CITY OF GHOSTS / VICTORIA & ABDUL / MARJORIE PRIME

4 komentar
Anda masih menganggap enteng ancaman ISIS? Saksikan City of Ghosts, dan renungkan betapa Suriah dibuat bak neraka oleh organisasi berkedok agama tersebut. Di belahan dunia lain, Victoria & Abdul yang mengantar Judi Dench meraih nominasi Golden Globe untuk Best Actress - Motion Picture Comedy or Musical, justru merayakan kolonialisme berkedok kisah persahabatan beda kasta, ras, dan agama. Sementara Marjorie Prime memperlihatkan bahwa tidak semua science-fiction memandang artificial intelligence yang makin mendekati manusia sebagai suatu ancaman. 

City of Ghosts (2017)
Raqqa Is Being Slaughtered Silently (RBSS). Begitu nama pergerakan citizen journalism yang mewartakan kekejaman ISIS di Raqqa, Suriah, kepada dunia meski nyawa jadi taruhan dan mesti hidup bersembunyi. Nama yang gamblang, menusuk tanpa basa-basi, segamblang footage yang disediakan bagi Matthew Heineman (Cartel Land) guna merangkai dokumenternya. Pembunuhan jadi pertunjukan, kepala manusia dipertontonkan, anak-anak dipaksa "berjihad". City of Ghosts mengerikan bukan saja karena pemandangan kejam. Horor sesungguhnya hadir di benak kita. Melihat video propaganda kelas Hollywood milik ISIS, timbul pertanyaan, "seberapa kuat mereka?". Dan seperti diutarakan satu narasumber, ISIS adalah gagasan, bisa tumbuh cepat di mana saja, termasuk Indonesia. City of Ghosts menyadarkan akan fakta itu. Di satu titik, beberapa anggota RBSS mengungsi ke Jerman hanya untuk menerima cemoohan lain dari para anti-imigran, memperluas cakupan film menuju penindasan oleh hegemoni kaum yang merasa superior. Mengingat mayoritas rekaman berasal dari RBSS, Heineman harus menyesuaikan, sulit berkreasi demi totalitas dampak emosi. Pun terbatasnya sumber (ISIS menutup akses informasi Raqqa) serta alasan keamanan cenderung menghadirkan tanya ketimbang jawaban. Seusai menonton, saya menemukan lebih banyak kisah luar biasa di internet. Tapi apakah aktivitas itu bakal terjadi tanpa City of Ghosts? Mungkin tidak. Film ini membuka mata saya. (4/5)

Victoria & Abdul (2017)
Bayangkan film soal masa kolonialisme Hindia Belanda di mana orang Indonesia diminta mempersembahkan penghargaan bagi Wilhelmina, berinisiatif mencium kaki sang Ratu, bersahabat dengannya, memilih meninggalkan tanah air dan hidup mewah di Kerajaan Belanda. Tidak peduli betapa piawai Stephen Frears (Florence Foster Jenkins, Philomena) merangkai momen jenaka berbentuk olok-olok pada manusia haus kuasa, pemujaan Abdul (Ali Fazal) terhadap Ratu Victoria (Judi Dench) adalah pemandangan mengganggu. Victoria pun menyukai Abdul, bahkan menjadikannya Munshi (Guru) hingga seisi Istana kocar-kacir. Victoria & Abdul punya niat baik menuturkan keberhasilan korban rasisme (Abdul seorang muslim India) menggoyang kenyamanan penguasa, tapi naskah yang dangkal gagal menekankan intensi Abdul selain keinginan memperbaiki hidup, mengesankan dia hanya social climber biasa. Ada usaha memanusiakan Victoria sebagai wanita tua kesepian sekaligus humanis yang memperjuangkan hak minoritas. Lucu, sebab dia yang mengawali nyaris 100 tahun pendudukan Inggris di India. Setidaknya Judi Dench luar biasa melakoni dua sisi Victoria: pimpinan sinis nan intimidatif di depan bawahan, wanita ramah tapi rapuh yang membutuhkan kawan di depan Abdul. Victoria & Abdul bagai bangsawan yang coba merakyat, mengunjungi perkampungan sambil melambaikan tangan dari dalam mobil mewah. (2/5)

Marjorie Prime (2017)
Di suatu versi masa depan, orang mati dapat diwujudkan kembali sebagai kecerdasan buatan berbentuk hologram yang disebut "Prime". Marjorie (Lois Smith), wanita tua penderita demensia menghabiskan hari mengobrol bersama Prime yang memiliki wajah mendiang suaminya, Walter (Jon Hamm) kala muda. Memori Walter Prime (demikian ia dipanggil) berasal dari informasi yang disediakan Marjorie, pula puterinya, Tess (Geena Davis) dan sang suami, Jon (Tim Robbins). Mereka bicara soal kenangan, baik yang indah, maupun yang menjadi indah karena ditutupinya fakta-fakta menyedihkan. Mengadaptasi naskah teater berjudul sama, sutradara sekaligus penulis naskah Michael Almereyda menyusun Marjorie Prime dengan pembicaraan lirih selaku perenungan mengenai memori. Almereyda menebar magis melalui deretan dialog, yang bagi karakternya bagai terapi. Marjorie berusaha mengumpulkan keping-keping ingatan yang tersisa sedangkan Tess ingin memperbaiki hubungan dengan ibunya. Para Prime mungkin bukan manusia utuh, tapi menolong manusia menemukan keutuhan. Ditutup pembicaraan menyihir, Marjorie Prime menampilkan kondisi kala Manusia dan A.I. saling mengisi alih-alih mengancam. (4.5/5)

4 komentar :

Comment Page:
Zulfikar Knight mengatakan...

Btw, Insidious 4 kapan keluar ya? Ada yg bilang Rabu ada jg yg bilang Jumat

Rasyidharry mengatakan...

Emang pihak 21 sempet tarik ulur. Akhirnya midnight tanggal 6, tayang reguler Rabu 10 Januari

Kasamago mengatakan...

City of Ghost itu dokumenter y gan..

Rasyidharry mengatakan...

Yap, dokumenter