KUNDO: AGE OF THE RAMPANT (2014)

Tidak ada komentar
Film period action dengan setting tahun 1862 ini adalah sajian hibrida yang membuktikan bahwa dua genre berbeda nyatanya dapat disatukan secara harmonis. Sutradara Yoon Jong-bin tampak tidak ingin hanya membuat film aksi berlatarkan era dinasti Joseon. Film semacam itu sudah jamak diciptakan para sineas Korea Selatan. Dia ingin sesuatu yang berbeda, stylish, outstanding. Kundo: Age of the Rampant berkisah tentang sebuah era yang penuh penderitaan. Zaman dimana para penguasan dan orang kaya menindas rakyat miskin, melakukan korupsi, merebut segala hak mereka. Rakyat jelata semakin tenggelam dalam kemiskinan serta kelaparan tiada ujung. Salah satu korbannya adalah seorang tukang daging bernama Dolmuchi (Ha Jung-woo). Saat itu tugang daging berada pada kasta sosial paling rendah, tidak dihargai kerja kerasnya dan hanya mendapat bayaran sangat minim. Maka saat ia ditawari upah melimpah oleh Jo Yoon (Kang Dong-won) untuk melakukan pekerjaan kotor, Dolmuchi bersedia.

Jo Yoon sendiri adalah putera bangsawan berpengaruh yang menguasai banyak pihak mulai dari penegak hukum sampai Gubernur. Bermodalkan kecerdasan dan kemampuan bela diri tingkat tinggi, tidaklah sulit bagi Jo Yoon untuk berkuasa. Tapi ambisinya terhalang pada fakta bahwa ia adalah seorang anak haram hasil hubungan sang ayah dengan pelacur. Karena itu sulit bagi Jo Yoon untuk menjadi pewaris sah ayahnya. Disisi lain muncul sekelompok perampok yang menamakan diri mereka "Kundo" beraksi mengambil harta milik orang kaya untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Segerombolan bandit sebagai antihero dengan karakterisasi beragam adalah protagonisnya. Jenis film macam apa yang sering melakukan glorifikasi terhadap sosok outlaw? Tentu saja western, khususnya spaghetti western. Yoon Jong-bin menyadari itu dan mengemas sajian period-nya ini layaknya film western pula.
Siapa sangka cerita kerajaan dari Korea Selatan bisa dikemas layaknya petualangan para koboi di padang gurun? Tidak hanya karakter, aspek lain juga kental inspirasi western. Pertama adalah teknik pengambilan gambar. Satu teknik yang begitu sering dieksploitasi oleh Jong-bin disini adalah zooming dinamis kearah wajah aktor. Teknik yang juga sering dipakai Tarantino (juga terinspirasi kuat oleh sajian western) ini berguna untuk membangun intensitas lewat emosi yang hadir dalam ekspresi pemain khususnya tatapan mata. Ketegangan sebelum showdown dibangun dengan cara ini. Berguna membangun intensitas adegan sekaligus mengesankan pergerakan kamera yang lebih dinamis. Cukup memberikan keunikan, tapi terlalu sering dipakai, repetitif. Seolah Jong-bin ingin berteriak "aku mengambil inspirasi dari western loh!". Hampir semua action sequence film ini menggunakan teknik tersebut.
Inspirasi western juga hadir kuat pada scoring ciptaan Jo Yeong-wook. Musik gitar-sentris yang jika didengar sudah langsung mengarahkan imajinasi kita pada gambaran pria memacu kudanya ini hadir lebih substansial daripada penggunaan teknik zoom-in tadi. Kesan heroik serta pertempuran epic berhasil dibangun karenanya. Apalagi hal itu juga didukung oleh kepiawaian Jong-bin dalam mengemas setiap adegan aksi. Tidak luar biasa namun amat solid. Penuh kekerasan yang "kumuh dan kotor" berbagai sekuen aksinya jadi hiburan menyenangkan. Saya juga menyukai atmosfer yang dibangun Jong-bin. Untuk memperkuat kondisi kehidupan yang keras maka kekerasan dan mayat bergelimpangan ia gunakan. Bahkan pada adegan pembuka kita sudah disuguhi kepala-kepala manusia yang tertancap di atas tiang kayu. Meski secara keseluruhan film ini style over substance, kekerasan adalah bagian esensial, bukan hanya sekedar gaya.

Untuk alurnya sendiri tidak spesial, bahkan di beberapa kesempatan, cara bertutur Jong-bin agak berantakan. Pada bagian awal saat pengenalan tokoh-tokohnya, terjadi lompatan-lompatan kasar yang bakal menghadirkan kebingungan khususnya dalam hal timeline. Memasuki pertengahan hingga akhir, hal itu tidak lagi terjadi. Kisahnya berjalan dengan lebih lancar meski tetap meninggalkan rasa kosong saat mengikutinya. Modal dasar sebenarnya sudah cukup kaya, hanya eksekusi akhir saja yang kurang menggigit. Entah itu cerita penguasa korup, kisah kelompok Kundo, arc balas dendam Dolmuchi, sampai eksplorasi sisi personal complicated dari dari Jo Yoon tidak ada yang benar-benar menggigit. Ada hati yang dimasukkan, tapi tidaklah utuh. Kesan emosional yang seharusnya muncul disana hanya terasa samar. Khusus untuk Jo Yoon sendiri, ia adalah villain yang menarik. Sulit dikalahkan sekaligus memiliki masa lalu kelam sebagai penyebab utama penyalah gunaan kekuasaan yang terjadi. Kundo: Age of the Rampant jadi hiburan menyenangkan berkat kombinasi nuansa period khas Korea Selatan dengan gaya spaghetti western, tapi hanya itu.

Tidak ada komentar :

Comment Page: