LOVE (2015)
Saya menyukai film bertemakan seks atau penuh konten seksual eksplisit. Ada beberapa alasan. Pertama jelas, karena kita semua orang suka menyaksikan "pertunjukkan" seksualitas. Kedua, terdapat tendensi dalam diri saya untuk lebih mengapresiasi karya yang berani mendobrak batasan normatif. Alasan ketiga sekaligus paling utama karena seks merupakan (salah satu) kebutuhan dasar manusia. Dari situ manusia dapat "ditelanjangi" perasaan, hasrat, kepribadian, hingga masa lalunya. Maka alangkah antusiasnya saya mendengar kabar mengenai film terbaru Gaspar Noe ini. Tengok saja dua promotional poster-nya (di atas itu salah satunya) yang begitu menggoda. Noe terkenal lewat karya-karya kontroversial namun efektif dalam mengaduk-aduk emosi (juga isi perut) penonton seperti "Irreversible" dan "Enter the Void". Jadi jika ada yang mampu menghadirkan tontonan seksual modern dengan "kegilaan" lebih dari Lars Von Trier, pastilah itu Gaspar Noe.
Adegan pembuka langsung memberi "gebrakan" saat kita diperlihatkan hand job antara Murphy (Karl Glusman) dan Electra (Aomi Muyock) selama hampir tiga menit tanpa putus. Kemudian kita mendapati Murphy terbangun di tempat tidur bersama wanita berbeda yang tidak lain adalah Omi (Klara Kristin), istrinya. Murphy lalu dikejutkan saat mendapat pesan suara dari ibu Electra (Isabelle Nicouf) yang mengungkapkan kekhawatiran atas menghilangnya sang puteri selama beberapa bulan terakhir. Terungkap bahwa Murphy dan Electra sempat berpacaran selama dua tahun, sebelum putus akibat perselingkuhan Murphy dengan Omi yang berujung kehamilan. "Love" pun membawa penonton menyimak bagaimana Murphy mengingat kembali masa lalunya dengan Electra. Sebuah ingatan yang berisikan seks, seks dan seks. Mungkin jika dirata-rata tidak sampai tiap 10 menit muncul adegan seks eksplisit yang tak ragu memperlihatkan alat kelamin, sperma dan penetrasi.
"Love" memenuhi ekspektasi bila ditinjau dari kuantitas serta keberaniannya dalam mengemas sex scene. Tapi selain itu, filmnya teramat kosong, tanpa jalinan cerita menarik atau sentuhan emosional kuat. Gaspar Noe meniati film ini sebagai sajian sentimentil pula kontemplatif dengan fokus terhadap suatu hubungan percintaan. Tidak hanya itu, "Love" juga karyanya yang paling personal. Tergambar dari penamaan dua karakternya. Dia ingin menuturkan tentang masa lalunya, juga tentang bagaimana ia memandang rasa cinta akan kaitannya dengan hasrat seksual, tanggung jawab, sekaligus hidup secara lebih luas. Sayang, seks sebagai fokus utama justru memberi distraksi pada keterikatan emosi antara penonton dengan film.
Saya tidak diberi kesempatan untuk lebih mengenal apalagi menyukai tokoh-tokohnya disaat beberapa menit sekali muncul adegan seks. Meski kerap bertengkar hebat, Murphy dan Electra sangat mencintai satu sama lain, setidaknya Gaspar Noe ingin penonton mempercayai itu. Tapi selayaknya ungkapan romantis gombal penuh omong kosong, filmnya tak pernah mengungkap alasan sebagai bukti. Murphy tenggelam dalam depresi akibat keharusan menjalani hidup tanpa Electra. Sebaliknya, si wanita pun sempat menyiratkan lebih baik mati bila hubungan mereka harus berakhir. Tapi kenapa? Cinta memang bentuk rasa penuh misteri yang tak jarang sukar untuk dijabarkan, tapi bagaimana mungkin saya terikat secara emosional jika Murphy selaku jembatan antara penonton dengan film hanya pria depresi penuh self-loathing, sempat berselingkuh, dan tanpa satu pun aspek likable dalam dirinya?
Di luar seks, interaksi antara Murphy dan juga Electra sangat minim. Terdapat beberapa obrolan, tapi hanya sekilas tanpa cukup membangun ikatan dengan saya sebagai penonton. Dialog dari naskah karya Gaspar Noe pun diisi rangkaian kalimat lemah, tanpa kemampuan mengeksplorasi karakter atau mengemukakan suatu pemikiran menarik dari sang sutradara. Dialog lemah tersebut sama sekali tidak terselamatkan oleh akting datar para pemain. Dalam sebuah kesempatan, Murphy berkata bahwa ia seperti penis yang hanya punya satu tujuan yakni "to fuck". And that's the only thing that he's good at. Deretan cast-nya sama. Ketika melakoni adegan bercinta, baik Glusman maupun Muyock penuh totalitas, nampak menggairahkan dan membuat penonton (baca: saya) merasakan hal serupa. Namun di luar ranjang, mereka -khususnya Glusman- gagal memberi suntikan emosi sedikitpun.
Tanpa menghitung niat yang terkandung dalam cerita (niat saja tak cukup), satu-satunya sekat pemisah antara "Love" dengan film porno adalah sinematografi garapan Benoit Debie. Keindahan gambar berkat permainan warna dan pencahayaan membuat karakter yang tengah melakoni hubungan seks tampak seperti objek dalam lukisan. Pada akhirnya tiap gerakan di atas ranjang adalah komposisi keindahan estetis, bukan semata-mata gambar untuk memancing nafsu penonton. Itu saja pembeda antara film ini dengan porno. Sesungguhnya scoring dari Lawrence Schulz dan John Carpenter pun enak didengar, tapi film porno dengan musik bagus pun cukup banyak beredar. Memang saya suka film dengan seksualitas kental, tapi tidak disaat hanya berisikan seks tanpa kekuatan emosi dan alur seperti ini. "Love" is cold, emotionally flat, overlong, and repetitive. Boring.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Kiye adsense ne urung diganti apa?
Cek Line, triyono ora sida ngeneh tenang bae.
mas bagi link downloadnya dong
Posting Komentar