan untuk hidup, pengejaran mimpi, makna kebahagiaan, dan masih banyak lagi tapi semua itu dimasukkan tanpa pernah melupakan tujuan utama dalam pembuatan suatu film: membuat film yang bagus (plus poster filmnya juga indah).

1 komentar :

Comment Page:
Hasan mengatakan...

Terimakasih atas ulasannya, saya sudah bookmark blog anda sebagai resensi pribadi ��