PIKU (2015)

2 komentar
Hubungan anak dan orang tua bisa menjadi rumit seiring bertambahnya usia masing-masing. Sang anak beranjak dewasa ingin memilih jalan hidupnya sendiri, sedangkan orang tua mulai memasuki usia lanjut dengan keterbatasan fisik, membuatnya semakin butuh bantuan orang lain. Anak ingin bebas, tapi orang tua tentu memberi arahan yang tak jarang berisi paksaan. Pertambahan usia orang tua membuat sang anak merasa terbebani pula, tapi tentu saja rasa sayang membuatnya tak tega untuk menelantarkan. Konflik itulah yang coba dieksplorasi oleh naskah "Piku" karya Juhi Chaturvedi. Tokoh utamanya adalah Piku (Deepika Padukone), seorang wanita 30 tahun yang berprofesi sebagai arsitek. Dia adalah tipikal wanita mandiri. Namun dengan sifatnya yang keras dan emosional, banyak orang tak menyukai Piku. Bahkan para supir taksi takut pada dirinya.
Dengan temperamen tinggi semacam itu, keberadaan sang ayah, Bhashkor Banerjee (Amitabh Bachchan) selalu menghadirkan pertengkaran tiap hari di rumah. Bhashkor juga bukan sosok menyenangkan. Pria 70 tahun ini menderita gangguan pencernaan (sembelit) dan mengalami kekhawatiran berlebih akan kondisi kesehatannya. Bhashkor selalu mengkritisi tiap hal yang bagi dia berpotensi mengancam kesehatannya. Pertengkaran besar selalu terjadi di rumah hanya karena masalah sepele seperti sembelit. Meski amat menyayangi sang ayah, terlebih setelah ibunya tiada, Piku begitu terganggu dengan hal tersebut. Terlebih lagi sang ayah kerap mengatakan sesuatu yang tidak pantas di depan orang lain, seperti saat ia menceritakan bahwa puterinya tak lagi perawan di depan pria asing.

Pada awalnya menonton film ini bagaikan uji kesabaran. Bagaimana tidak? Lebih dari 30 menit awal, saya selalu disuguhi pertengkaran karena masalah sepele berhiaskan teriakan tanpa henti antara karakter egois. Kadang saya merasa Piku adalah anak yang tak peduli pada ayahnya. Kadang sebaliknya, Bhashkor-lah yang tingkahnya berlebihan hingga wajar Piku merasa tidak tahan. Saya sempat hampir menyerah pada film ini karena perasaan kesal yang teramat sangat. Tapi kemudian saya menyadari bahwa kesan tak menyenangkan filmnya memang sengaja dihadirkan oleh sang sutradara, Shoojit Sircar. Berbagai pertengkaran mengesalkan mendominasi paruh pertama film dengan intensi membuat penonton merasakan emosi yang sama dengan karakter utama. Serupa dengan Piku, saya merasa muak dan tidak tahan lagi dengan semua pertengkaran itu. 
Tujuan itu terbukti saat memasuki paruh kedua, momen dimana film ini bergerak dari drama keluarga menjadi road movie. Bhashkor memutuskan pergi ke Kolkata mengunjungi rumah lamanya yang hendak dijual oleh Piku namun tidak ia setujui. Merasa tidak mampu naik pesawat maupun kereta api, ia memilih menggunakan taksi. Mau tidak mau Piku pun turut serta karena perjalanan itu akan berlangsung lama, memakan waktu sekitar dua hari. Tapi karena sikapnya yang galak dan egois, tak ada satupun supir taksi bersedia mengantar Piku. Akhirnya, Rana (Irrfan Khan) sang pemilik perusahaan taksi yang juga telah beberapa lama mengenal Piku harus menyetir taksinya sendiri. Jadilah ia terjebak di perjalanan panjang bersama ayah dan anak yang terus adu mulut itu. Layaknya aspek esensial dari road trip yakni eksplorasi karakter dan konflik, sepanjang perjalanan saya dibuat mengenal sisi lain Piku dan Bhashkor. Keduanya pun mulai memahami satu sama lain.

