HICHKI (2018)
Rasyidharry
Maret 27, 2018
Drama
,
Harsh Mayar
,
Hindi Movie
,
Lumayan
,
Neeraj Kabi
,
Rani Mukerji
,
REVIEW
,
Siddharth P. Malhotra
9 komentar
Hichki, atau dalam Bahasa Indonesia berarti
“cegukan”, mengisahkan wanita penderita sindrom Tourette, sebuah kondisi di
mana seseorang mengeluarkan gerakan atau ucapan spontan (tic) tanpa mampu dikontrol. Dari suara-suara acak sampai sumpah
serapah, dari gerakan kecil hingga kejang-kejang. Bagi penderita Tourette
berada di muka umum bukan perkara mudah, karena minimnya pemahaman akan penyakit
ini mengakibatkan pandangan miring publik terhadap mereka. Dengan kondisi tersebut, protagonis film ini
mesti mengajar murid-murid luar biasa nakal, yang saking nakalnya, pihak
sekolah menganggap mereka sampah yang lebih baik musnah.
Tentu semakin jauh alur berjalan, kita dan sang guru, Naina
Mathur (Rani Mukerji) mendapati bahwa anak-anak itu sejatinya bukan biang onar.
Hanya butuh perhatian lebih. Hichki
memang kisah inspiratif konvensional soal guru bermasalah yang coba menolong
murid bermasalah, dan seiring usaha si guru berlangsung, tanpa disadari ia
turut menyelesaikan masalahnya sendiri. Naskah yang ditulis empat orang
termasuk sutradara Siddharth P. Malhotra bergerak mengikuti pakem yang sudah
diterapkan ratusan film di luar sana, mulai Dead
Poets Society, Half Nelson, bahkan produk lokal macam Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, ketika sang guru menerapkan pola
mengajar unik guna menangani siswa-siswi unik.
Belajar di luar kelas, memakai telur sebagai peraga, atau
materi-materi lain di samping kurikulum yang hanya bisa kita impikan terjadi di
dunia nyata supaya kegiatan mempelajari rumus fisika dan matematika di sekolah
dulu lebih menyenangkan. Tentu ada sosok oposisi. Wadia (Neeraj Kabi), guru
kelas 9A (kelas terbaik, sementara 9F yang diajar Naina adalah yang terburuk)
dengan pola pikir kolot yang menganggap kebahagiaan tak berbanding lurus dengan
kesuksesan. “We’re luckier but they’re
definitely happier”, begitu ucap salah satu murid 9A melihat siswa-siswi
Naina belajar sambil tertawa. Sebagaimana banyak film motivasional, dialog
buatan Ankur Chaudhry tak masuk akal namun enak didengar pula quotable.
Bisa dipastikan keteguhan Naina akan meluluhkan hati
anak-anak 9F. Bisa dipastikan pula, seorang anak bakal lebih sulit ditaklukkan.
Peran itu diemban Aatish (Harsh Mayar) yang gemar berkelahi dengan anak 9A,
tetapi di waktu bersamaan diam-diam menyukai gadis di kelas itu. Romantika
Aatish, seperti halnya perselisihan Naina dengan ayahnya atau potret kemiskinan
yang memancing sikap berat sebelah terkait hak memperoleh pendidikan, hadir
bukan sebagai distraksi. Fokus berhasil dijaga, sedangkan sempilan-sempilan di
atas berguna memberi dimensi kepada para tokoh, memanusiakan mereka alih-alih
sekedar alat pengeruk inspirasi.
Demikian juga alasan kegigihan Naina membantu 9F yang
memiliki dasar kuat. Dahulu ia pun diremehkan, dianggap bermasalah, aneh, dan
sebagainya. Wajar bila Naina merasakan ikatan. Memerankan karakter dengan
sindrom yang memiliki simtom gamblang, akting Mukerji menghindarkan kesan
parodi tak sensitif dari sosok Naina. Perhatikan saat tic-nya muncul di sela-sela perbincangan. Seolah kondisi ini telah
sekian lama menjadia bagian hidup Mukerji. Pasca 4 tahun “cuti melahirkan”, performa
aktris peraih piala Filmfare Awards
terbanyak ini (7 kemenangan dari 17 nominasi) sama sekali tidak terkikis.
Mengadaptasi buku Front
of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had buatan
motivator asal Amerika, Brad Cohen, Hichki
memang formulaik, tapi mengikuti kesuksesan drama edukatif dan motivasional
produksi Bollywood belakangan, hatinya ada di tempat yang tepat. Air mata haru,
atau setidaknya seperti saya, senyum lebar bakal mengembang mengamati
perjuangan Naina Mathur. Paling penting, selaras dengan tujuan besar si tokoh
utama, yakni memberi pendidikan, Hichki
memberi sepintas pemahaman tentang sindrom Tourette. Belum mendetail, namun
melihat fakta banyak penonton belum mengenal penyakit ini, pencapaian filmnya sudah cukup.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
9 komentar :
Comment Page:Min, review film i kill giant, katanya sih keren,
Thanks
Meskipun hasil akhir film ini predictable. Hal yang membuat saya betah dan menghiraukan akhirnya bakal berjalan seperti bagaimana film ini adalah performa Mukerji yang memang luar biasa. Kedua, saya adalah seorang guru, dan pernah berada di posisi Naina Mathur.
Nah, bener, kalau pernah/lagi jadi guru bakal lebih berkesan ceritanya
Dutunggu review film #TemanTapiMenikah sama Maddah-nya Mas Rasyid.
Maddah nonton nanti malem sih. TTM mungkin baru Sabtu, antri sama Ready Player One, The Shape of Water & ada premier Bluebell juga
Hokkeh mas ditunggu semua review-nya
The shape water film tahun lalu kan bang. Download aja.
Ada nyanyi nyanyi sama joged joged ga mas??
Btw ditunggu riviuw Hongkong Kasarungnya hahaha😂😂
@Jefry udah nonton, tapi sayang kalo nggak di bioskop. Visual & musik sebagus itu
@Dimas nggak semua bolly ada kali 😂
Posting Komentar