BARAKA (1992)
"If man sends another voyager to the distant stars and it can carry only one film on board, that film might be Baraka." Begitu sebut Roger Ebert dalam review-nya untuk film ini. Apakah film garapan Ron Fricke ini sehebat itu? Tanpa mengesampingkan kualitasnya, ada hal lain yang membuat Baraka layak mendapat sebutan itu, yakni konten. Tanpa narasi maupun voice over, filmnya mengajak kita berkeliling dunia, tepatnya menuju 152 lokasi di 23 negara (Indonesia salah satunya). Mengamati dan merasakan, begitu ajakan Ron Fricke pada penonton. Mulai dari indahnya hamparan pegunungan bersalju Himalaya, tempat-tempat peribadatan berbagai agama seperti Ka'bah, tembok ratapan dan kuil Ryoan-ji, kegiatan berkesenian macam tari kecak di Bali atau penari Buto di Jepang, aktifitas industrial di banyak pabrik, kerumunan masyarakat berlalu lalang, sampai ritual pemakaman beraneka raham. Hal-hal itu yang akan kita jumpai dalam film ini.
Diambil selama 14 bulan dengan kamera 70mm, Ron Fricke yang punya dasar sebagai sinematografer menyuguhkan apa itu "keindahan" dalam tiap gambar. Eksploitasi berbagai teknik seperti slow-motion, tracking shot dengan frame luas, sampai timelapse jadi andalan Fricke. Berbagai efek itu menyajikan keindahan alami, tanpa perlu rekonstruksi dramatik atau manimpulasi cahya berlebih. Jika anda sering melihat foto-foto keindahan panorama alam, bayangkan foto itu hidup dan bergerak. Menyajikan berbagai sudut dunia dan sendi kehidupan secara apa adanya tapi dengan mengutamakan unsur estetika visual, begitulah Baraka. Bahkan berbagai hal yang jika sekilas kita temui terasa biasa saja seperti pabrik rokok, peternakan ayam, kamp konsentrasi, orang berdoa atau wajah suku Kayapo yang berhiaskan cat di pedalaman Brazil terasa begitu puitis. Memunculkan keindahan tak terduga dari hal di sekitar kita, mengingatkan kembali betapa memikatnya Bumi yang kita tinggali.
Bagi saya Ron Fricke adalah satu dari sedikit sutradara yang bisa disandingkan dengan Terrence Malick dalam hal insting visual. Sinematografi memukau tersaji, dan semua itu bukan sekedar tempelan. Jika penonton rela memberikan fokus, melakukan observasi lebih mendalam, maka semua gambarnya bukan saja bagus tapi mengandung makna. Baraka memang memiliki label "non-narrative documentary", tapi bukan berarti film ini tidak bertutur tentang apapun. Ron Fricke pada awalnya mengajak penonton mengamati keindahan alam di berbagai penjuru dunia. Dengan mayoritas dikemas secara slow-motion, kita diajak merasakan cantiknya semesta ini. Tapi semesta tidak berdiri sendiri. Sebagai penguat keindahan Bumi ada umat manusia. Mereka berdoa, berkesenian, melakukan upacara adat. Manusia hidup dalam harmoni dengan alam. Tapi segala kekhidmatan tersebut perlahan berganti.
Industri mengambil alih, terjadi ledakan populasi, kemiskinan merajalela, bahkan pohon ditebangi secara liar. Keindahan menyejukkan berganti dengan kesan kumuh dan chaotic. Untuk menguatkan semua itu, timelapse lebih banyak digunakan pada momen ini. Keramaian kota New York, begitu crowded-nya jalanan, hingga padatnya aktifitas di berbagai pabrik termasuk pabrik rokok Gudang Garam di Kediri. Teknologi mendominasi, dan manusia pun semakin menjauh dari harmonisasi dengan semesta. Tidak ada lagi mereka bersuka cita dengan alam, berganti dengan tatapan kosong di tengah kemiskinan yang memaksa mereka berjuang mati-matian untuk hidup bahkan sampai menjual diri. Pada saat itu bukan tarian syukur yang hadir, melainkan silent scream dari penari Buto, seolah menggambarkan katarsis tiap individu yang ingin meneriakkan kepenatan hidup mereka. Tidak segelap apa yang Fricke tampilkan dalam sekuelnya, Samsara 10 tahun kemudian, tapi Baraka begitu baik menghadirkan jomplangnya kedua situasi tersebut.
Circle of life mendominasi film ini. Selain hubungan manusia dengan alam, tentu saja perputaran roda kehidupan individu sendiri turut hadir. Berkesan religius, saat kita akhirnya sampai pada momen penuh nuansa kematian. Bukan memperlihatkan orang mati, melainkan berbagai makam atau monumen untuk arwah leluhur seperti kamp konsentrasi di Auschwitz atau piramida Giza di Mesir. Ada juga ritual kremasi di India. Semuanya memperlihatkan bagaimana lingkaran hidup manusia. Tidak peduli apa yang mereka hadapi atau dapatkan, pada akhirnya kematian pasti menjemput. Film ditutup dengan pemandangan gelap di taman nasional Arches, Utah, Amerika Serikat. Adegan penutup yang kuat kesan mistis tanpa terasa mengerikan melainkan puitis. Menjadi konklusi sempurna dari circle of life tentang alam dan hidup-mati manusia dalam film ini. Tanpa voice over, scoring garapan Michael Stearns dengan sempurna membangun setiap emosi dan suasana yang terpampang pada gambar. Kenapa Roger Ebert mengungkapkan kalimat di atas? Mudah saja, karena Baraka adalah film yang paling berhasil menangkap secara nyata bagaimana tiap sendi keindahan Bumi dan kehidupan manusianya. Mengobati kerinduan sang voyager kesepian akan wajah Bumi yang sempat ia tinggali.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar