IT COMES AT NIGHT (2017)
Rasyidharry
September 04, 2017
Brian McOmber
,
Carmen Ejogo
,
Christopher Abbott
,
David Pendleton
,
horror
,
Joel Edgerton
,
Kelvin Harrison Jr.
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Trey Edward Shults
4 komentar
Arthouse horror, hipster horror, atau seperti disebut Steve Rose dari The Guardian, post-horror (apalah arti istilah?) semakin mencuat belakangan ini. Judul-judul macam The Witch dan Under the Skin bisa tergolong spesies tersebut, di mana tempo lambat, mengutamakan atmosfer, ancaman tak kasat mata daripada jump scare, cerita metaforikal, adalah beberapa kriteria penyusun. It Comes at Night buatan Trey Edward Shults (Krisha) pun serupa, berusaha memancing ketakutan dari alam pikiran alih-alih indera penglihatan. Pendekatan yang membelah opini kritikus dan penonton biasa, mengacu pada perbandingan skor Rotten Tomatoes (88%) dan Cinemascore (D).
Sebagaimana komedi tergantung selera humor, efektivitas horor tidak terlepas dari apa yang masing-masing penonton takuti. Pengalaman hingga aspek kultural berperan besar. Contohnya, meski sama-sama found footage, keranda mayat di Keramat jauh lebih mencengkeram dibanding selimut terbang Paranormal Activity, karena itu termasuk kepercayaan mistik kampung saya. Dalam kasus It Comes at Night, Shults menjadikannya lahan katarsis pasca sang ayah meninggal, yang selain membawa duka, mendorong kontemplasi soal kematian itu sendiri, bahwa hidup itu fana, dan rasa takut terhadapnya menimbulkan efek domino berupa kecemasan, ketidakpercayaan, menutup diri, paranoia, kemudian kehilangan hati.
Bagi Shults semua itu menyeramkan, dan tokoh-tokohnya, keluarga kecil yang berisi Paul sang ayah (Joel Edgerton dengan jenggot berantakan serta tatapan pilu, dapat diandalkan sebagai representasi sisi suram manusia), Sarah sang ibu (Carmen Ejogo), serta si putera tunggal yang masih remaja, Travis (Kelvin Harrison Jr.), merasakan hal sama setelah penyakit misterius mewabah. Skala, penyebab, dan metode penularan tak pernah dijelaskan, pastinya, penyakit ini memaksa Paul menembak mati ayah mertuanya, Bud (David Pendleton) yang terjangkit. Demi keamanan, Paul menyegel seluruh rumah, membuat sederet peraturan termasuk pelarangan keluar rumah kecuali terpaksa dan harus mengenakan masker. Sampai suatu malam, seorang pria bernama Will (Christopher Abbott) menerobos masuk.
It Comes at Night didominasi pemandangan Travis berjalan di koridor gelap hanya ditemani lentera selaku perwakilan isi pikiran Shults, atau lebih tepatnya mimpi buruk sang sutradara. Ketakutan, penyesalan, kecemasan, hasrat terpendam, bercampur aduk. Pergerakan lambatnya bagai uji ketahanan bagi penonton, namun tidak draggy, seperlunya, pula didukung fakta durasi film hanya 91 menit. Dan tatkala tiba waktunya intensitas sedikit ditingkatkan, walau minim di kuantitas, tidak dengan kualitas. Di paruh awal, pada proses menuju kedatangan mendadak Will, Shuls memperlihatkan pembangunan ketegangan kelas satu, yang kerap dilupakan banyak sineas arthouse horror, mencuatkan potensi jika kelak ia beralih ke mainstream horror.
Diawali close-up ke arah lukisan ditemani gemuruh musik atmosferik Brian McOmber. Lalu musik meredup hingga samar, kamera berpindah pelan menyoroti lorong gelap seiring langkah kaki hati-hati Travis yang memasuki kamar sang kakek, sebelum Shuls mengejutkan kita dengan satu-satunya jump scare nyata di film ini yang disusun oleh gambar mengerikan plus efek suara mencekam. Saat jantung penonton tengah terpacu, adegan langsung berpindah cepat ke sekuen kehadiran Will, menjaga stabilitas intensitas di titik puncak. Rangkaian adegan tersebut menunjukkan pemahaman Shuls akan fase psikis terciptanya ketegangan dan rasa takut, yang sayangnya enggan ia ulangi.
Jangan harap It Comes at Night menjawab segenap pertanyaan anda. Ini adalah film yang berpijak pada asas "good movie equals less explanation" dan "the less the audience know, the scarier". Bukan kekeliruan, hanya saja untuk konteks film ini, ketiadaan jawaban kerap terjerumus dalam kesan usaha diam-diam menjadi pretensius berkedok dua asas di atas. Juga bak pemberi jalan Shuls berbuat semaunya, sebebas mungkin menumpahkan misteri tanpa perlu repot memutar otak mencari jawaban. Misalnya terkait seringnya masker dilepas walau para tokoh takut setengah mati terjangkit penyakit. Bukankah lebih aman jika masker terus dipakai selain di sekitar penderita? Dengan menolak menjelaskan detail wabahnya, Shuls terhindar dari kewajiban menjawab lubang tersebut. Still a fascinating labyrinth, though.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Menurut saya...film horror mestinya "berhutang"penjelasan "kenapa"...bukan cuma memaparkan kejadian bagian "tengah"nya aja...film the other kayaknya paling jelas kejadiannya...jehe
Ambigu nggak masalah, asal bukan sekedar biar "nggak jelas", pretensius jadinya :)
film horror yang paling mendekati nilai sempurna menurut bang rasyid apa?
Salah satu yang paling serem Keramat. Sampai sekarang nggak berani lihat adegan pocong sendirian
Posting Komentar