2 BATAS WAKTU: AMANAH ISA AL-MASIH (2016)

5 komentar
Ambisi itu bagus. Banyak mahakarya dunia perfilman lahir didasari ambisi besar pembuatnya  2001: A Space Odyssey, Apocalypse Now, Avatar, atau The Tree of Life  karena tanpa itu hanya akan terjadi stagnansi. Namun demi mewujudkannya dibutuhkan kerja keras, totalitas, kesabaran sekaligus tidak kalah penting adalah mampu mengukur kemampuan diri. James Cameron memutuskan menunggu sekitar satu dekade supaya teknologi dapat berkembang sesuai keinginannya kala membuat Avatar, sedangkan Francis Ford Coppola harus melalui proses pengambilan gambar penuh siksaan selama 16 bulan demi menyelesaikan Apocalypse Now. Proyek ambisius bakal terasa hambar bahkan setengah matang bila eksekusinya asal dan terburu-buru.

Saya bicara soal ambisi karena 2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih jelas dilandasi hal tersebut, setidaknya saat memasuki proses penulisan naskah garapan Rudiansyah dan Jimmy S. Johansyah. Diangkat dari kisah nyata, film ini dibuka oleh adegan Tiara (Sandra Olga) mendapat "penglihatan" mengenai kecelakaan sebuah pesawat yang ternyata sungguh terjadi. Kepada sang suami, Andra (Mehdi Zati) ia mengakui kerap mengalami kejadian spiritual macam itu sejak kecil. Di waktu bersamaan seorang Ustadz (M. Ibnu Quraisy) tengah memaparkan pada murid-muridnya tentang proses metafisika ketika manusia dapat melihat masa lalu dan masa depan sampai menembus dimensi lain. 

Antusiasme hadir tatkala filmnya menyinggung kaitan antara "perjalanan spiritual" dengan sains. Walau diisi beberapa akting kaku, tata suara buruk, serta efek visual murahan, menarik ditunggu bagaimana pokok bahasan itu diolah. Hingga kemudian alur berpindah ke masa lalu, menyoroti kehidupan remaja Tiara (Irish Bella)  saya mempertanyakan alasan penggunaan dua aktris berbeda yang jarak usianya hanya enam tahun. Perpindahan setting waktu ini sesungguhnya bertujuan baik, guna menggali karakter sang protagonis supaya penonton mengenal lalu terikat secara emosional. Namun harapan itu kandas akibat dangkalnya Rudiansyah dan Jimmy S. Johansyah mengeksplorasi cerita yang berujung pada hilangnya fokus narasi. 
Alih-alih menambah pemahaman penonton mengenai Tiara, justru kebingungan muncul akibat ketidakjelasan pemaparan karakter. Diceritakan Tiara adalah seorang ibu, tapi kehidupannya tak mencerminkan itu karena nyaris tidak ada interaksi antara ia dengan sang anak. Begitu pula anggota keluarganya, di mana awalnya tersirat Tiara tinggal berdua bersama ayahnya sebelum mendadak muncul ibu beserta adiknya. Mustahil bersimpati apabila eksplorasi kehidupan tokohnya melupakan detail-detail vital tersebut. Akhirnya sewaktu Tiara mengalami life changing moment, tak sedikit pun perasaan saya tergugah. Patut disayangkan mengingat Irish Bella memberi performa lumayan baik termasuk saat harus melakoni adegan emosional. 

Memasuki paruh flashback2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih bak kehilangan arah dan bagai terlepas sepenuhnya dari apa yang dibangun pada awal narasi. Kedua penulis seolah malas mengembangkan naskah mereka ketika unsur sains urung kembali disinggung dan alur sepenuhnya berganti menjadi drama yang justru sama sekali gagal melatari pengalaman spiritual Tiara. Jika ujungnya sains sama sekali dilupakan, untuk apa adegan awal dimunculkan? Apa pula peran M. Ibnu Quraisy di sini selain memberi celah supaya alur dapat bergerak menuju flashback? Kemalasan naskah makin kentara saat akhirnya film cenderung menyentuh ranah "mistis" lewat kehadiran sosok-sosok gaib di sekitar Tiara. 
Keberadaan sosok gaib beserta konflik batin kala Tiara harus menyikapi pengalaman spiritual sejatinya potensial memunculkan dinamika psikologis menarik. Apakah Tiara memang mengalami semua itu ataukah ia menderita skizofrenia? Ambiguitas itu bukan saja kurang nampak namun justru dihindari oleh naskahnya yang berusaha keras menegaskan perjalanan Tiara menembus dimensi lain adalah nyata tanpa sedikitpun menuturkan penjelasan. Bukannya saya menolak percaya akan kejadian serupa, tapi sebagai bentuk scriptwriting, itu merupakan contoh kemalasan bertutur. Faktanya, hal itu turut membuat paparan drama sebelum "pertemuan" Tiara dengan Isa Al-Masih jadi tak berguna karena deretan konfliknya sama sekali tidak punya pengaruh. Beda cerita bila aspek psikologis menjadi fokus.

'2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih' could be a lot of things from a smart twist on religious genre to a provocative psychological drama. Tapi kelemahan luar biasa pada naskah membuat daya tarik film ini sekedar berujung pada tataran konsep dan potensi ketika penulis naskah kebingungan hendak dibawa ke mana fokus alurnya. Beginilah contoh ambisi besar tanpa eksekusi mumpuni  termasuk rangkaian sequence "dimensi lain" penuh keterbatasan kualitas CGI. This movie bites off more than it can chew. Paling tidak saya sedikit mengapresiasi keunikan premisnya di antara suguhan religi lain. 

NOTE: Saya mendukung pemakaian English subtitle bagi film Indonesia, tapi tolong perhatikan kualitasnya. Hampir dalam tiap line subtitle film ini terjadi kesalahan yang sulit ditolerir ("behave" ditulis "be have", "for God sake" menjadi "for the God shake" dan lain sebagainya).


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

5 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

lumayan lah dapet setengah
menggurui lagi kah mas rasyid ?

Rasyidharry mengatakan...

Nggak sih, cuma terlalu bodoh :)

Unknown mengatakan...

ini film dari kisah nyata kan..tapi kok bisa jelek gini

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

kalau eksekusi nya jelek
dasar cerita nyata juga ga nolong

Unknown mengatakan...

Penulis skenario merupakan target paling empuk utk menjadi kambing hitam ketika sebuah film gagal diwujudkan. Film sebagai colective art akan menemui kekandasan artikulasinya apabila banyak unsur vital di dalamnya mengalami gagal fingsi. Jadi kebodohan tsb bukan pada persoalan penulis (sya tdk tahu tiba2 ada nama lain dalam skenario tsb, Rudiasyah! Siapakah dia? Bisa jadi inilah salah satu oknum yg bikin rusak skenario yg sdh sy tulis tsb. Ini juga pelajaran berharga utk orang2 yg mau bikin film. Bahwa, film sbg satuan kerja kolaboratif wajib istiqomah kpd apa yg telah disepakati pada awal proses kreatif dimulai. Artinya, utk hal yg sangat penting: skenario. Berusaha utk percaya kpd penulis yg sdh ditunjuk utk itu, bukan m3mbiarkan skenario diacak-acak oleh mereka yg tolol pada persoalan penulisan cerita. Dan, slbhnya, film yg baik apabila di dalamnya berisi person2 yg "sanggup membaca skenario", karena skenario yg "gagal dibaca",maka runtuhlah perwujudan filmnya, spt film yg sdg dibahas ini.

Salam,

jimmy s johansyah