THE PURGE: ANARCHY (2014)

Tidak ada komentar
Film pertama The Purge jelas merupakan kesuksesan ditinjau dari segi finansial, dimana film tersebut berhasil mendapatkan $89 juta dollar dari bujetnya yang hanya $3 dollar. Meski mendapat banyak respon negatif dari kritikus, tidak butuh waktu lama bagi Universal Pictures untuk membuat sekuelnya. The Purge: Anarchy pun dirilis setahun setelah film pertamanya dan masih disutradarai serta ditulis naskahnya oleh James DeMonaco. Sebuah pekerjaan besar bagi DeMonaco untuk menambal banyak keburukan film pertama, khususnya pada kegagalannya untuk membuat film yang sama menarik dengan premisnya. The Purge memang punya ide dasar gila yang menarik sebelum akhirnya berakhir menjadi sebuah film home invasion yang membosankan. DeMonaco pun memutuskan membuat Anarchy lebih besar dari fim pertamanya, sebuah formula standar dalam sekuel tapi dalam kasusk The Purge hal tersebut memang perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi dari premisnya.

The Purge: Anarchy akan berfokus pada jumlah karakter utama yang lebih banyak dimana mereka semua adalah muka-muka baru yang tidak muncul di film pertama. Kita akan dibawa mengikuti usaha bertahan hidup dari lima orang yang terjebak diluar saat Purge berlangsung. Eva (Carmen Ejogo) dan putrinya Cali (Zoe Soul) berada diluar setelah secara mendadak rumah mereka diserbu oleh pasukan bersenjata milik pria misterius bernama Big Daddy (Jack Conley) sebelum akhirnya diselamatkan oleh Leo Barnes (Frank Grillo). Leo sendiri sebenarnya tengah berada dalam perjalanan untuk melakukan “pembersihan” tapi rasa iba membuatnya memilih menyelamatkan Eva dan Cali. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan Shane (Zach Gilford) dan mantan pacarnya, Liz (Kiele Sanchez) yang terjebak diluar setelah mobil mereka dirusak oleh sekelompok orang bertopeng. Bersama-sama, mereka berlima harus bertahan hidup melewati malam disaat pasukan bersenjata milik Big Daddy dan pria-pria bertopeng misterius yang mengejar Shane dan Liz sama-sama memburu mereka semua.
Pertanyaan pertama yang hadir setelah menonton sebuah sekuel tentu saja “apa lebih bagus dari film sebelumya?” Untuk The Purge: Anarchy jawabannya adalah “ya”. Film ini memang lebih bagus dari film pertamanya. Dengan konsep yang ambisius, menjadikan The Purge sebagai home invasion berskala kecil memang menyia-nyiakan potensi, karena itu keputusan DeMonaco memperbasar skalanya disini bisa dibilang tepat. Unsur horror dan thriller yang kental di film pertama diturunkan, dan disuntikkanlah dna film aksi disini. Hasilnya memang membuat Anarchy lebih terasa sebagai action berbumbu thriller daripada horror. Bagi yang berharap horror mungkin bakal kecewa tapi harus diakui perubahan tersebut membuat film ini jauh lebih seru dengan tempo yang lebih cepat dan terjaga daripada pendahulunya. Masih banyak momen yang digarap kurang maksimal, tapi Anarchy tidak terasa membosankan seperti film pertamanya.

Sebagai usaha mencapai ambisinya yang besar, DeMonaco tidak hanya memperbesar skala tapi juga membuat ceritanya lebih kompleks dengan suntikkan subplot tentang para revolusioner, konspirasi pemerintahan, serta kritikan terhadap kaum-kaum elit yang menindas rakyat kecil. Kritik sosial terhadap orang-orang kaya memang membuat kisahnya jadi lebih menarik dan tidak sehampa film pertamanya, tapi tetap saja ambisi besar DeMonaco untuk membuat thriller yang penuh kisah kompleks dan cerdas masih belum berhasil. Kisah para revolusioner belum terlalu digali dan saya cukup yakin kisah itu sengaja disimpan untuk film ketiga yang rencanaya bakal rilis tahun depan. The Purge: Anarchy juga masih terlalu kecil untuk memenuhi ambisi DeMonaco walau skalanya sudah jauh lebih besar dibanding film pertama. Kita masih buta tentang sosok new founding father, kisah para revolusioner dan lain sebagainya. Anarchy juga sudah dikemas lebih brutal namun belum segila ide dasarnya.
Biar bagaimanapun, franchise The Purge memang dibuat untuk menarik sebanyak mungkin orang, jadi kegilaan yang hadir pun tidak akan bebas berkeliaran. Salah satu yang masih amat saya sayangkan adalah penggamabaran “malam pembersihan” yang masih terlampau “aman”. Saat mendengar tentang sebuah malam saat kriminalitas dibebaskan di kepala saya terbayang sebuah perang besar yang brutal di seluruh penjuru kota. Akan ada pembunuhan dimana-mana, perampokan, penculikan, sampai pemerkosaan. Tapi bahkan film keduanya yang bertajuk “Anarchy” masih belum menggambarkan segala kegilaan itu, dan anarki yang muncul masih amat minim.

Kekurangan besar lainnya dari film ini adalah karakter. Tentu saja saya tidak berharap mendapat karakter yang tereksplorasi mendalam pada film seperti ini, tapi mayoritas karakter utamanya benar-benar menyebalkan. Dari lima tokoh utama, kita punya Eva, Cali dan Shane sebagai sosok yang saya harap dibunuh saja. Mereka adalah orang-orang menyebalkan, selalu merengek, egois, tidak tahu terima kasih, dan sangat cerewet. Liz tidak menyebalkan lebih karena karakternya tidak banyak berbuat apapun. Hal itu menyisakan Leo Barnes-nya Frank Grilo sebagai satu-satunya karakter yang menarik diikuti. Karakternya memang standar one-man army, tapi sosok Frank Grilo yang keras, penuh charisma dan punya wajah tidak “sebaik” action heroes pada umumnya membuat Leo menjadi karakter yang cukup keren. Overall, Anarchy memang peningkatan dibanding film pertama. Jauh lebih menghibur, dan lebih mendekati keambisiusan premisnya meski masih belum bisa memenuhi semua potensi yang ada. Dengan topeng, slow-motion dan gimmick lainnya DeMonaco tampak berusaha membuat filmnya terasa keren dan stylish tapi ironisnya, momen dengan gaya dan aspek visual paling keren justru closing credit-nya.

Tidak ada komentar :

Comment Page: