KENAPA HARUS BULE? (2018)
Rasyidharry
Maret 23, 2018
Andri Cung
,
Comedy
,
Cornelio Sunny
,
Cukup
,
Indonesian Film
,
Michael Kho
,
Natalius Chendana
,
Putri Ayudya
,
REVIEW
,
Romance
7 komentar
Perkenalkan Pipin Kartika (Putri Ayudya), gadis 29 tahun
dengan make up “mencolok”. Perona mata biru, lipstik merah menyala, juga bedak luar
biasa tebal namun tidak rata yang membuat wajah dan lehernya berbeda warna,
seolah berusaha menutupi kulit sawo matang miliknya. Pipin ingin dicintai, tapi
keinginan itu terbentur standar kecantikan. Pipin tidak cantik, setidaknya
begitu menurutnya, yang merasa rendah diri akibat sejak kecil kerap disamakan
dengan monyet oleh teman-temannya. Itulah mengapa ia berhasrat menikahi bule.
Selain demi memperbaiki keturunan, Pipin percaya paras eksotisnya lebih disukai
bule ketimbang pria lokal. Di samping perihal standar kecantikan, Kenapa Harus Bule? turut menyinggung
inferioritas masyarakat kita terhadap bangsa asing, khususnya dari negara
Barat.
Karya penyutradaraan kedua Andri Cung setelah The Sun, The Moon & The Hurricane
(2014)—atau ketiga jika menghitung segmen Insomnights
(bersama Witra Asliga) dan Rawa
Kucing di omnibus 3Sum (2013)—ini
mengetengahkan bagaimana keputusasaan Pipin mencari bule, kemudian memilih
pindah ke Bali atas saran sahabatnya, Arik (Michael Kho). Saya tak keberatan
apabila keseluruhan film ini diisi perbincangan Arik dan Pipin. Pertama kali
keduanya mengisi layar bersama, kita disuguhi perbincangan renyah dalam mobil
yang dikemas lewat satu take tanpa
putus. Di The Sun, The Moon & The
Hurricane, Andri kerap memakai teknik serupa, namun tanpa dinamika seperti
ini. Sebab kali ini ia punya duo Putri Ayudya-Michael Kho.
Sungguh seperti sahabat karib, mereka lancar bertukar kata,
canda, sambil disisipi sedikit sindiran yang takkan mengejutkan jika ternyata
bagian improvisasi. Putri Ayudya
menunjukkan akurasi performa sebagai pengejar bule yang bukan berasal dari
kalangan ekonomi ke atas, khususnya terkait pelafalan Bahasa Inggris medok yang kerap dicampur ungkapan
Bahasa Indonesia, misalnya “Make a new
friend is okay anyway KAAN?”. Energi di balik totalitasnya sanggup pula
memancing tawa tatkala sang sutradara terbukti kurang piawai membangun momen komedik.
Di Bali, Pipin terpapar dua pilihan: Buyung (Natalius
Chendana), pria dari masa lalunya yang tampan, mapan, perhatian, pula
mencintainya, tetapi bukan bule, atau Gianfranco Battaglia (Cornelio Sunny),
bule Italia yang telah lama ia idam-idamkan. Film ini mengetengahkan proses
mencari bule yang justru berujung menemukan makna cinta, sehingga mudah menebak
dengan siapa Pipin menjatuhkan pilihan. Namun karena filmnya lebih jarang
memperlihatkan kebersamaan Pipin dengan pria pilihannya daripada si pesaing,
hubungan mereka kurang berkembang, kurang merekah, sehingga konklusi pun terasa
kurang bermakna di hati.
Walau demikian saya menyukai perspektif bijak dalam pesan
yang diutarakan Andri Cung. Ketimbang menyerang pola pikir mayoritas masyarakat
tentang pernikahan dengan amarah, Andri mengambil jalan tengah. “Jangan
memaksakan diri menikah, tapi jangan juga tidak menikah cuma karena menyerah”.
Ditambah hal lain yang Pipin temukan yaitu “pemberdayaan”, Kenapa Harus Bule? jelas mengandung pesan penting, meski mengenai
eksekusi, baik di tataran romantis maupun komedi, setumpuk kelamahan masih
perlu diperbaiki. Apalagi kalau ke
depannya, Andri masih berniat menjadikan komedi satir macam ini sebagai lahan ekspresi.
Jangan mencari pencapaian teknis, sebab sinematografi,
pilihan shot, tata artistik, suara,
dan elemen-elemen pendukung lain tampil seadanya. Biarpun tidak sampai selevel
posternya yang jauh lebih norak daripada make up Pipin, aspek teknis Kenapa Harus Bule? jelas ada di taraf
medioker. Sebagaimana The Sun, The Moon
& The Hurricane, Andri Cung mengesampingkan teknis sambil mengedepankan
konten. Di sini, naskah tulisannya cukup efektif menjabarkan latar serta
motivasi karakter melalui cara yang subtil sehingga tidak perlu memakan banyak
waktu untuk eksposisi berkepanjangan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Semalem nonton mas, lucu liat tingkah kocak pipin dengan bedak medok-nya serta bahasa inggris yg blepotannya, meskipun cerita predictable dan gak wah, setidaknya film ini mampu memberikan sebuah hiburwn yg cukup menyenangkan dengan sindirannya, oh ya mas ada planning nonton film Hichki (cegukan) film comeback-nya Rani Mukherjee tentang pendidikan yang begitu kaya akan value dan mampu membuat penontonnya terbawa perasaan, bahkan saya dan beberapa orang d dalam bioskop pun dibuat mewek sama ini film *ehh
Jessica jones season 2 gk d review nih bro?
Antara Kenapa Harus Bule dengan Guru Ngaji, lebih worthed yg mana bang untuk ditonton?
@Ungki Karena cuma tayang di Jakarta baru sempet nonton Hichki besok senin/selasa ini
@Taufik Udah nggak tertarik nonton series Marvel yang Netflix
@Anonim sama aja sih, tergantung preferensi. Pengen yang fun KHB, kalau emosional Guru Ngaji
Thanks Mas. Selalu ditunggu review-nya
Wah wah kenapa nih masbro udah gak tertarik lg sama series marvel?
Awalnya nonton karena koneksi ke filmnya, tapi makin ke sini makin berdiri sendiri & harapan crossover mengecil jadi males.
Posting Komentar