Semakin mengenal karakternya, saya pun makin terbiasa dengan pertengkaran mereka. Adu mulut yang pada awalnya begitu menyebalkan mulai terasa menggelitik. Hal itu karena saya mulai terbiasa. Piku juga perlahan dibuat menyadari bahwa pertengkaran itu bisa ia "nikmati" sebagai bentuk kedekatan dengan sang ayah. Kehadiran Rana juga turut menghembuskan angin segar. Meski berulang kali dibuat kesal, Rana menjadi satu-satunya orang yang mampu meladeni sisi eksentrik Bhashkor. Disaat Piku selalu menanggapi keluhan sembelit ayahnya dengan amarah, Rana justru memberi saran-saran aneh yang tak memenuhi standar medis, tapi bisa diterima oleh nalar. Karena itulah ia mampu menarik perhatian Bhashkor dan Piku, yang mana sulit terjadi. Saya pun memaklumi itu, karena penampilan Irrfan Khan juga mencuri perhatian saya. 
Irrfan mampu menyuntikkan sisi charming pada sosok Rana. Dia membuat saya percaya bahwa Rana adalah pria capable, menjadikannya sempurna sebagai "penengah" sekaligus "pahlawan" dalam konflik keluarga itu. Irrfan Khan berhasil mencolok bahkan meski harus beradu akting dengan Amitabh Bachchan dan Deepika Padukone yang memberikan penampilan luar biasa. Bersama-sama, ketiganya memberikan interaksi dinamis, menjadikan obrolan mereka sebagai momentum adiktif untuk diikuti oleh penonton. 

Naskah Jhudi Chaturvedi memiliki kedalaman makna serta keberanian bertutur cerdas meski dari nampak luar penuh kesederhanaan. Selain sanggup menyajikan scatological humour secara menggelitik tanpa harus terkesan murahan, naskahnya berani menghadirkan perspektif jujur tentang konflik anak-orang tua. Daripada berpatok pada moralitas tentang bagaimana seorang anak harus bersikap pada ayahnya, Jhudi Chaturvedi lebih berkonsetrasi pada kenyataan lewat tampilan perasaan jujur. Pada kenyataannya, anak dalam posisi seperti Piku memang akan menganggap ayahnya sebagai beban. Seperti itulah realita yang tak berusaha ditutupi dengan membuat karakter anak penuh kesabaran misalnya. Tapi bukan berarti sang anak tidak menyayangi ayahnya. Piku amat peduli pada sang ayah, begitu pula sebaliknya. Namun mereka punya cara masing-masing untuk mengeskpresikan itu yang didorong oleh egoisme dan harga diri tinggi. 

Resolusi kisahnya pun memilih untuk tidak terlalu dramatis dan mengambil jalan yang berpijak pada realita. Piku dan ayahnya mulai bisa lebih saling memahami, tapi akan terlalu dipaksakan jika serta merta merubah kondisi interaksi diantara mereka, semisal dengan membuat Bhashkor menerima segala keputusan anaknya atau membebaskan Piku. Kita tahu bahwa hanya ada satu jalan di dunia nyata supaya anak seperti Piku bisa bebas, dan jalan tunggal itu digunakan sebagai konklusi filmnya. "Piku" juga memiliki selipan romansa yang turut disampaikan secara natural tanpa dipaksakan. Perasaan cinta tumbuh diantara dua karakter tanpa momen dramatis, melainkan murni lewat proses kebersamaan dan pemahaman berkelanjutan seiring perjalanan. "Piku" bukan komedi berisikan "laugh-out-loud jokes", bukan pula drama emosional. Namun kesederhanaan dalam kisah bittersweet ini memberi kehangatan serta senyuman. 

2 komentar :

Comment Page:
Wece mengatakan...

Menurut saya review yg dilontarkan dan rating yg diberikan mas rasyid ini kurang sesuai, seharusnya dengan review macem itu ratingnya bisa mencapai bintang 4,5 :D Soalnya film nya emang bagus banget setelah saya tonton.

Rasyidharry mengatakan...

Finally! Ada yang mempersoalkan ini haha

Jadi kurang lebih gini, review yang tertulis itu pembahasan lengkapnya, apa yang kurang, apa yang oke. Tapi begitu translasi ke rating, ada faktor "x" yang saya sendiri kurang bisa njabarin. Murni perasaan "keikhlasan" ngasih rating sekian. Jadi kalau mau tahu recommended apa nggaknya film menurut saya, jangan cuma lihat rating, tapi baca reviewnya :)