TERBANG: MENEMBUS LANGIT (2018)
Rasyidharry
April 20, 2018
Biography
,
Chew Kin Wah
,
Cukup
,
Dion Wiyoko
,
Fajar Nugros
,
Indonesian Film
,
Laura Basuki
7 komentar
Salah satu adegan dalam Terbang:
Menembus Langit memperlihatkan Onggy (Dion Wiyoko) melamar Candra (Laura
Basuki). Bagi karakternya, ini momen penting ketika ia menemukan cinta, kawan
hidup yang menyokong sekaligus memberi motivasi bagi perjuangannya. Tapi Fajar
Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta
Undercover) yang bertindak selaku sutradara dan penulis naskah enggan menghantam
penonton lewat dramatisasi tinggi. Berlatar warung mie ayam, ia menarik
romantisme keluar dari situasi kurang romantis, setidaknya menurut Candra.
Kesederhanaan itu mematenkan rasa juga nilai usungan filmnya, yang
menjadikan Terbang, meski masih
mempertahankan formula khas melodrama, memiliki nilai lebih dibanding “rekan-rekan
sejawatnya”.
Mengangkat kisah hidup motivator sukses Onggy Hianata, Nugros
justru tak semata menekankan destinasi berupa keberhasilan finansial. Lahir di
keluarga sederhana di Tarakan, Onggy selalu terngiang petuah sang ayah (Chew
Kin Wah) tentang ketiadaan kebebasan hidup apabila bekerja bagi orang lain.
Begitu melancong ke Surabaya lalu menikah, ia pun nekat meninggalkan pekerjaan
kantoran karena takut kelak tidak punya waktu menyaksikan tumbuh kembang si buah
hati. Saya kerap mendapati penyesalan serupa dialami banyak ayah begitu
menyongsong usia senja sementara anak mereka telah “terbang” seorang diri jauh
di sana. Keluarga adalah poin utama Terbang,
yang terus Nugros pertahankan sampai konklusi sewaktu ia berani menampilkan
bentuk kebahagiaan sederhana ketika banyak penonton mungkin berekspektasi akan
gelimag harta.
Bisa dibilang Onggy bukan jenius dalam hal bisnis. Berulang
kali ia terbentur kegagalan entah akibat kesalahan strategi maupun tertipu. Sejak
kecil pun ia digambarkan tidak secemerlang kakaknya di bangku sekolah. Ditambah
keterbatasan ekonomi, saya pun berpikir, “bagaimana ia bisa sukses?”. “Apa
rencananya?”. Selain tekad baja, Onggy digambarkan sebagai pria dengan banyak
rencana. Kalimat “aku punya rencana” pun sering terlontar dari mulutnya, walau
jangankan memancing keyakinan terhadapnya, filmnya lalai menjabarkan rencana
apa yang dimaksud. Bahkan Onggy kuliah di jurusan apa pun urung dipaparkan.
Karena bagi filmnya, yang penting penonton melihat Onggy mampu menempuh
pendidikan di Surabaya, tanah impiannya. Di Surabaya pula Terbang memasuki babak paling menyenangkan berkat sentuhan komedi
seputar kehidupan mahasiswa indekos, yang lagi-lagi melukiskan kebahagiaan di
tengah kesederhanaan.
Tidak ketinggalan pula pesan nasionalisme, yang meski bisa
diperhalus lagi penyampaiannya dengan cara “menunjukkan” alih-alih banyak “menyatakan”
secara verbal, tak berkurang relevansinya. Pesan tersebut jelas penting
disampaikan sekarang. Kegamblangan macam itu memang senjata andalan film
inspiratif dan/atau melodrama, tapi untungnya, penokohan Onggy terhindar dari
keklisean serupa. Dia pantang menyerah, namun bukan sosok suci. Penonton berkesempatan
melihatnya di titik nadir, saat ia merasa lelah, dan satu-satunya hal yang bisa
dilakukan adalah bersimpuh sambil bertanya pada Tuhan ditemani luapan tangis
yang membuktikan kebolehan Dion Wiyoko mengolah rasa. Chemistry yang dibangun bersama Laura
Basuki juga solid, menghasilkan pasangan mudah menggaet simpati walau keduanya
baru bertemu saat film memasuki separuh durasi.
Salah satu tantangan terbesar Nugros di penulisan naskah tak
lain menangani fakta bahwa tokoh utamanya merupakan pentolan Multi Level Marketing (MLM) negeri ini,
yang bukan mustahil termasuk alasan mengapa Nugros memilih mengedepankan kekeluargaan.
Bayangkan apa respon publik menonton kesuksesan ekonomi karakter yang
disebabkan MLM? Fakta itu dikaburkan, dan sayangnya, dari segi naratif
keputusan itu menghilangkan beberapa poin krusial. Keseluruhan alurnya memang dipenuhi lompatan kasar dan bukan cuma
yang bersinggungan dengan MLM. Waktu berganti begitu saja, masalah-masalah yang
dilontarkan juga berlalu sedemikian kilat.
Pada satu titik, Candra mengalami kontraksi di pasar. Dia
segera melahirkan. Candra terjatuh, dan kalau saya tidak salah lihat, begitu ia
dipapah oleh beberapa orang, perut Laura Basuki tampak mengempis. Ini cacat
bagi elemen artistik yang secara keseluruhan terhampar baik. Detail setting dan
properti masa lalu, hingga warna yang mengesankan nuansa “hikayat dari era
terdahulu”, semua memanjakan mata. Bicara soal era terdahulu, Nugros memang
sepertinya hendak mengajak penonton kembali, bukan saja menuju masa lalu, pula
kembali ke akar, pulang ke rumah, kembali pada keluarga. Dibalik segala
kelemahannya, Terbang: Menembus Langit
tetap menonjol bila disandingkan dengan film-film lokal bertema perjuangan
inspiratif kebanyakan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Banyak adegan penyulut tangis gak Mas? Masih jadi pertimbangan buat nonton bareng temen, antara film ini dan Kembang Kantil. Soalnya saya tipikal orang yang mempunyai mata sensitif jikalau melihat adegan yang mengharukan. Entar malu saya dikatain cengeng sama temen, hehe. Btw. Ditunggu buat review Kembang Kantil-nya jija Mas minat untuk nonton film tersebut. Hehe
Gak mau review Taxi5 gan?
Kirain bakal dpt rating "Bagus" ni secara pemain nya saya suka...
Terutama ada Laura Basuki yg kembali comeback maen film.
@Ungki Pilih ini aja lah. Nggak nonton Kembang Kantil, setelah Bayi Gaib, walau naik kelas, tetep aja film KKD kancut. Nggak mengharu biru banget kok. Nugros nggak lebay dramatisasinya
@Aliando Ada potensi ke sana kalau alurnya lebih rapi
Gak semua film hrs direviewlah, mas Rasyid. Segala Kuntal Kantil mah di-skip aja. Drpada bikin kesel..
Agak males sebenernya kalo film tentang orang MLM. Ntar membernya pada jumawa berasa banget udah ngikutin jejak suksesnya ..
Ya itu sebabnya Nugros nggak gamblang sebut MLM. Dia twist biar kesannya motivator biasa.
Posting Komentar