RED SPARROW (2018)
Rasyidharry
Maret 01, 2018
Charlotte Rampling
,
Francis Lawrence
,
Jennifer Lawrence
,
Jeremy Irons
,
Joel Edgerton
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Thriller
12 komentar
Saya merasa berkewajiban menekankan dahulu bahwa film ini
nyaris tanpa adegan laga selama 138 menit durasinya (hampir 2 menit terkena
gunting sensor), sebab saya yakin beberapa penonton bakal mengira Red Sparrow merupakan spionase berbumbu
aksi macam Salt atau Atomic Blonde. Cuma tiga kali karakter
utamanya terlibat baku hantam, di mana yang terakhir melibatkan banyak sayatan
pisau dan cipratan darah. Sesekali pula (mungkin 30 menit sekali), hadir adegan
penyiksaan atau pembunuhan brutal yang cukup memberi daya kejut. Sehingga
apabila ketiadaan aksi yang diganti permainan pikiran bukan jadi soal, Red Sparrow adalah film untuk anda.
Jennifer Lawrence memerankan Dominika Egorova, penari balet
asal Rusia yang terpaksa menjadi mata-mata selaku syarat yang diajukan pamannya,
Ivan Dimitrevich Egorov (Matthias Schoenaerts), sebelum ia bersedia membantu
menanggung kebutuhan ekonomi Dominika, termasuk biaya pengobatan kaki sang ibu.
Egorov adalah salah satu petinggi Dinas Intelijen Asing Rusia (SVR), meski melihat
kemiripan wajahnya, saya takkan terkejut jika suatu hari Schoenaerts akan “naik
pangkat” memerankan Vladimir Putin.
“Red Sparrow”.
Begitu ia dan rekan-rekannya disebut. Agen rahasia yang jago memanipulasi
pikiran target berdasarkan pemahaman atas keinginan mendasar tiap-tiap
individu. Lawrence, meski performanya terdistraksi inkonsistensi aksen, punya
tatapan serta aura intimidatif yang meyakinkan sebagai mata-mata, bahkan
tatkala tengah melakoni momen sensual. Begitu
juga Charlotte Rampling, kepala sekolah tempat para sparrow dilatih yang dapat dengan mudah membuat nyali orang di
sekitarnya ciut seketika.
Target utama Dominika adalah, Nate Nash (Joel Edgerton), agen
CIA yang di saat bersamaan juga tengah mencoba menginfiltrasi SVR. Selanjutnya pertarungan
pikiran kedua belah pihak mendominasi. Justin Haythe yang menulis naskahnya
berdasarkan novel berjudul sama karya Jason Matthews piawai menonjolkan intrik
tersebut. Penonton tahu bahwa Dominika maupun Nate mengetahui identitas
masing-masing, pun mereka akhirnya sama-sama mengungkapkan jati dirinya. Keduanya
seolah selalu bicara jujur, tapi kita tahu faktanya tidak demikian. Siapa yang
berbohong? Siapa yang tertipu? Tiap interaksi pun menjadi pergulatan psikis
yang mengikat.
Red Sparrow merupakan film pertama sutradara
Francis Lawrence pasca merampungkan franchise
The Hunger Games tiga tahun lalu. Di sini, Lawrence cermat merangkai
sensualitas yang mampu membuat penonton menahan nafas. Tidak murahan, sebab
kita bisa merasakan di balik keberanian Dominika menanggalkan pakaian sampai mencengkeram
kemaluan si atasan, ada sisi gelap, ada kekejaman disembunyikan. Setiap
sensualitas selalu diikuti kematian, darah, atau intensi terselubung, yang dibungkus
dalam permainan tempo penuh kesabaran dari Lawrence.
Semakin jauh dari kesan sensualitas murahan ketika
sinematografi garapan Jo Wilems senantiasa menyuntikkan gambar-gambar indah
bagi filmnya. Willems mampu “mengeksploitasi” deretan setting-properti serta
kostum yang kerap didominasi warna merah menyala. Entah mewakili nuansa seksi,
keberanian, atau Rusia, pastinya warna-warna mencolok tersebut menyegarkan mata
tatkala telinga kadang terganggu saat mendengar para pimpinan intelijen Rusia
berbicara memakai Bahasa Inggris khususnya aksen Jeremy Irons. Anehnya, Bahasa
Rusia sendiri acap kali karakternya gunakan di beberapa kesempatan. Well, you know Hollywood.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:Yang disensor 2 menit itu adegan sensual atau action mas?
Sensualnya. Porsi actionnya dikit, hampir nggak ada
Nunggu review Biang Kerok...
Dan terbukti adegan minim aksi di beberapa scene buat saya terkantuk, tapi langsung melek pas adegan sadis dan sensual, seolah daya kejutnya ada di situ, hahaha.
Saya malah sempat kebingungan arah ceritanya saat ditengah menuju akhir. atau saya yg terlalu lelet? -_-
sepertinya harus nonton lagi biar ngeh wkwkwkw.
@Pramudya Nah, berarti berhasil dimanipulasi sama Dominika ini :D
@Longe Kalau emang nggak demen spionase model begini nggak perlu nonton lagi, duitnya sayang haha
@Mas Rasyid Jadi korbannya Dominika ternyata gak enak ya. Enaknya cuman yang "manisnya" doang di awal, hahaha.
Oiya Mas pas udah nonton "Red Sparrow" gitu apa sekuelnya bakalan dibuat sesuai sama novelnya yang trilogi ?
Sutradaranya sih bilang tertarik bikin sekuel, tergantung Box Office nanti gimana. Kemungkinannya nggak terlalu besar, tracking sementara domestic B.O. total nggak sampai 60 juta, total seluruh dunia paling mentok 100 juta, itu pun susah.
@Mas Rasyid Jadi sekalipun novelnya best-seller belum tentu dibikin trilogi juga ya, Mas ? Tinggal tunggu nanti Opening Weekend-nya di Box Office USA. Di USA baru tayang hari ini kan ya ?
Ya belum tentu, sekuel baru dikasih lampu hijau kalo film pertama sukses. Ada pengecualian buat franchise yang garansi sukses (Marvel, Jurassic World), atau studio yang kelewat pede (Terminator)
Salam kenal, Mas. Saya adalah pembaca setia tulisan anda sejak 3 tahun terakhir. Baru kali ini memberanikan diri mem-posting komentar. Sekadar menambahkan kenapa Red Sparrow agak mengganggu dengan dialog english apalagi dengan akses british-nya mungkin dikarenakan audiens maintstream di negara Barat itu cenderung malas menonton film dengan bahasa non-english apalagi sampai harus membaca terjemahan karena jujur saja, sejak terbiasa menonton tanpa subtitles, tulisan terjemahan itu memang.. agak mengganggu konsentrasi, hehehe. Dulu rasanya kritik yang sama pernah dialamatkan kritikus pada film Valkyrie (2006) milik Tom Cruise.
Tetap menulis dan berkarya, Mas.
@Arga Betul itu, sama sebenernya sama di Indonesia, orang Eropa/Timur Tengah mendadak jago Bahasa Indonesia. Nggak apa sebenernya, toh ini bukan biografi, pure fiksi. Yang agak ganggu sih logat. Bahasa Inggris boleh, logat mestinya Rusia. Lha ini ada British, ada Amerika hahaha.
Sip, thanks for reading :)
Posting Komentar