LOVE FOR SALE (2018)

25 komentar

Kalau bukan karena gaya tutur Andibachtiar Yusuf (Mata Dewa, Hari Ini Pasti Menang, Romeo Juliet) yang kurang memanfaatkan komedi visual quirky, Love for Sale bakal tampak seperti film yang mengincar partisipasi di Sundance, dan dibuat oleh sineas yang berbaur di komunitas drama-komedi indie Amerika bersama Noah Baumbach dan kawan-kawan. Filmnya mengambil pendekatan segar cenderung aneh terhadap cerita lama soal cinta dan kesendirian. Betapa tidak? Richard (Gading Marten) si karakter utama punya kura-kura besar bernama Kelun yang menemaninya melakukan dua hobinya di rumah: menonton sepak bola dan galer (garuk peler).

Balutan humor, khususnya yang berbentuk komedi verbal, tersaji lucu dalam kisah mengenai Richard, pemilik usaha percetakan warisan orang tua angkatnya sekaligus seorang jomblo akut. Dia kesepian, dan konon rasa sepi memunculkan ketidakramahan. Richard selalu bersikap galak kepada para karyawan, menerapkan disiplin waktu luar biasa ketat. Sementara di rumah alias ruang paling personal, Richard bagai menelantarkan diri. Berkeliaran dengan pakaian dalam sambil menggaruk-garuk pantat (dan tentunya peler). Richard mengaku sudah punya pacar pada sahabat-sahabatnya, yang pastinya tak pernah ia ajak, sebab itu kebohongan semata.
Andibachtiar masih menyelipkan kegemarannya akan sepak bola. Nobar sepak bola jadi momen berkumpul rutin Richard bersama para sahabat, pun beberapa humor “lokal” serta referensi tentang sepak bola sering mengisi, dari ketampanan David Ginola sampai buruknya prestasi Newcastle. Cukup menggelitik bagi yang paham, meski akan lebih lucu jika olok-oloknya ditujukan untuk Arsenal (sorry Gooners). Berawal dari nobar pula konflik utama bermula. Sahabat-sahabat Richard bertaruh bahwa ia takkan membawa pasangan ketika menghadiri pernikahan Rudy (Rizky Mocil). Di sini aplikasi penyedia pasangan Love, Inc. memberinya jalan keluar.

Setelah melewati paruh pertama selaku pengenalan tokoh dan masalah yang bergulir terlalu lama, Richard akhirnya bertemu Arini (Della Dartyan), yang akan menemaninya, tinggal bersamanya selama 45 hari sebagai kekasih. Mudah ditebak, Richard akhirnya jatuh cinta sungguhan. Bisa dimaklumi, karena penonton pun bakal mudah mencintai Arini berkat kemampuan sang aktris meluluhkan hati lewat komunikasi, baik verbal maupun non-verbal (senyum, tatapan). Seperti Richard, penonton dibuat jatuh cinta pada Arini, yang berarti usaha sutradara menyalurkan emosi berhasil. Sedangkan Gading menghadirkan performa terbaik sepanjang karirnya selaku pembuktian bahwa ia mampu melakoni peran dramatik yang (lebih) serius.
Karakter Richard dibuatnya tampak menyedihkan dengan usaha putus asa mencari pasangan (sampai mengajak salah satu karyawan), kebiasan garuk-garuk, juga dibantu pilihan kostum yang menegaskan keengganannya mengurus diri. Gading sempurna memadukan nuansa bittersweet, termasuk di sebuah momen “perpisahan” jelang akhir. Serupa Della, Gading mengandalkan senyum, hanya saja jenis senyum berbeda yang dapat membuat penonton ingin menepuk pundaknya. Chemistry solid Gading-Della sukses membangun romantisme disisipi adegan bercinta yang cukup memberi filmnya rating 21+. di samping konten cerita dewasa seputar persewaan perempuan yang mirip praktek prostitusi. Sampai tulisan ini dibuat, perasaan manis-pahit hubungan keduanya masih terngiang jelas di benak saya.

Terkait aplikasi Love, Inc. sendiri, filmnya meninggalkan kita pada ambiguitas yang memancing pertanyaan, bukan cuma soal plot (modus operandi Love, Inc., yang apa pun tujuannya, bakal lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang keuntungan finansial bagi mereka), juga destinasi yang ingin filmnya capai lewat unsur tersebut. Sindiran mengenai percintaan di era modern? Satir untuk kepalsuan sekaligus sikap tak humanis dalam industri seni dan hiburan? Atau semata-mata demi elemen kejutan?  Saya percaya semua itu tersimpan di pikiran Andibachtiar. Sayang, usahanya menyalurkan isi pikiran tak semulus penyaluran emosi. Setidaknya Love for Sale memiliki pembeda guna menangani familiaritas serta repetesi tema percintaan di film kita. Wahai jomblo, tonton Love for Sale, lalu pergilah keluar, saksikan seisi dunia daripada terkurung dalam kemurungan sendiri.

25 komentar :

Comment Page:
KieHaeri mengatakan...

Kalimat terakhir itu sangat menyentuh kalbu dan sanubari.....hehe

halumma mengatakan...

Mas.. Ga ada pembahasan soal oscar kah?

Gerhana mengatakan...

sekala niskala udah nonton bro?

Rasyidharry mengatakan...

@Ungki Semoga terinspirasi *eh*

@halumma Nggak perlu, prediksi udah hampir betul semua berarti nggak ada kejutan.

@Taufik Udah. Udah di-review juga dari Desember 2017

Anonim mengatakan...

Film untuk jomblo2 akut agar tersadar bahwa dunia nyata bukan sebatas kamar kos, internet, game dan film2 donlodan.

Troop mengatakan...

Film titisan setan bakal di review ga?

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

penekanan wahai para jomblo nya serasa ada aura yang aneh

dim mukti mengatakan...

Menarik sih..

dim mukti mengatakan...

Mas Rasyid pasti lebih tertarik sama Hongkong Kasarung hahaha

hilpans mengatakan...

Wuih gading marten performa luar biasa sbg leading actor nih kekny dr film filmny nih,trakhir liat dia yg leading di film diujung dunia..selebih dia cma suporting yg sedikit tpi mencuri perhatian d hangout..d susah sinyal..bakalan nonton deh

Zamal mengatakan...

Bang ko ga review para pmenang oscar?

Drama-movie mengatakan...

Bang review tomb raider gak?

Rasyidharry mengatakan...

@Teguh Pastinay bukan nyindir diri sendiri lho haha

@dimas You know me so well dude.

@hilpans Yep, Gading biasanya cuma main sekilas buat ngelawak random. Surprisingly bagus dia di sini. Pas karakternya.

@Zamal Maksudnya? Kan udah tuh Lady Bird dll.

Unknown mengatakan...

mas jangan lupa review The Strangers:Prey at night, kira-kira apa yg membuat IGN, Rogert Ebert, Joblo ngasih rating bagus, padahal film slasher yg biasanya selalu di kasih rating jelek.

Rasyidharry mengatakan...

The Strangers 2 mah itungannya dapet review jelek itu, jauh di bawah film pertamanya. Baru nonton besok.

Unknown mengatakan...

udah nonton, banyak homage ke film horror lawas, lagu-lagunya juga enak di dengar, bagus kok filmnya, gore nya juga ok.

Fauzy Husni mengatakan...

Gue kaget kok cuma 3,5?

Rasyidharry mengatakan...

@Fauzy Soalnua pilihan Andibachtiar buat konklusi ambigu malah bikin penyampaian pesannya nggak maksimal.

Unknown mengatakan...

Di ending-nya kayak ngegantung gitu ya, Mas, berpotensi sekuel ? Atau justru ending-nya sengaja dibuat gitu biar penontonnya yang ngambil kesimpulan sendiri ?

Rasyidharry mengatakan...

Katanya sih pengen bikin spin-off, nggak tahu beneran apa bercanda

Unknown mengatakan...

@Mas Rasyid Wah, kayak "Sabrina" gitu dong berarti ya, spin-off dari "The Doll 2". Menarik sih kayaknya kalo beneran bakal dibuat backstory dari Arini. Biar penonton yang bingung bisa tercerahkan.

Rasyidharry mengatakan...

Nah entah ya, kayaknya sih bukan karakter Arini yang diangkat

Unknown mengatakan...

@Mas Rasyid Yaaah, sayang banget kalo bukan Arini yang dibikin spin-off. Padahal debut aktingnya itu lho bikin kesan tersendiri dan tentunya loveable.

agoesinema mengatakan...

Berharap ada sekuelnya... keren nih film, film langka di industri perfilman Indonesia. Penasaran dgn karakter Arini yg misterius, ttg asal usulnya yg gak jelas Pacitan apa Tulung Agung? Pak Kartolo itu beneran ayahnya atau bukan dan msh banyak lagi. Layak dibuat sekuel.

Unknown mengatakan...

Endingnya gimana sih. Bingung dah