THE LOOK OF SILENCE / SENYAP (2014)

15 komentar
Apa tujuan Joshua Oppenheimer membuat The Look of Silence a.k.a Senyap yang kembali menelusuri kisah di balik pembantaian "anggota PKI"? Bukankah ia sudah mengeksplorasi begitu banyak hal lewat The Act of Killing? (review) Perlukah film itu dibuat sekuelnya? Berbagai pertanyaan yang berputar di benak saya itu seketika menghilang setelah selesai menonton filmnya. Kedua film Oppenheimer itu ternyata merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. The Act of Killing ibarat pembuka yang memaparkan kenyataan-kenyataan mencengangkan pada penonton sambil disaat bersamaan mengajak berkenalan pada sosok Anwar Congo sang penjagal. Kita diajak masuk ke dalam isi pikiran Anwar Congo, dan mulai diajak memahami bahkan bisa jadi turut bersimpati padanya. Sedangkan The Look of Silence mengambil sudut pandang yang bertolak belakang dengan keluarga korban pembantaian sebagai fokus utamanya. Sosok utama dalam film ini adalah Adi, pria berusia 44 tahun yang kakaknya, Ramli merupakan salah satu korban pembantaian tahun 1965 karena dituduh sebagai anggota PKI. 

Kisah tentang Ramli sendiri merupakan salah satu yang paling "fenomenal" karena kesadisan yang ia alami sebelum akhirnya dibunuh. Pada malam pembantaian Ramli sudah sempat dilukai, ditusuk, bahkan konon isi dalam perutnya sudah terburai. Tapi sebelum sempat dibunuh ia kabur dan pulang ke rumah sebelum akhirnya "dijemput" oleh para pembunuhnya dengan alasan akan dibawa ke rumah sakit. Tapi pada kenyataannya Ramli dibawa ke truk, dipotong alat kelaminnya, lalu dibunuh. Bagi sang ibu, sangat berat menjalani hari-harinya tinggal berdampingan dengan pembunuh anaknya. Lebih menyakitkan lagi, para pembunuh itu kini mendapat pangkat dan kedudukan tinggi sebagai bentuk penghargaan atas "jasa" mereka dulu, dan seperti yang sudah kita tahu lewat The Act of Killing kebanyakan dari mereka tidak menyesal, bahkan bangga karena merasa telah berjuang demi Indonesia. Adi pun memutuskan untuk mendatangi satu per satu dari mereka untuk kemudian mengajukan berbagai pertanyaan terkait perbuatan mereka di masa lalu. Yes, Joshua Oppenheimer did it again!

Satu hal yang membuat dokumenter karya Oppenheimer terasa lebih kuat daripada kebanyakan dokumenter lainnya adalah bagaimana ia mampu membawa narasinya masuk dengan begitu dalam dan memaparkan fakta lewat cara yang amat berani. Jagal memang gila dengan menampilkan seorang pembunuh tersenyum lebar memperagakan pembunuhan yang ia lakukan, tapi Senyap membawa kegilaan itu ke tingkat yang lebih jauh lagi, lebih personal dan lebih tidak terpikirkan. Pernahkah anda berpikir akan melihat seorang pembunuh duduk berhadapan dengan keluarga korban lalu membicarakan tentang kasus pembunuhan itu? Setiap perbincangan yang terjadi antara Adi dan pembunuh kakaknya hadir dalam intensitas luar biasa. Keberadaan kamera dan proses pembuatan film itu sendiri membuat hampir tidak mungkin bagi kedua belah pihak untuk meluapkan semua emosinya apalagi sampai bermain fisik. Tentu saja ada letupan-letupan emosi tapi mayoritas yang muncul di layar adalah momen diam, tapi dalam kediaman itu saya bisa merasakan adanya gejolak dalam perasaan mereka. Karena sejarah yang tertulis dan terucap sangat bisa direkayasa, maka Oppeheimer berusaha menangkap segala kesunyian dan kebisuan ini. Karena pada saat senyap inilah kebenaran hakiki yang bersumber dari perasaan terpendam manusia bisa kita observasi dan rasakan.
Lewat banyaknya momen diam itu, penonton bisa diajak secara cermat merasakan dan melihat perlahan perasaan macam apa yang tersembunyi dalam diri orang-orang di film ini. Bicara soal perasaan, The Look of Silence sukses mengaduk-aduk perasaan saya. Saya diajak tertawa melihat beberapa interaksi antara Adi dengan kedua orang tuanya, entah dengan sang ibu yang bicara ceplas-ceplos, atau dengan sang ayah yang sudah begitu tua dan lemah tapi masih doyan bernyanyi. Saya pun dibuat sedih saat melihat air mata mulai mengalir dari ibu Adi, atau melihat ekspresi penuh kesedihan dari Adi sendiri. Saya dibuat terkejut saat mengetahui kebrutalan apa saja yang diterima korban pembantaian dulu. Ya, bahkan setelah menonton The Act of Killing pun penuturan para pembunuh yang bangga akan perbuatan kejam mereka masih membuat saya terperangah, bersumpah serapah. Ada pula rasa marah yang teramat sangat mendengar bagaimana mereka sama sekali tidak menyesal bahkan bersyukur telah meminum darah korban. Rasa marah ini merupakan hasil pendekatan Oppenheimer yang kali ini melihat dari kaca mata korban, bukannya mengeksplorasi secara mendalam sang pembunuh seperti Jagal dimana lewat film pertama itu masih ada simpati yang muncul melihat Anwar Congo.

