THE RED TURTLE (2016)

15 komentar
Wajar bila anda mengira "The Red Turtle" merupakan hasil adaptasi, sebab debut penyutradaraan film panjang Michael Dudok de Wit ini memang bagai berada dalam dimensi serupa folklore, termasuk bagi kita penonton Indonesia di mana kisah seorang pria menjumpai peristiwa magis sudah amat familiar. Tapi rupanya hasil kolaborasi dua rumah produksi, Studio Ghibli dan Wild Bunch ini merupakan hasil buah pikir orisinal Dudok de Wit bersama Pascale Ferran selaku penulis naskah. Sebagaimana cerita rakyat pada umumnya pula, salah satu nominasi film animasi terbaik pada Oscar 2017 ini jeli menyelipkan pesan membumi seputar kehidupan di balik polesan fantasi. 

Mengusung semangat visual storytelling, Dudok de Wit meniadakan bahasa verbal, menggunakan gambar untuk menuturkan cerita seorang pria tanpa nama yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Beberapa menit awal berisi perjalanan sang tokoh utama mengelilingi pulau, mencari cara agar dirinya bisa segera keluar dari sana. Pemandangan sekitar diperlihatkan, aktivitas para penghuni (hewan-hewan) diungkap, seperti kepiting mencari makan di bibir pantai sampai kelelawar di angkasa. Hampir tidak ada "hal besar" terjadi, suasana pun terasa sunyi, namun kemasan visual serta musik menghindarkan kekosongan, menjauhkan rasa bosan meski beberapa momen sempat terkesan agak berlama-lama. Tapi toh durasinya pendek (80 menit) sehingga kepadatan alur tak seberapa terganggu. 
Animasinya cenderung mendekati gaya Eropa ketimbang Studio Ghibli. Warna-warni kontras di pagi hingga sore hari serta monochrome tatkala malam setia mengisi dengan tokoh manusia didesain sederhana (mata hanya berupa dua titik hitam) sementara alamnya lebih kaya akan tekstur. Sang sutradara kerap menempatkan tokohnya kecil di tengah, dikelilingi hamparan landscape seolah ingin menekankan ketidakberdayaan manusia di antara kebesaran alam. Musik buatan Laurent Perez del Mar mampu mewakili suasana, memunculkan sense of wonder. Lagu temanya pun bakal terus tertanam di otak walau film telah berakhir sekalipun. 

Setelah beberapa waktu, sang pria memutuskan membuat rakit untuk meninggalkan pulau. Namun upayanya selalu gagal akibat rakitnya dirusak oleh hal tak terlihat yang kemudian diungkap sebagai seekor penyu besar berwarna merah. Merasa kesal, dia berniat membunuh si penyu supaya tidak ada lagi yang mengganggu usahanya. Dari sini "The Red Turtle" mulai menampakkan "wujud aslinya". Selayaknya folklore, di balik elemen fantasi ada kisah sarat pesan yang sejatinya begitu dekat dengan keseharian kita. Dudok de Wit dan Ferran menjadikan hubungan aneh protagonis dengan penyu merah sebagai perlambang proses kehidupan.
It's about us, human, live in a strangeland called "world". Manusia terdampar di keterasingan dunia luas, berusaha bertahan hidup, terlibat hubungan "benci jadi cinta", kemudian memutuskan settling down, berkeluarga dan tak lagi berhasrat menantang dunia, hingga suatu hari setelah melepas buah hatinya yang beranjak dewasa pergi yang tersisa adalah menikmati kedamaian hari tua sebelum ajal menjelang. Perjalanan kehidupan itu juga tak lepas dari kuasa alam yang menyediakan kebutuhan namun dapat pula merenggutnya. Balutan fantasi menyulap kesederhanaan kisah tersebut menjadi semakin indah dan ajaib.

Mungkin bagi sebagian kalangan, ceritanya terlalu naif dan penokohannya tidak kompleks (hanya si A, si B, si C tanpa pencirian khusus), tapi itu bukan masalah besar mengingat "The Red Turtle" memang berkonsentrasi pada merangkai kejaiaban bak dongeng-dongeng masa lalu. Michael Dudok de Wit piawai bertutur memakai visual, membangun bermacam suasana. Ada bahaya menegangkan seperti saat sang protagonis terhimpit di antara tebing sempit bawah air dan momen terjangan tsunami, ada pula cuteness factor hasil tingkah sekelompok kepiting yang ditempatkan sebagai comic relief menggelitik. 

15 komentar :

Comment Page:
Amatir dalam Hidup mengatakan...

Aaa.. kamu nonton dimanaa? Sudah ada tooh. Segera kucari2 x)

Badminton Battlezone mengatakan...

Meniadakan bahasa verbal maksudnya minim dialog kata2?wahh pengen liat...ngefans sama studio gibli.bisa ditonton dimana bang?

Rasyidharry mengatakan...

Kalo nggak nemu kukasih. Atau minta admin blog sebelah itu lho :D

Rasyidharry mengatakan...

Yap, nggak ada dialog sama sekali, pure visual storytelling. Sudah banyak kok di lapak donlotan :)

hilman mengatakan...

gan, jika berkenan boleh bertukar link? link blog agan sudah saya pasang di sidebar sebelah kiri blog saya...

Rasyidharry mengatakan...

Done :)

Unknown mengatakan...

bisa di download/ tonton dimana ini? bisa kasih tau linknya?

Rasyidharry mengatakan...

Pastinya lupa. Mungkin Pirate Bay

Anonim mengatakan...

Aaa akhirnya keluar jg review Red Turtle-nya, suka banget cerita sama grafisnya. Dan satu pemikiran jg sama review-nya, makasih udah mereview animasi keren ini mas Rasyid

Rasyidharry mengatakan...

Sama-sama. Makasih juga sudah baca :)

bais mustaqim mengatakan...

lama gk review film korea nih, review the age of shadows gan. tu film sutradara i saw the devil dan sepertinya sdh tersedia di lapak

Budi mengatakan...

The red turtle vs passengers?

Rasyidharry mengatakan...

Passengers-nya J-Law?

Unknown mengatakan...

Nnton aja d layatkaca21 , saya abis nnton soal ,film Sdih bikin baper

Unknown mengatakan...

ada tadi jam 20.00 di hbo gua nonton dan fix awalnya ga ngerti cuma coba buat fokus dan ternyata ngena hati banget bikin mewek endingnya