PAI KAU (2018)
Rasyidharry
Februari 09, 2018
Anthony Xie
,
Indonesian Film
,
Ineke Valentina
,
Irina Chiu
,
Kurang
,
Natasha Gott
,
REVIEW
,
Sidi Saleh
,
Thriller
,
Verdi Solaiman
Tidak ada komentar
Sidi Saleh (sutradara sekaligus penata kamera) membuka Pai Kau dengan close-up pantat karakter wanita bernama Dian. Dia tengah bersiap
mandi. Kamera menjauh, memperlihatkan punggung dan sekilas dadanya yang tak
tertutup sehelai benang pun sebelum pintu kamar mandi tertutup. Dian
kembali muncul tidak lama kemudian, hanya berbalut handuk, membicarakan seks
bersama teman-temannya. Setelahnya ia tak lagi terlihat. Mudah berasumsi, Dian hanya berperan
memfasilitasi shot nakal di atas. Pun
lekuk tubuh yang terpampang itu tak menyimpan signifikansi bagi keseluruhan
kisah.
Saya suka thriller
erotis. Sensualitas bisa jauh lebih mencengkeram dan menyesakkan ketimbang
banjir darah maupun kejaran pembunuh bersenjata tajam. Tapi Pai Kau bukan thriller erotis. Sekedar thriller
yang secara nakal menyelipkan erotisme tanpa arti seperti halnya saat Sidi memperlihatkan
jelas isi rok Sinta (Natasha Gott). Untuk apa? Di Basic Instinct, Paul Verhoeven memperlihatkan Sharon Stone melipat
kaki dari dekat guna menggambarkan apa yang dilihat karakternya. Di sini Sidi
lah yang mengintip. Sidi yang tergoda, bukan Edy (Anthony Xie), si pria pangkal
permasalahan utama Pai Kau.
Edy adalah playboy.
Menjelang hari pernikahannya dan Lucia Liem (Irina Chiu), ia masih sempat
berhubungan seks dengan Sinta, rekan kerjanya, di tempat parkir pula. Di tempat
lain, Siska (Ineke Valentina) terpukul mendengar kabar pernikahan Edy. Ada
rahasia di antara mereka, permasalahan yang belum tuntas. Thriller membutuhkan simpati penonton terhadap karakternya, sebab
tanpa simpati atau keterikatan, ketegangan bakal sulit dimunculkan. Pada Siska
lah simpati penonton harusnya tercurah. Pada kemalangannya, pada rencana
gilanya mengacaukan pernikahan Edy.
Tapi sebelum rencana tersebut berlangsung, jarang sekali
porsi diberikan untuk Siska. Justru Edy dan Lucia beserta sang ayah, Koh Liem
(Tjie Jan Tan) lebih dominan. Sidi Mohammad Ariansah selaku penulis naskah
ingin menjadikan keluarga Liem sebagai sarana menyelipkan warna sinema Hong
Kong, dari persoalan keluarga, unsur mafia, atau sekedar bermain-main di tata
artistik setting-nya. Pai Kau memberi pemandangan berbeda nan
cukup menyegarkan berkat sentuhan kultur Tionghoa miliknya, walau kekuatan banyak
adegan bernuansa thriller/kriminal “terjun
bebas” kala akting kaku beberapa pemain pria. Hanya Verdi Solaiman sebagai Koh Jun,
si pria berdarah dingin penyuka lagu Hau
Siang Hau Siang yang tampil baik.
Sidi piawai merangkai selipan-selipan komedi. Ada tiga adegan
luar biasa lucu (dua melibatkan confetti, satu lagi toilet), tapi tak ada satu
pun momen menegangkan, yang mana seharusnya jadi fokus Pai Kau. Sidi justru kurang berhasil melambungkan tensi dramatik
dan ketegangan mencengkeram. Selain terkait ritme, kegagalan itu pun disebabkan
ketiadaan kepedulian akan aksi yang dijalankan Siska. Belum lagi klimaksnya
tenggelam dalam pertengkaran ala opera sabun yang membahas permasalahan klasik
(takkan saya ungkap, tapi bukan perkara sulit menebaknya).
Di sela-sela konflik utama, permainan Pai Kau sesekali
mengisi. Saya pun berasumsi setiap poin cerita mewakili masing-masing
fase dalam permainan tersebut. Entahlah. Saya tidak memahami aturan,
strategi, juga cara bermain Pai Kau. Filmnya sendiri tak menyulut keinginan mencari
tahu. Menyaksikan Ineke Valentina di paruh akhir, melihat
tatapannya, caranya menggoda, saya yakin ia mampu menangani peran dalam sajian erotic thriller sungguhan. Thriller
dengan sensualitas sebagai pondasi substansial pembangun intensitas.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar