BEIRUT (2018)
Rasyidharry
April 21, 2018
Brad Anderson
,
Cukup
,
Idir Chender
,
Jon Hamm
,
Leïla Bekhti
,
Mark Pellegrino
,
REVIEW
,
Rosamund Pike
,
Thriller
,
Tony Gilroy
5 komentar
Alkisah, pemerintah Amerika Serikat bergantung pada Mason
Skiles (Jon Hamm), seorang negosiator, guna membebaskan seorang sandera di
Beirut, Lebanon. Sama seperti film Beirut
yang mengandalkan wibawa Jon Hamm yang begitu meyakinkan memerankan diplomat
Amerika Serikat untuk Lebanon. Bermodalkan wajah tegas, senyum mempesona,
ditambah setelan necis, Mason jago bercerita, aktif berkeliling menyapa satu
per satu tamu pesta di rumah mewahnya, dan tak sulit melihat betapa cocok Hamm
melakoni peran ini. Salah satu cerita yang dituturkan Mason adalah analogi soal
Lebanon.
Menurutnya, Lebanon ibarat rumah berisi orang-orang yang
saling tidak percaya. Beirut memang
dipenuhi tokoh-tokoh yang mengundang kecurigaan bahkan berkhianat, entah secara
sengaja sebagai bentuk ketamakan, atau cuma menjalankan tugas. Hal kedua
dialami Cal Riley (Mark Pellegrino) sahabat Mason sekaligus anggota CIA yang
terpaksa menahan bocah Lebanon berusia 13 tahun yang Mason dan sang istri,
Nadia (Leïla Bekhti), rawat, atas tuduhan terlibat aksi terorisme yang
dijalankan kakaknya di Munich. Karim (Idir Chender) nama bocah itu. Tanpa
diduga, upaya penangkapan itu berujung tragedi yang mengubah hidup
Mason, menghempaskannya.
Perubahan bukan saja dialami Mason, sebab mayoritas tokoh
film ini identik dengan dua karakteristik, yakni “tidak bisa dipercaya” dan “berubah
karena perang”. 10 tahun pasca tragedi, Mason kembali ke Amerika, menjalankan
profesi sebagai mediator perusahaan, hidup berantakan dalam jeratan alkohol.
Mason berubah. Pun setelah kembali ke Beirut, ia mendapati setumpuk
perubahan. Kota yang porak poranda akibat perang saudara, juga beberapa orang
terdekat yang kini berbalik memusuhinya. Beirut sendiri, layaknya analogi soal
rumah di atas, terjebak dalam kepentingan politik internasional. Palestina,
Israel, Amerika Serikat, tumpah ruah berebut kendali.
Alasan pemerintah Amerika Serikat meminta (baca: memaksa)
Mason kembali tak lain karena Cal diculik, dan sang pelaku meminta Mason khusus
didatangkan sebagai negosiator. Di sana, beberapa perwakilan pemerintahan
membantunya, termasuk Sandy Crowder (Rosamund Pike) si agen lapangan CIA.
Sekali lagi, tak ada yang bisa sepenuhnya dipercaya. Perjalanan Beirut selaku hostage thriller dimulai dengan dipandu naskah buatan Tony Gilroy
(trilogi The Bourne), yang
sebagaimana biasa, penuh sesak oleh setumpuk intrik rumit, yang mampu memberi
dua hasil berlawanan: intensitas mencekat atau penonton tersesat. Beirut sayangnya lebih dekat ke kelompok
kedua. Saling tipu, kejutan, maupun konspirasi terus dituangkan tanpa ada
kepedulian apakah penonton memiliki cukup kesempatan menyerap seluruhnya.
Tidak hanya penonton, Beirut
sendiri tersesat, kebingungan menentukan fokus, apakah harus mengedepankan hostage thriller atau drama tentang
gejolak batin Mason. Poin kedua sejatinya menarik. Walau menyangkal, secara
tersirat Mason turut menyalahkan Cal atas tragedi yang menimpanya, sementara
Cal pun menyalahkan diri sendiri, yang ditengarai menjadi alasannya tetap
tinggal di Beirut selama satu dekade terakhir. Tatkala Mason mesti
menyelamatkan Cal, berlangsunglah prosesnya berdamai dengan duka, yang semakin
berhasil dilalui, semakin cepat pula luka batinnya sembuh.
Di kursi sutradara, Brad Anderson (The Machinist, The Call), mungkin bukan Paul Greengrass yang
sanggup menerjemahkan skenario Tony Gilroy menjadi parade intensitas
tingkat tinggi, tetapi Beirut tetap
solid, walau berbagai musik ritmis kaya ketukan perkusi buatan John
Debney bakal memperlihatkan jenis iringan paling klise dalam suguhan thriller yang telah diterapkan dalam
ratusan, ribuan, atau malah jutaan tontonan serupa di luar sana. Setidaknya
Brad bisa menjaga kerapatan momentum pun mempunyai kepekaan
soal bermain timing, di mana adegan
meledaknya sebuah bom jadi titik paling menghentak. Jauh lebih
menghentak ketimbang keseluruhan filmnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Liat di trailer yang menarik memang aksi ledak-ledakannya, banyak adegan baku tembaknya gak Mas? Rencana mo nonton film ini atau Beyond The Clouds-nya Majid Majidi. Masih jadi pertimbangan antara dua film tersebut, karena hari ini weekend plus tanggal tua. Hehe
Mas Rasyid, tolong review Mary and the Witch's Flower dong. Pliss...
ditunggu review You Were Never Really Here nya mas liam..... hahahaha
@Ungki Sedikit. Biar filmnya kelihatan menjual aja. Mostly negosiasi dan debat. Pilih Beyond the Clouds aja.
@Fauzi Haha nggak janji ya kalo itu
alur cerita dan pemerannya kece, emang jarang film kek begini ini
Posting Komentar