RAKSASA DARI JOGJA (2016)
Saya belum membaca novel Raksasa Dari Jogja karya Dwitasari, namun beberapa ulasannya telah cukup menimbulkan kekhawatiran. Mulai dari karakterisasi, eksplorasi konflik, dialog over stylish, hingga Jogja yang hanya sebagai tempelan sering jadi "sasaran tembak". Sekarang pertanyaannya tinggal "Monty Tiwa mana yang akan saya dapatkan pada film ini?" Saat mencapai performa terbaik -sebagai sutradara, penulis naskah, atau keduanya- Monty bisa menghasilkan karya memikat seperti Test Pack: You Are My Baby dan Kapan Kawin? Saat tidak? Tengok saja Operation Wedding. Berkat harapan itulah saya tetap tertarik meskipun sumber materinya meragukan, begitu pula trailer-nya.
Bian (Karina Salim) merasa muak mendapati kondisi di rumah ketika sang ayah (Ray Sahetapy) terus memaksanya berkuliah di UI dan kerap melukai istrinya (Unique Priscilla) secara fisik. Tidak hanya masalah keluarga, Bian juga baru sakit hati saat sang kekasih berselingkuh dengan sahabat lamanya, Letisha (Adinda Thomas). Timbul perasaan ingin memberontak, Bian memutuskan berkuliah di Jogja meski harus mendapat tentangan ayahnya. Di Jogja lah Bian bertemu dengan Gabriel (Abrar Adrian), seorang wartawan yang mendapat julukan "monster" karena sering berkelahi dan memiliki tubuh tinggi besar. Mudah bagi Bian mencintai Gabriel, meski awalnya sang pria nampak tidak memberikan respon positif.
Begini hasilnya saat penyutradaraan kuat dipertemukan dengan naskah lemah. Sebagai sutradara, Monty Tiwa jelas sudah mengerahkan segenap kemampuannya terlebih ketika tensi adegan meninggi. Tidak ada usaha mengaduk-aduk emosi penonton secara berlebih, nihil pula overly dramatic scoring. Tengok saja adegan tatkala Bian meluapkan amarahnya pada Gabriel di rumah sakit. Monty hanya fokus pada ekspresi Karina Salim sembari membangun pace tanpa terburu-buru. Hasilnya efektif. Saya tertegun, terikat oleh emosi adegan. Secara keseluruhan pun tempo filmnya tertata rapih, memudahkan penonton menikmati perjalanan cerita tanpa terjadi lompatan alur kasar.
Masalahnya, naskah hasil tulisan Monty bersama Ben Sihombin terlalu dangkal dalam mengeksplorasi cerita. Raksasa Dari Jogja tampak ingin menjangkau banyak isu, sebut saja KDRT, persahabatan, self-discovery sampai tentunya percintaan. Namun kedangkalan naskah menghalangi semua itu tersampaikan. Misalnya, hingga akhir saya gagal menangkap apa yang sesungguhnya dipelajari oleh Bian. Acceptance kah? Kisah persahabatan lebih parah lagi, karena setelah opening selaku tease mengenai hubungan antara Bian dan Letisha, adegan berikutnya langsung melemparkan momen perpecahan keduanya tanpa ada eksplorasi terlebih dahulu. Sejurus kemudian persahabatan mereka langsung dilupakan, membuat opening-nya jadi tak berguna. Padahal adegan pembuka semestinya berfungsi sebagai prolog, tease bagi segala konflik di depan.
Bukan saja opening, bagian penutupnya pun bermasalah sewaktu tiap karakter mendapat penjelasan mengenai nasib mereka. Ending semacam itu bisa memiliki impact kuat andai penonton terikat dengan tiap tokoh. Sayangnya mayoritas dari mereka terasa asing. Jangankan impactful, saya justru dibuat garuk-garuk kepala mendapati Vanessa (Stella Cornelia) tiba-tiba menjadi duta UNICEF. Konklusi percintaan Bian dan Gabriel pun terlalu dipaksakan berakhir bahagia di ending. Selain itu, dangkalnya naskah turut berpengaruh besar terhadap pendalaman karakter. Seringkali saya kesulitan memahami motivasi mereka. Paling mencolok adalah alasan mengapa Bian memilih berkuliah di Jogja, bukan kota lain. Tidak mungkin kan, keputusan itu ia ambil gara-gara sebelumnya mendengarkan lagu Sepasang Mata Bola -mengandung lirik "Hampir malam di Jogja"?
Untungnya kekurangan naskah sukses ditambal oleh aspek lain. Di samping penyutradaraan, akting para pemain cukup banyak meningkatkan kualitas penceritaan. Pada film-film romansa lain, Stella Cornelia atau Sahila Hisyam tentu akan di-cast sebagai pemeran utama karena "lebih menjual". Tapi mengapa Karina Salim? Selain postur kecilnya cocok mewakili kontrasnya tinggi badan Bian dan Gabriel, Karina beberapa kali mampu menghantarkan dialog secara quirky, sebagai representasi rasa nervous Bian harus berinteraksi dengan Gabriel. She's so cute, even though her character's motivation remains unclear. Hal itu cukup menghidupkan kesan romantis tatkala keduanya bersama, meski pengucapan dialog Abrar Ardian terdengar kaku. Ray Sahetapy pun sama. Di saat eksporasi akan isu KDRT tak seberapa dalam, aktingnya membuat penonton mudah mengutuk sikap sang ayah.
Tapi kita mesti sepakat bahwa Dwi Sasono paling bersinar. Sosok Angkola memang tak punya kedalaman sebagai pimpinan redaksi surat kabar -hanya pria aneh biasa- tapi setidaknya cara Dwi Sasono melontarkan lelucon selalu berhasil meledakkan tawa. Bahkan, siapapun yang berbagi adegan komedik dengannya seperti Sacha Stevenson dan Jennifer Arnelita ikut terbantu. Tanpa timpalan-timpalan Dwi Sasono, jokes keduanya hanya akan terasa absurd, tapi tidak lucu. Patut disayangkan adalah kehadiran Stella Cornelia. Dia tidak buruk, cukup natural melakoni adegan. Namun pemakaian logat medhok khas FTV-nya amat mengganggu. Begitu pula Ridwan Ghany sebagai Kevin. Saran saya, jika tidak mendapatkan aktor yang mampu melafalkan logat itu, jangan dipaksakan. Lagipula pemakaian gaya bicara "gaul" ala Jakarta sudah jamak di anak muda Jogja zaman sekarang. Justru jauh lebih masuk akal daripada "medhok FTV".
Kesan FTV sesungguhnya sempat terasa tidak hanya pada masalah logat, tapi juga klisenya perjalanan alur. Bahkan pemakaian kota Jogja sebagai setting tanpa alasan jelas pun begitu. Untungnya Monty Tiwa bukan sutradara kelas FTV. Kali ini ia juga tengah berada dalam performa terbaik, sehingga tatkala naskahnya lemah, Raksasa Dari Jogja masih cukup nyaman dinikmati. Walau akhirnya banyak unsur penceritaan runtuh akibat minim eksplorasi, romantikanya cukup manis, paling tidak bagi anda yang mampu mentolerir paparan percintaan teenlit. Sangat mudah dilupakan, tapi tidak akan memberi siksaan bagi penonton, terlebih saat kita dibuat tertawa tiap kali Dwi Sasono muncul.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar