LOVE FOR SALE (2018)
Rasyidharry
Maret 08, 2018
Andibachtiar Yusuf
,
Comedy
,
Della Dartyan
,
Gading Marten
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Rizky Mocil
25 komentar
Kalau bukan karena gaya tutur Andibachtiar Yusuf (Mata Dewa, Hari Ini Pasti Menang, Romeo
Juliet) yang kurang memanfaatkan komedi visual quirky, Love for Sale
bakal tampak seperti film yang mengincar partisipasi di Sundance, dan dibuat
oleh sineas yang berbaur di komunitas drama-komedi indie Amerika bersama Noah
Baumbach dan kawan-kawan. Filmnya mengambil pendekatan segar cenderung aneh terhadap
cerita lama soal cinta dan kesendirian. Betapa tidak? Richard (Gading Marten)
si karakter utama punya kura-kura besar bernama Kelun yang menemaninya melakukan
dua hobinya di rumah: menonton sepak bola dan galer (garuk peler).
Balutan humor, khususnya yang berbentuk komedi verbal,
tersaji lucu dalam kisah mengenai Richard, pemilik usaha percetakan warisan
orang tua angkatnya sekaligus seorang jomblo akut. Dia kesepian, dan konon rasa
sepi memunculkan ketidakramahan. Richard selalu bersikap galak kepada para
karyawan, menerapkan disiplin waktu luar biasa ketat. Sementara di rumah alias
ruang paling personal, Richard bagai menelantarkan diri. Berkeliaran dengan
pakaian dalam sambil menggaruk-garuk pantat (dan tentunya peler). Richard
mengaku sudah punya pacar pada sahabat-sahabatnya, yang pastinya tak pernah ia ajak,
sebab itu kebohongan semata.
Andibachtiar masih menyelipkan kegemarannya akan sepak bola. Nobar
sepak bola jadi momen berkumpul rutin Richard bersama para sahabat, pun
beberapa humor “lokal” serta referensi tentang sepak bola sering mengisi, dari
ketampanan David Ginola sampai buruknya prestasi Newcastle. Cukup menggelitik
bagi yang paham, meski akan lebih lucu jika olok-oloknya ditujukan untuk
Arsenal (sorry Gooners). Berawal dari
nobar pula konflik utama bermula. Sahabat-sahabat Richard bertaruh bahwa ia
takkan membawa pasangan ketika menghadiri pernikahan Rudy (Rizky Mocil). Di
sini aplikasi penyedia pasangan Love,
Inc. memberinya jalan keluar.
Setelah melewati paruh pertama selaku pengenalan tokoh dan
masalah yang bergulir terlalu lama, Richard akhirnya bertemu Arini (Della
Dartyan), yang akan menemaninya, tinggal bersamanya selama 45 hari sebagai
kekasih. Mudah ditebak, Richard akhirnya jatuh cinta sungguhan. Bisa dimaklumi,
karena penonton pun bakal mudah mencintai Arini berkat kemampuan sang aktris meluluhkan hati lewat komunikasi, baik verbal maupun non-verbal (senyum,
tatapan). Seperti Richard, penonton dibuat jatuh cinta pada Arini, yang berarti
usaha sutradara menyalurkan emosi berhasil. Sedangkan Gading menghadirkan
performa terbaik sepanjang karirnya selaku pembuktian bahwa ia mampu melakoni
peran dramatik yang (lebih) serius.
Karakter Richard dibuatnya tampak menyedihkan dengan usaha
putus asa mencari pasangan (sampai mengajak salah satu karyawan), kebiasan
garuk-garuk, juga dibantu pilihan kostum yang menegaskan keengganannya mengurus
diri. Gading sempurna memadukan nuansa bittersweet,
termasuk di sebuah momen “perpisahan” jelang akhir. Serupa Della, Gading
mengandalkan senyum, hanya saja jenis senyum berbeda yang dapat membuat
penonton ingin menepuk pundaknya. Chemistry solid Gading-Della sukses membangun romantisme disisipi adegan bercinta yang cukup memberi filmnya rating
21+. di samping konten cerita dewasa seputar persewaan perempuan yang mirip praktek prostitusi. Sampai tulisan ini dibuat, perasaan manis-pahit hubungan keduanya masih terngiang jelas di benak saya.
Terkait aplikasi Love,
Inc. sendiri, filmnya meninggalkan kita pada ambiguitas yang memancing
pertanyaan, bukan cuma soal plot (modus operandi Love, Inc., yang apa pun tujuannya, bakal lebih banyak menimbulkan
masalah ketimbang keuntungan finansial bagi mereka), juga destinasi yang ingin
filmnya capai lewat unsur tersebut. Sindiran mengenai percintaan di era modern?
Satir untuk kepalsuan sekaligus sikap tak humanis dalam industri seni dan
hiburan? Atau semata-mata demi elemen kejutan? Saya percaya semua itu tersimpan di pikiran
Andibachtiar. Sayang, usahanya menyalurkan isi pikiran tak semulus penyaluran emosi.
Setidaknya Love for Sale memiliki
pembeda guna menangani familiaritas serta repetesi tema percintaan di film kita. Wahai jomblo, tonton Love for Sale,
lalu pergilah keluar, saksikan seisi dunia daripada terkurung dalam kemurungan
sendiri.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
25 komentar :
Comment Page:Kalimat terakhir itu sangat menyentuh kalbu dan sanubari.....hehe
Mas.. Ga ada pembahasan soal oscar kah?
sekala niskala udah nonton bro?
@Ungki Semoga terinspirasi *eh*
@halumma Nggak perlu, prediksi udah hampir betul semua berarti nggak ada kejutan.
@Taufik Udah. Udah di-review juga dari Desember 2017
Film untuk jomblo2 akut agar tersadar bahwa dunia nyata bukan sebatas kamar kos, internet, game dan film2 donlodan.
Film titisan setan bakal di review ga?
penekanan wahai para jomblo nya serasa ada aura yang aneh
Menarik sih..
Mas Rasyid pasti lebih tertarik sama Hongkong Kasarung hahaha
Wuih gading marten performa luar biasa sbg leading actor nih kekny dr film filmny nih,trakhir liat dia yg leading di film diujung dunia..selebih dia cma suporting yg sedikit tpi mencuri perhatian d hangout..d susah sinyal..bakalan nonton deh
Bang ko ga review para pmenang oscar?
Bang review tomb raider gak?
@Teguh Pastinay bukan nyindir diri sendiri lho haha
@dimas You know me so well dude.
@hilpans Yep, Gading biasanya cuma main sekilas buat ngelawak random. Surprisingly bagus dia di sini. Pas karakternya.
@Zamal Maksudnya? Kan udah tuh Lady Bird dll.
mas jangan lupa review The Strangers:Prey at night, kira-kira apa yg membuat IGN, Rogert Ebert, Joblo ngasih rating bagus, padahal film slasher yg biasanya selalu di kasih rating jelek.
The Strangers 2 mah itungannya dapet review jelek itu, jauh di bawah film pertamanya. Baru nonton besok.
udah nonton, banyak homage ke film horror lawas, lagu-lagunya juga enak di dengar, bagus kok filmnya, gore nya juga ok.
Gue kaget kok cuma 3,5?
@Fauzy Soalnua pilihan Andibachtiar buat konklusi ambigu malah bikin penyampaian pesannya nggak maksimal.
Di ending-nya kayak ngegantung gitu ya, Mas, berpotensi sekuel ? Atau justru ending-nya sengaja dibuat gitu biar penontonnya yang ngambil kesimpulan sendiri ?
Katanya sih pengen bikin spin-off, nggak tahu beneran apa bercanda
@Mas Rasyid Wah, kayak "Sabrina" gitu dong berarti ya, spin-off dari "The Doll 2". Menarik sih kayaknya kalo beneran bakal dibuat backstory dari Arini. Biar penonton yang bingung bisa tercerahkan.
Nah entah ya, kayaknya sih bukan karakter Arini yang diangkat
@Mas Rasyid Yaaah, sayang banget kalo bukan Arini yang dibikin spin-off. Padahal debut aktingnya itu lho bikin kesan tersendiri dan tentunya loveable.
Berharap ada sekuelnya... keren nih film, film langka di industri perfilman Indonesia. Penasaran dgn karakter Arini yg misterius, ttg asal usulnya yg gak jelas Pacitan apa Tulung Agung? Pak Kartolo itu beneran ayahnya atau bukan dan msh banyak lagi. Layak dibuat sekuel.
Endingnya gimana sih. Bingung dah
Posting Komentar