Secara teknis, pengemasan Oppenheimer masih menyuguhkan keindahan dibalik tragedi, bedanya kali ini keindahan itu penuh dengan kesunyian. Tanpa musik tentu saja, dan ada begitu banyak adegan bisu yang tidak menampilkan apapun kecuali gambar diam selama beberapa detik. Film ini juga lebih banyak memperlihatkan ekspresi seseorang daripada objek yang sedang ia lihat, atau menjadi fokus pembicaraan Sebagai contoh saat Adi sedang menonton rekaman seorang pelaku pembantaian yang meragakan aksi pembunuhannya, Oppenheimer lebih sering memilih memperlihatkan ekspresi Adi daripada rekaman tersebut. Tujuannya jelas, yaitu untuk menelusuri lebih dalam perasaan Adi, dan mentransfer emosi itu kepada penonton. Sekali lagi Joshua Oppenheimer memaparkan fakta mencengangkan dari masa lalu bangsa ini dan manusia itu sendiri. Sekilas terlintas di benak saya apakah alasan utama para pembunuh itu melakukan aksinya memang demi membasmi komunisme dan berjuang untuk bangsa? Ataukah demi uang? Atau demi melampiaskan sifat natural manusia yaitu kekerasan yang telah lama mereka pendam? Satu yang pasti, saya menaruh hormat sebesar-besarnya pada soso Adi, seorang manusia berjiwa besar yang membuat saya tersentuh. Lewat dua filmnya Joshua Oppenheimer bukan bermaksud membuka luka lama seperti yang dituturkan para pembunuh itu, melainkan memaparkan fakta. Karena kebenaran adalah hak setiap warga negara Indonesia.

15 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

cara dapetin niy pelm gmn sob?

Rasyidharry mengatakan...

Filmnya cuma di screening sih, nggak ada dvd dsb. Tapi kalau mau ngadain nonton bareng bisa buka web film senyap

Unknown mengatakan...

iya sob \..saya cari kmn2 kok ga ada..soalnya pas waktu nobar di malang,gak sempet di puter uda di bubarin ama massa.. :(

Rasyidharry mengatakan...

Sama nih di jogja juga udah 2 kali dibubarin, tapi kayaknya masih bakal diadain banyak screening film ini lagi kok dalam waktu dekat :)

Unknown mengatakan...

sipp thx sob..btw cuma usul klo bisa backgroudnya jgn hitam saya agak susah bacanya,enak yg dulu lebih fresh gitu..trims :)

Rasyidharry mengatakan...

Setuju sih, udah lama niat ganti cuma masih males hehe

Meria D'navitz mengatakan...

wah nih pilem memang TOP banget dah
suasana nonton bareng yang biasanya riuh jadi ikutan senyap
beruntung kampus gw ngasih ijin buat diskusiin nih pilem. wajib ditonton bro

saidmaen mengatakan...

download sini gan http://kickass.to/usearch/senyap/

saidmaen mengatakan...

http://thepiratebay.to/torrent/2034144/The%20Look%20of%20Silence%20%28Senyap%29%202014%20DVDRip%20Partial%20Indonesian%20/

oktavianus bumbugan mengatakan...

coba di sini deeh.. https://userscloud.com/ilvwf9oo4zoc

Warsono Hadisubroto mengatakan...

Udah ada unduhan gratis, juga bisa nonton streaming. Lihat aja ke www.filmsenyap.com

panjoelzz mengatakan...

klo yg film jagal ada yg tau link downloadnya..?

Warsono Hadisubroto mengatakan...

Film Jagal bisa ditonton di
httpss://youtu.be/3tILiqotj7Y

Warsono Hadisubroto mengatakan...

Film Senyap bisa ditonton di
https://youtu.be/RcvH2hvvGh4

agus wahyudi mengatakan...

Thanks bang untuk reviewnya. Gak banyak film yg setelah nonton bikin ada "guncangan" selesai nonton. Selain film Hotel Rwanda dan Joker.....film dokumenter ini bikin guncangan yang lebih nyata dan terasa, karena ini film dokumenter, kejadiannya di negeri sendiri lagi. Mual aja setelah nonton filmnya.

Ngeliat bangganya itu anggota PP cerita detil pembantaiannya di Jagal dan betapa banyaknya yang gak ngerasa bersalah, kok ada perasaan malu saya sebagai orang Indonesia dengan sejarah yang kayak gini.